Tak Harmonis Sejak Sabdatama, Berujung Pencopotan Jabatan Adik Sultan 

Adik-adik Sultan tak aktif di Keraton Yogyakarta sejak 2015

Yogyakarta, IDN Times – Jabatan struktural yang diemban Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo sebagai pimpinan di Bidang Nityabudaya di Keraton Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat digantikan anak bungsu Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara. Begitu pun jabatan GPBH Yudhaningrat sebagai pimpinan di Bidang Parwabudaya digantikan putri sulung Sultan, GKR Mangkubumi.  

GBPH Prabukusumo atau yang biasa disapa Gusti Prabu pun angkat bicara menanggapi surat ini. Dia merasa tidak melakukan suatu kesalahan yang bisa membuatnya pantas diberhentikan seperti ini. dirinya tetap mencoba bersabar menghadapi persoalan ini dan berharap masyarakat DIY tak keliru menilai.

"Kalau saya dengan dhimas Yudho (GBPH Yudhaningrat) dipun jabel kalenggahanipun, artinya itu dipecat. Karena itu saya membuat ini (pernyataan tertulis) agar warga DIY tahu, kalau saya dan dhimas Yudho itu tidak salah," katanya, Selasa (19/1/2021).

Pengambilan kembali (jabel, Bahasa Jawa) jabatan struktural kedua adik Sultan itu pada 2 Desember 2020 mengingatkan kembali pada ketidakharmonisan hubungan internal kakak adik sebagai anggota keluarga Keraton Yogyakarta. Sejumlah peristiwa melatarbelakangi situasi yang sempat memanas sejak 2015 lalu. Berikut rangkuman hasil reportase yang dilakukan kontributor IDN Times, Pito Agustin.

Baca Juga: Beredar Surat Pemecatan Dua Adik Sultan, GBPH Prabukusumo Angkat Suara

1. Lahir dari satu ayah dan beda ibu

Tak Harmonis Sejak Sabdatama, Berujung Pencopotan Jabatan Adik Sultan Ilustrasi Sri Sultan Hamengkubuwono IX (IDN Times/Arief Rahmat)

Hubungan HB X dengan Prabukusumo dan Yudaningrat adalah saudara tiri. Ayah mereka, Sultan Hamengku Buwono IX mempunyai lima orang istri. Mereka adalah Bendara Raden Ajeng Pintakapurnama (1940), Kanjeng Raden Ayu (KRA) Windyaningrum (1943), KRA Hastungkara (1948), KRA Ciptamurti, dan KRA Nindyakirana (1976).

HB X yang bernama kecil Bendara Raden Mas (BRM) Herjunidarpito lahir dari rahim Windyaningrum. Kemudian diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi sebelum dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono X.

Sedangkan pernikahan HB IX dengan Hastungkara melahirkan Prabukusumo dan Yudaningrat.  

2. Perbedaan pendapat bermula saat usulan gubernur perempuan dalam raperda mekanisme pengisian jabatan

Tak Harmonis Sejak Sabdatama, Berujung Pencopotan Jabatan Adik Sultan DPRD DIY di Jalan Malioboro Yogyakarta. IDN Times/Febriana Sinta

Di masa pemerintahan Sri Sultan HB X, lima keistimewaan Yogyakarta dikukuhkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2012 dengan nama UU Keistimewaan DIY. Produk hukum itu disahkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 31 Agustus 2012 di Jakarta. Lima poin keistimewaan yang dimaksud meliputi mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dengan penetapan di DPRD DIY, kelembagaan pemerintahan DIY, pertanahan, kebudayaan, serta tata ruang.

Usai diundangkan, lima peraturan daerah yang mengatur keistimewaan itu disusun. Salah satunya perda tentang mekanisme penetapan kepala daerah yang tengah dibahas di DPRD DIY berupa rancangan perda pada tahun 2015. Persoalan yang muncul adalah Pasal 3 ayat 1 huruf M raperda menyebutkan calon gubernur harus menyerahkan daftar riwayat hidup. Salah satu isinya menyertakan nama istri. Asumsinya, pasal itu mengharuskan Gubernur DIY harus laki-laki, tidak boleh perempuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU Keistimewaan.

Rupanya Sultan tak setuju pencantuman frasa “istri” karena dinilai diskriminatif. Permintaannya untuk menghapus frasa itu kian memperuncing opini yang berkembang. Bahwa permintaan Sultan itu berkaitan dengan suksesi keraton mendatang di mana semua anak Sri Sultan HB X adalah perempuan.

3. Sabdatama dinilai melanggar paugeran

Tak Harmonis Sejak Sabdatama, Berujung Pencopotan Jabatan Adik Sultan Raja Belanda di keraton Yogyakarta. IDN Times/Tunggul Damarjati

Di tengah keruwetan pembahasan raperda itu, pada 6 Maret 2015 pagi, kerabat Keraton Pakualaman, sentono dalem (kerabat Kasultanan Yogyakarta), abdi dalem keprajan (pejabat Kasultanan) dan abdi dalem punakawan (pegawai biasa Kasultanan) berkumpul di Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta. Sri Sultan HB X menyampaikan delapan perintah tertinggi dalam Bahasa Bagongan (bahasa komunikasi antara raja dengan bawahannya) yang dikenal dengan istilah Sabdatama.

Salah satu poin yang disorot baik oleh dewan maupun adik-adik Sultan ketika itu adalah poin 2. Isinya adalah Sultan melarang campur tangan orang lain dalam menentukan pewaris takhtanya. Juga poin 8, bahwa sabdatama menjadi dasar revisi UU Keistimewaan apabila dibutuhkan.

Adik-adik Sultan, terutama Prabukusumo dan Yudaningrat menolak isi sabdatama itu. Alasannya, isinya berseberangan dengan paugeran atau adat istiadat keraton yang sudah ada sejak turun-temurun. Salah satu paugeran yang ada adalah Raja Kasultanan Yogyakarta harus laki-laki. Sementara sabdatama tersebut memungkinkan perempuan bisa menjadi pimpinan Keraton Yogyakarta berikutnya.

Baca Juga: Keraton Yogyakarta Bantah Pemecatan Dua Adik Sultan Hamengku Buwono X

4. Nama dan gelar Sri Sultan dan Pembayun diubah

Tak Harmonis Sejak Sabdatama, Berujung Pencopotan Jabatan Adik Sultan GKR Mangkubumi memimpin gelaran Hajad Dalem Garebeg Besar Keraton Yogyakarta, Jumat (31/7/2020). IDN Times/Tunggul Damarjati

Belum usai keriuhan, pada 30 April 2015 pukul 10.00 WIB, Sultan kembali mengeluarkan sabdanya yang dikenal dengan sebutan Sabdaraja. Lokasinya di Sitinggil, Keraton Yogyakarta. Kali ini, peristiwa penyampaian Sabdaraja ini terendus wartawan. Keberangkatan hingga kepulangan Sultan dari dan ke kediamannya di Keraton Kilen ke Sitinggil bisa terpantau kamera. Hanya saja prosesi di dalam Sitinggil tertutup untuk umum maupun awak media. Prabukusumo dan Yudaningrat pun menolak hadir dalam acara itu.

Ada lima poin Sabda Raja. Salah satunya adalah perubahan nama dan gelar Sultan. Nama semula adalah Sultan Hamengku Buwono X diganti menjadi Sultan Hamengku Bawono Ka 10. Sedangkan gelar semula Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat diubah menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Bawana ingkang Jumeneng Kaping Sepuluh ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

Tak sampai sepekan, Sultan kembali mengeluarkan sabdanya yang disebut Dhawuh Raja pada 5 Mei 2015 pukul 11.00 di Sitihinggil. Kali ini yang diubah adalah nama anak sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Dalam status akun Facebook anak keempat Sultan, GKR Hayu yang saat itu masih di Amerika disebutkan gelar lengkap kakaknya telah berganti.  Yaitu Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Perubahan nama itu kian memperuncing kasak-kusuk internal keraton maupun masyarakat umum, bahwa perubahan nama itu menandai Pembayun telah diangkat menjadi putri mahkota.

5. Anak-anak dan adik Sultan berziarah ke Imogiri

Tak Harmonis Sejak Sabdatama, Berujung Pencopotan Jabatan Adik Sultan IDN Times/Tunggul Kumoro

Sehari setelah perubahan nama, GKR Mangkubumi berziarah ke makam Raja-raja Mataram di Imogiri pada 6 Mei 2015 sore. Ditemani suaminya Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Wironegoro dan adik-adiknya, yaitu GKR Condrokirono, GKR Maduretno dan suaminya, KPH Probodiningrat, serta GKR Bendara. Mereka datang mengenakan pakaian adat Jawa. Mereka menolak diwawancarai awak media.

Pada waktu yang sama, adik-adik Sultan yang tinggal di Yogyakarta maupun Jakarta juga datang untuk berziarah di Imogiri. Ada 10 orang yang hadir dan dipimpin Prabukusumo. Yang tinggal di Yogyakarta adalah Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, GBPH Condrodiningrat, dan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto (adik kandung Sultan). Dan yang dari Jakarta adalah GBPH Pakuningrat, GBPH Cakraningrat, GBPH Suryadiningrat, GBPH Suryametaram, GBPH Hadinegoro, dan GBPH Suryonegoro.

Menurut Prabukusumo, kedatangan mereka untuk memintakan maaf Sultan kepada para leluhur karena menyampaikan sabdatama dan sabdaja yang isinya bertentangan dengan paugeran keraton.

6. Sultan meluruskan kesimpang siuran Sabda Raja dan Dhawuh Raja

Tak Harmonis Sejak Sabdatama, Berujung Pencopotan Jabatan Adik Sultan Sultan Hamengku Buwono X dalam Dialog Kebangsaan di Kampus UII, Sleman, 14 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Untuk mengatasi simpang siur pemberitaan, Sultan mengundang wartawan berbagai media untuk menjelaskan sabdaraja dan dhawuh raja yang telah disampaikan. Penyampaiannya di rumah GKR Mangkubumi di Ndalem Wironegaran, Yogyakarta pada 8 Mei 2015.

Hal yang disampaikan oleh Sri Sultan HB menyangkut dua hal. Pertama, tentang perubahan nama Sultan yaitu pergantian Buwono diganti Bawono. Buwono artinya lebih kecil ketimbang Bawono. Jika dianalogikan dengan teritori wilayah, Buwono bisa berarti daerah dan Bawono itu nasional, atau Buwono itu nasional dan Bawono adalah internasionalnya. Kemudian X (sadasa) diganti dengan ka sepuluh (kaping sepuluh) adalah menandakan urutan pergantian, seperti pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.

Namun dalam praktiknya hingga sekarang, nama Sultan Hamengku Buwono X masih digunakan dalam kapasitasnya sebagai gubernur. Sedangkan Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 dipakai di dalam internal keraton. Lantaran pengajuan perubahan nama ke Pengadilan Negeri Yogyakarta pada 19 Juni 2015 oleh Sultan, kemudian dicabutnya sendiri pada 2 Juli 2015 dengan alasan perkara nama itu adalah urusan internal keraton.

Kedua, soal perubahan nama putri pertama, Pembayun. Menurut Sri Sultan bukan berarti anak sulungnya kelak diangkat menjadi raja berikutnya. Meskipun diakui Sultan, prosesi penggantian nama dilakukan Pembayun yang ketika itu duduk di atas watu gilang. Dalam prosesi di keraton, yang duduk di batu hitam itu adalah putra mahkota. Sementara Sultan lebih menyerahkan langkah selanjutnya kepada Tuhan.

Sultan menggarisbawahi tentang isi Sabda Raja maupun Dhawuh Raja adalah perintah Tuhan yang disampaikan melalui ayah dan leluhurnya sehari sebelum disampaikan esok harinya. Kemunculannya hanya bisa dirasa bukan dipikir.

7. Adik-adik Sultan tetap kukuh tak setuju hingga hari ini

Tak Harmonis Sejak Sabdatama, Berujung Pencopotan Jabatan Adik Sultan GBPH Prabukusumo (kiri). IDN Times/Febriana Sinta

Adik-adik Sultan tetap menyatakan tak setuju dengan isi Sabda Raja dan Dhawuh Raja itu. Mereka menengarai keraton akan hancur apabila Sabda Raja dan Dhawuh Raja itu diberlakukan. Bahkan antara keraton dan rakyat akan berdiri berhadapan. Upaya mencegah kehancuran itu, menurut Yudaningrat bisa dicegah apabila Sultan memilih salah satu dari tiga opsi yang diusulkan adik-adik Sultan.

Pertama Sultan diminta kembali menegakkan paugeran dengan membatalkan sabda-sabda tersebut. Kedua, Sultan diminta untuk mandhita dengan meninggalkan urusan keduniawian sebagai Kyai Ageng. Opsi ini pernah dijalani Sultan HB VII yang mandhita ke Pesanggrahan Ambarukmo. Ketiga, jika tidak bersedia kembali pada paugeran, maka Sultan diminta untuk membangun keraton sendiri. Mengingat keraton adalah warisan leluhur Hamengku Buwono.

Sultan menolak. Pun adik-adik Sultan akhirnya menolak untuk mengakui Sultan yang sudah menyandang nama dan gelar yang berbeda dari paugeran. Mereka memilih untuk tidak aktif menjalankan tugas-tugasnya di keraton sejak itu. Dan tak pernah ada titik temu dari perseteruan internal antara Sultan dengan adik-adiknya hingga hari ini.  

Baca Juga: Putri Keraton Beberkan Alasan Penghentian Tugas 2 Adik Sri Sultan   

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya