UII Pilih Aturan Internal untuk Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus

Permendikbudristek 30/2021 dinilai lebih heterogen

Yogyakarta, IDN TimesUniversitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta memilih untuk menerapkan aturan internal untuk pencegahan kekerasan seksual di kampus, meski Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi telah lahir. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan UII tentang Pencegahan dan Penanganan Perbuatan Asusila dan Kekerasan Seksual yang dikeluarkan tanggal 24 November 2020.

“Rektorat mengapresiasi ide Permendikbud Ristek tersebut. Tetapi UII sudah punya payung hukum sendiri dan aman,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat UII Ratna Permata Sari saat dihubungi IDN Times, Jumat (3/12/2021).

Ratna menambahkan hingga kini belum ada diskusi internal terkait rencana merevisi aturan UII tersebut untuk disesuaikan dengan Permendikbud Ristek. Termasuk pembentukan satgas yang diamanahkan dalam aturan menteri tersebut. Dia pun enggan memberi tanggapan lebih lanjut terkait kemungkinan pihak UII keberatan dengan sejumlah klausul Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.

“Kalau Permendikbud Ristek itu kan sifatnya heterogen ya. Sedangkan UII kampus Islam yang punya nilai-nilai sendiri,” imbuh Ratna.

1. Korban melapor secara online

UII Pilih Aturan Internal untuk Pencegahan Kekerasan Seksual di KampusIlustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Aturan UII 2020 tersebut diklaim memberi kemudahan bagi korban atau pelapor untuk mengadukan kasus kekerasan seksual melalui laman website yang dikelola Bidang Hukum dan Etika UII. Orang yang melaporkan bisa korban sendiri yang mengalami atau pun orang lain yang melihat, mendengar, atau pun mengetahui peristiwa tersebut.

“Tapi pelaporannya harus atas persetujuan korban,” kata Ratna.

2. Tim pencari fakta dibentuk berdasarkan kasus

UII Pilih Aturan Internal untuk Pencegahan Kekerasan Seksual di KampusIlustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Upaya menindaklanjuti kasus asusila dan kekerasan seksual di UII dengan membentuk tim pencari fakta yang bersifat ad hoc. Tim tersebut baru dibentuk ketika ada kasus. Tugasnya adalah memeriksa saksi, pelapor, atau terlapor. Kemudian membuat kajian dan rekomendasi yang disampaikan kepada pimpinan, baik dekan, atau rektor.

Apabila korban dan pelaku berasal dari fakultas yang sama, maka tim pencari fakta yang dibentuk berada di bawah fakultas. Sebaliknya, apabila korban dan pelaku berasal dari fakultas yang berbeda, tim yang dibentuk di bawah rektorat.

“Bentuk-bentuk sanksi dibahas dalam rapat senat. Kemudian diputuskan dekan atau rektor. Jadi berjenjang,” ujar Ratna.

Sanksi yang dimaksud meliputi sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat. Ragam sanksi itu diatur dalam Peraturan Disiplin Mahasiswa UII.

Baca Juga: UGM Telusuri Dugaan Kekerasan Seksual yang Dilakukan Mahasiswa S2

2. Kelahiran Peraturan UII bersifat pencegahan

UII Pilih Aturan Internal untuk Pencegahan Kekerasan Seksual di KampusIlustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Kelahiran Peraturan UII tersebut, diakui Ratna, tak terlepas dari kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh alumni UII, IM. Laporan terkait kasus tersebut berlangsung pada Juni 2020. Sekitar 30 mahasiswi yang menjadi korbannya mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Sementara Rektor UII juga menindak IM dengan mencabut gelar Mahasiswa Berprestasi 2015.

“IM sempat banding. Tapi gugatan itu dimenangkan UII,” kata Ratna.

Kelahiran aturan tersebut juga karena aturan disiplin mahasiswa yang telah ada belum lengkap. Harapannya, Peraturan UII tersebut bisa mengakomodasi konsen terkait pencegahan asusila dan kekerasan seksual di kampus dengan lebih tajam.

“Jadi aturan ini bersifat preventif. Ini bisa jadi pisau pencegahan,” kata Ratna. 

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya