Cacat Prosedur, PSHK UII Ajukan Judicial Review UU MK 

UU dibahas tertutup dalam tujuh hari

Sleman, IDN Times - Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) melakukan judicial review atas disahkannya perubahan ketiga Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

Langkah judicial review tersebut diambil lantaran perubahan atas UU MK tersebut dianggap cacat prosedur dan materi-materi muatan perubahan UU MK diindikasikan bertentangan dengan Konstitusi.

Baca Juga: PSHK UII: UU Cipta Kerja Bisa 'Dijegal' secara Konstitusional

1. Dibahas hanya dalam waktu 7 hari

Cacat Prosedur, PSHK UII Ajukan Judicial Review UU MK IDN Times/Santi Dewi

Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi UII Allan Fatchan Gani Wardhana mengungkapkan, proses revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dianggap cacat prosedur, karena hanya disusun dan dibahas secara tertutup dalam waktu 7 hari. Sehingga tidak ada kesempatan bagi publik untuk menyampaikan saran serta masukan.

"Proses pembentukan UU MK tidak sesuai dengan semangat Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur bahwa RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat," ungkapnya melalui keterangan tertulis pada Rabu (14/10/2020).

2. Muatan bertentangan dengan UUD NRI 1945

Cacat Prosedur, PSHK UII Ajukan Judicial Review UU MK PSHK UII Lakukan Judicial Review UU MK. Dok: istimewa

Allan memaparkan, penghapusan periodisasi masa jabatan hakim dan diganti dengan usia pensiun bertentangan dengan UUD Negara RI 1945 serta mengganggu prinsip independensi dan imparsialitas hakim.

Menurutnya, penghapusan ini berpotensi mengakibatkan hakim konstitusi tersebut terjebak dalam konflik kepentingan (conflict of interest) dengan pembentuk undang-undang, sementara produk dari pembentuk undang-undang merupakan objek in litis dalam pengujian undang-undang di Mahkamah.

"Bahwa dengan adanya konflik kepentingan dengan pembentuk undang-undang berpotensi mengganggu independensi dan imparsialitas hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan dalam melakukan pengujian undang-undang, sehingga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945," terangnya.

3. Aturan masa jabatan hakim tidak sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan

Cacat Prosedur, PSHK UII Ajukan Judicial Review UU MK Ilustrasi pengesahan undang-undang. IDN Times/Arief Rahmat

Lebih lanjut, Allan mengatakan, pengaturan masa jabatan hakim yang diukur dengan menggunakan usia 70 atau maksimum menjabat 15 tahun, dinilai tidak sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan (konstitusionalisme).

"Dengan dihapuskannya masa jabatan hakim konstitusi telah menghilangkan ruang evaluasi kepada hakim konstitusi yang dimiliki publik untuk menilai pelaksanaan tugas dan wewenang hakim selama menjabat pada periode sebelumnya di samping lembaga pengawas eksternal untuk MK pun tidak ada," paparnya.

Baca Juga: Tok! RUU Mahkamah Konstitusi Sah Menjadi Undang-Undang

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya