Sekolah dan Keluarga Jadi Kunci Pemenuhan Hak Kespro Difabel (2)

Tak sekadar tahu apa yang boleh dan tak boleh dilakukan

Yogyakarta, IDN Times – Dari kurun 2009-2019, Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) telah mendampingi 28 kasus perempuan dan anak difabel yang menjadi korban kekerasan seksual. Meliputi 2 kasus yang menimpa netra, 8 kasus tuli, 9 kasus daksa, 6 kasus retardasi mental, dan 3 kasus disabilitas ganda. Sedangkan ragam kasusnya meliputi 16 kasus kekerasan seksual, 3 kasus kekerasan fisik, dan 9 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Kasus kekerasan seksual terhadap difabel karena minimnya pengetahuan mereka tentang hak kesehatan reproduksi (kespro) dan seksualitas,” kata Koordinator Divisi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi SAPDA, Rini Rindawati.

Melalui pendidikan kespro di sekolah maupun keluarga diharapkan anak berkebutuhan khusus (ABK) dapat mempunyai benteng pemahaman yang benar mengenai anatomi tubuh, otonomi tubuh, serta bagaimana menempatkan relasi dengan teman, pacar, orang tua, guru, dan tetangga.

1. Orang tua: butuh kurikulum kespro dengan metode individual untuk ABK

Sekolah dan Keluarga Jadi Kunci Pemenuhan Hak Kespro Difabel (2)IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menjadi orang tua yang merawat dan membimbing dua anak perempuan yang autis, Tri Sumarni menerapkan metode trial and error. Dia memahami, kedua anaknya membutuhkan penanganan yang berbeda berdasar derajat keparahannya.

“Setiap orang tua wajib menemukan cara apa yang tepat untuk menangani anaknya. Jadi penanganannya per individu,” kata Tri.

Tak heran, dia memilih keluar dari pekerjaannya sebagai guru SMP di Pekanbaru demi bisa mendampingi anak-anaknya 24 jam. Dia pun memutuskan pulang ke Yogyakarta pada 2008 yang relatif lebih banyak psikolog atau pun psikiater di sana. Harapannya, dia lebih mudah berkonsultasi atau melakukan terapi untuk anak-anaknya.

Dia mencontohkan, untuk mengajari anak keduanya, Anggita memasang pembalut ketika menstruasi, Tri mengenalkan pembalut dan celana. Kemudian mempraktikkan cara memasangnya di depan Anggita. Cara lain dengan mengajak Anggita mandi bareng sembari mempraktikkan cara mengenakan celana dalam berpembalut, cara mencuci pembalut dan celana dalam, juga mengenalkan alat-alat reproduksi perempuan. Kelak, Anggita diharapkan menjadi ABK yang mandiri tanpa ketergantungan dengan dirinya maupun orang lain. Cara yang sama juga diterapkan terhadap anak bungsunya, Diva.

Pemberian contoh terhadap ABK autis harus dilakukan berulang-ulang tanpa bosan. Pengulangan itu akan memudahkan ABK mengingat, lalu menerapkannya.

“Ada anak autis yang cukup sekali dua kali diulang. Ada yang butuh waktu mingguan, bulanan, hingga tahunan untuk mengerti,” kata Tri yang menulis dua buku kisah nyata pengalamannya merawat anak-anaknya yang autis, yaitu 'Super Mom with Happy Soul, Kisah Bahagia Ibu Rumah Tangga yang Mengasuh Dua Putri Autisnya' dan 'Super Anggita, Perjuangan Seorang Ibu yang Mendidik Anaknya yang Autis'.

Di sisi lain, kebiasaan Diva yang suka pergi dari rumah atau sekolah secara tiba-tiba menjadi persoalan sendiri. Tri belum mempunyai cara yang dirasa tepat selain mengawasi dan menguncinya di dalam kamar. Ada masukan untuk mengenakan gelang bertuliskan nama, alamat dan nomor teleponnya atau memasang GPS pada baju atau benda-benda yang biasa dikenakannya.

“Tak ada benda yang suka dikenakannya. Kalau menyentuh kulitnya dan tak cocok bisa dibuang. Rambutnya dikeramasi saja suka mengamuk,” kata Tri.

Mengingat Diva adalah perempuan, sudah akil baliq, dan kebiasaan ‘menghilang’ membuatnya rentan menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual, Tri sempat kepikiran untuk menanam semacam chip di dalam tubuhnya. Alat itu bisa mendeteksi keberadaan Diva tanpa menyentuh kulitnya dan merepotkan orang lain untuk menemukannya.

“Tapi itu melanggar hak anak enggak? Nanti saya ditegur Kak Seto,” kata Tri.

Tak heran kurikulum khusus kesehatan seksual dan reproduksi bagi ABK dirasa Tri menjadi kebutuhan dan mendesak diadakan. Sayangnya, kurikulum sekolah untuk ABK dibuat tidak mendasarkan kebutuhan spesifik ABK.

“Kurikulum yang ada dibuat lebih dulu, kemudian diterapkan pada ABK. Padahal kebutuhan satu jenis ABK dengan yang lain berbeda,” papar Tri.

Semestinya, menurut Tri, perlu dilakukan asesmen terlebih dulu terhadap setiap ABK. Barulah disusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan ABK berdasarkan asesmen tersebut.

“Jadi penerapan kurikulumnya menggunakan metode yang bersifat individual,” kata Tri.

Baca Juga: 5 Kisah Inspiratif Angkie Yudistia Sebagai Pejuang Kaum Difabel

2. SLB: mengajarkan yang boleh dan tak boleh dilakukan

Sekolah dan Keluarga Jadi Kunci Pemenuhan Hak Kespro Difabel (2)IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menurut Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) A Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam (Yaketunis) Sri Andarini Ekaprapti, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DI Yogyakarta sudah memberikan perhatian dengan membuat kurikulum tentang kesehatan reproduksi untuk ABK. Bahkan saban setahun sekali digelar pendidikan dan latihan kespro khusus para guru SLB. Salah satu pematerinya adalah guru kespro SLB yang pernah mengikuti diklat kespro tingkat nasional.

“Memang belum ada mata pelajaran khusus kespro. Tetapi dimasukkan dalam pelajaran lain,” kata Andarini.

Mata pelajaran yang dimaksud adalah Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang diajarkan setiap Senin dan Selasa khusus untuk murid-murid yang sudah akil baliq. Hari Senin diperuntukkan untuk SMP dan SMA, serta hari Selasa untuk kelas 5 dan 6 SD. Pedomannya berupa buku panduan atau modul yang telah dibuat Disdikpora yang meliputi 15 bab yang disampaikan secara berurutan. Mengingat beragam persoalan dialami ABK tunanetra yang tengah memasuki masa puber.

Ada murid laki-laki yang menaksir kakak kelasnya karena suaranya lembut. Ada murid perempuan yang ingin dekat dengan pamannya karena wangi parfumnya. Termasuk sejumlah pertanyaan tentang apa itu onani dan masturbasi.

“Kami senang karena murid-murid tahu ke mana mereka harus bercerita dan bertanya,” kata guru kespro SLB Yaketunis Sri Wahyuni Endarwati sehingga memudahkannya untuk membimbing dan menjelaskan. Seperti onani di tempat yang tertutup, seperti di kamar mandi atau di kamar sendiri, setelah itu membersihkan alat kelaminnya hingga bersih.

“Jadi inti pengajaran kespro dan seksualitas adalah soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan murid,” kata Wahyuni.

Tantangannya, materi kespro dan seksualitas masih dianggap tabu sebagian orang tua dan guru. Tak sedikit yang memprotes ketika guru menjelaskan tentang onani dan masturbasi kepada murid. Mereka khawatir, materi kespro dan seksualitas yang diajarkan justru membuat anak-anak mempraktikkan aktivitas seksual itu.

“Saya bilang, kalau itu karena pembelajaran kespro, berarti semua anak di sekolah ini onani semua. Nyatanya kan tidak, meski ada satu anak. Itu pun karena puber,” kata Wahyuni.

Tak sekadar teori, cara mengenalkan organ seksual dan reproduksi kepada anak tunanetra dilakukan dengan menggunakan alat peraga berupa boneka kespro. Boneka-boneka itu dilengkapi dengan alat kelamin yang berbeda, ketika masih kecil dan akil baliq. Juga dilengkapi perbedaan organ tubuh ketika sudah puber, seperti ada jenggot, kumis, rambut kemaluan, dan payudara yang membesar. Untuk boneka perempuan ditambahi ada pembalut dan bayi yang ada dalam rahim.

“Ada orang tua yang mengatakan kepada anaknya kalau mereka lahir dari jempol, dari anus. Karena tabu menjelaskan. Itu menyesatkan,” kata Wahyuni.

Belum dijadikannya kespro menjadi mata pelajaran tersendiri, menurut Wahyuni karena sudah terlalu banyak mata pelajaran yang dibuat oleh Disdikpora.

“Sudah penuh. Kalau kespro masuk, nanti banyak materi lain yang diusulkan jadi mata pelajaran. Kan banyak pesanan. Gak bisa akomodir semua,” kata Wahyuni yang mengikuti diklat kespro untuk SLB sejak 2010.

3. Disdikpora: belum ada sarjana lulusan kespro

Sekolah dan Keluarga Jadi Kunci Pemenuhan Hak Kespro Difabel (2)IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Kepala Disdikpora DIY, Baskara Aji mengatakan pendidikan kesehatan reproduksi sudah masuk dalam kurikulum maupun co-kurikulum di SLB. Bahkan penyusunan materinya melibatkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mempunyai fokus perhatian terhadap persoalan hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Bentuk pembelajarannya dengan memasukkan materi tersebut dalam beberapa mata pelajaran, seperti pendidikan kesehatan jasmani, biologi, maupun agama.

“Jadi ada materi kespro dalam mata pelajaran itu. Include di dalamnya,” kata Baskara.

Diakui Baskara, untuk memisahkan kespro menjadi mata pelajaran tersendiri masih sulit dilakukan. Beberapa kendala yang mengganjal adalah belum ada kesiapan materi dan buku ajar khusus tentang kesehatan seksual dan reproduksi. Selain itu belum ada guru yang mempunyai kualifikasi khusus sarjana kesehatan seksual dan reproduksi.

“Karena belum ada kampus yang menghasilkan sarjana jurusan atau fakultas kesehatan seksual reproduksi untuk SLB,” kata Baskara.

Upaya yang dilakukan adalah membuka diri kepada semua pihak yang ingin memberikan masukan berkaitan dengan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi terhadap ABK.

“Kalau dirasa masih kurang, orang tua yang semestinya memberikan treatment khusus kepada ABK untuk mendampinginya,” kata Baskara.

4. NGO: tubuhku, otonomiku

Sekolah dan Keluarga Jadi Kunci Pemenuhan Hak Kespro Difabel (2)IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menurut Direktur SAPDA Nurul Saadah Indriani, belum dijadikannya kesehatan reproduksi sebagai mata pelajaran tersendiri di SLB memunculkan sejumlah persoalan. Seperti jumlah guru yang memahami hak kespro dan seksualitas terbatas.

“Ada satu kabupaten yang hanya mempunyai satu guru kespro di SLB. Dia mesti berbagi pengetahuan kespro untuk semua SLB di wilayah itu,” kata Nurul.

Di sisi lain, tak sedikit guru yang belum berpikir terbuka dan menganggap materi kespro tabu diajarkan di kelas. Alat peraga tentang pengajaran kespro dan seksualitas untuk SLB pun baru sebatas untuk tunanetra dan rungu wicara. Kemudian materi yang diajarkan pun acapkali terbatas pada pengetahuan ABK tentang yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Seperti tidak boleh ciuman, jangan mau disentuh payudaranya, jangan pegangan tangan.

“Lebih pada gak boleh. Bukan pada pemahaman perilaku seksual aman sepertinya apa dan risikonya apa. Jadi pemberian materi kespro bagi ABK belum clear,” kata Nurul.

Akibatnya, ABK yang tidak mendapatkan pengetahuan yang tepat mengenai kespro rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual, baik ketika masih usia anak-anak maupun dewasa. Kekerasan seksual yang dialami perempuan difabel tidak hanya berisiko tertular penyakit infeksi menular seksual (IMS), seperti HIV dan AIDS, melainkan juga berisiko terjadinya kehamilan tidak diinginkan.

Dampak tersebut akan memunculkan ekses pelanggaran hak asasi yang luas. Seperti ABK yang hamil dikeluarkan dari sekolah. Di tingkat keluarga, ABK tersebut dipaksa menikah dengan pelaku dalam usia yang belia. Ada pula yang dipaksa untuk melakukan aborsi. Usai melahirkan pun, ABK dipaksa melakukan sterilisasi agar tidak hamil lagi. Pemaksaan sepihak dilakukan dengan dalih korban masih anak di bawah umur yang berada di bawah pengampuan.

Padahal, Rini Rindawati melanjutkan, memilih menikah atau tidak, hamil atau tidak, mempunyai anak atau tidak adalah hak setiap difabel sebagaimana dimiliki non difabel. Jenis alat kontrasepsi pun banyak pilihan, tidak hanya sterilisasi yang menyebabkan perempuan difabel tidak bisa hamil.

“Ini tubuhku, ini otonomiku,” kata Rini menegaskan.

Baca Juga: Kaum Difabel dalam Lingkaran Stigma Reproduksi dan Seksualitas (1)

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya