Epidemiolog: Mobilitas Masyarakat di DI Yogyakarta Cuma Turun 5 Persen

Hari ke-12 PPKM Darurat, kasus COVID-19 tetap tinggi

Sleman, IDN Times - Angka kasus harian COVID-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih belum menunjukkan adanya penurunan. Padahal, Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali telah berlangsung selama 12 hari. Dari data pada 14 Juli 2021, setidaknya terdapat 2.350 kasus konfirmasi positif baru di DIY dengan angka kematian mencapai 65 kasus.

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dr. Riris Andono Ahmad, mengungkapkan, sudah seharusnya Pemda DIY tegas dalam menerapkan PPKM Darurat. Setelah itu, barulah PPKM Darurat bisa efektif menurunkan lonjakan kasus COVID-19.

“Tujuan PPKM kan menurunkan mobilitas. Jadi penerapannya harus tegas, pembatasan mobilitas harus ketat, tapi saat ini implementasinya tidak cukup kuat menekan mobilitas” ungkapnya pada Rabu (14/7/2021). 

Baca Juga: Terdampak PPKM Darurat, Tempat Jualan Hewan Kurban di Sleman Turun 

1. Penurunan mobilitas masyarakat masih rendah

Epidemiolog: Mobilitas Masyarakat di DI Yogyakarta Cuma Turun 5 PersenIlustrasi PPKM mikro (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Riris menilai, selama pemberlakuan PPKM Darurat sejak 3 Juli 2021 penurunan mobilitas masyarakat DIY belum signifikan. Dengan kata lain angka penurunan mobilitas masyarakat DIY masih rendah, hanya 5 persen. Kondisi tersebut menunjukkan implementasi PPKM Darurat di lapangan belum cukup kuat.

“Dari Google Traffic, sebelum PPKM yang tinggal di rumah ada sebanyak 15 persen, lalu saat PPKM meningkat jadi 20 persen. Dengan begitu hanya ada penambahan 5 persen saja dan angka ini tidak cukup untuk menekan penularan COVID-19. Setidaknya perlu 70 persen dari populasi membatasi mobilitas baru punya dampak besar,” katanya.

2. Perlu adanya rekayasa sosial

Epidemiolog: Mobilitas Masyarakat di DI Yogyakarta Cuma Turun 5 PersenANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Riris menambahkan, penerapan PPKM Darurat bukan sebatas menutup akses lalu lintas/ jalan untuk menghentikan mobilitas. Namun, perlu ada rekayasa sosial agar masyarakat bisa patuh menjalankan protokol kesehatan khususnya terkait membatasi mobilitas.

Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan, seperti penindakan hukum yang tegas bagi pelanggarnya, pemberian bantuan hidup baik menggunakan Dana Keistimewaan (Danais) maupun dana desa, dan lainnya.

“Tidak hanya butuh kebijakan, pemerintah harus memobilisasi hal itu secara aktif,” katanya.

3. Kondisi kasus COVID-19 di DI Yogyakarta tidak main-main

Epidemiolog: Mobilitas Masyarakat di DI Yogyakarta Cuma Turun 5 PersenIlustrasi seorang pasien COVID-19. (ANTARA FOTO/REUTERS/Marko Djurica)

Lebih lanjut Riris mengatakan, kondisi kasus COVID-19 di DIY bisa dibilang tidak main-main. Bahkan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dalam sejumlah pemberitaan mengatakan DIY menjadi salah satu provinsi di Indonesia selain Jakarta yang mengalami dampak paling berat jika lonjakan kasus COVID-19 terus saja terjadi.

Adanya penambahan kasus baru ini turut membuat Bed Occupancy Rate (BOR) atau ketersediaan tempat tidur di rumah sakit rujukan DIY masih di atas angka 90 persen. Saat ini BOR rumah sakit rujukan DIY tercatat penuh diangka 99,56 persen atau 1.369 dari 1.375 tempat tidur.

Dia menyebutkan penambahan kapasitas rumah sakit rujukan COVID-19 dapat menjadi salah satu opsi untuk mengurai persoalan tersebut. Namun, sebanyak apapun penambahannya, termasuk rumah sakit darurat ataupun selter, tidak akan berjalan optimal jika penularan masih terus terjadi dalam jumlah yang tinggi.

“Mau ditambah seberapapun, kalau penularannya masih terjadi maka suatu saat akan tidak mampu lagi menampung. Tetap mobilitas harus diperketat,” paparnya.

Baca Juga: Rusak Ambulans yang Melintas, Pria Asal Bantul Ngaku Termakan Isu

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya