RUU PKS Terancam Didepak, ICJR: Negara Harus Intervensi

Tak ada anggaran untuk visum korban kekerasan seksual

Yogyakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) terancam didepak dari daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Usulan dari Komisi VIII DPR itu disampaikan wakil ketuanya, Marwan Dasopang dalam Rapat Badan Legislatif DPR pada 30 Juni 2020. Alasannya, pembahasannya terlalu rumit. Sementara RUU PKS sendiri produk inisiatif DPR periode 2016-2019. Dan kini di ujung tanduk pembahasan pada 2020 oleh DPR juga.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai alasan DPR bukan penghalang untuk melanjutkan pembahasan RUU PKS tahun ini. Justru menjadi pelecut bagi DPR dan pemerintah untuk membahasnya demi melindungi korban kekerasan seksual.

“Negara harus hadir merumuskan kebijakan. Dan DPR harus menjamin pembahasan RUU PKS tetap jadi prioritas,” kata Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus AT. Napitupulu melalui siaran pers yang diterima IDN Times, 1 Juli 2020.  

Baca Juga: Alasan DPR Cabut RUU PKS: Masih Menuai Polemik di Kaum Perempuan

1. Kekerasan seksual akan terus terjadi, jika negara tak melakukan intervensi

RUU PKS Terancam Didepak, ICJR: Negara Harus IntervensiDesakan pengesahan RUU PKS dalam aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta, 30/9/2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menurut Erasmus, RUU PKS harus menjadi prioritas pembahasan mengingat materinya punya semangat melindungi korban kekerasan seksual. Mulai dari penanganan kasus, layanan bantuan langsung, hingga pemulihan secara komprehensif.

“Kekerasan seksual terus saja terjadi. Dan negara tak hadir untuk mengintervensi,” kata Erasmus.

Dia mengingatkan kasus Baiq Nuril Maknun yang menjadi korban kekerasan seksual atasannya. Alih-alih mendapat bantuan, korban justru dikriminalisasi. Tak hanya itu. Korban-korban kekerasan seksual lainnya juga mendapat stigma aparat penegak hukum sebagai pihak yang salah.

Mencuplik data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, tercatat ada 5.513 kasus kekerasan seksual dan 2018 ada 5.247 kasus. Kemudian pada 2019 berdasar data Komisi Nasional Perempuan ada 3.062 kasus.

“Dan korban minim mendapat akses pendampingan,” kata Erasmus.

2. Tak ada anggaran khusus untuk pembiayaan visum bagi korban

RUU PKS Terancam Didepak, ICJR: Negara Harus IntervensiIDN Times/Debbie Sutrisno

Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang isinya mengecualikan layanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual. Padahal korban kekerasan seksual butuh layanan kesehatan untuk memulihkan fisik dan psikisnya.

“Jadi pemerintah abai dengan mengeluarkan biaya pemulihan kesehatan korban dari jaminan kesehatan,” papar Erasmus.

Alasannya, luka akibat kekerasan seksual tak masuk kategori penyakit. Akibatnya, biaya visum et repertum dan pengobatan yang dijalani perempuan dan anak korban kekerasan seksual tidak ditanggung negara.

Dan Januari 2020 lalu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk memberikan lampu hijau agar biaya visum dan pengobatan luka kekerasan menggunakan dana dekonsentrasi Kementerian Kesehatan ataupun dana alokasi khusus (DAK). Namun kabar itu masih kabur tindak lanjutnya. Pembiayaan visum yang ditanggung negara bergantung kebijakan tiap-tiap daerah. Misal, pemerintah DKI Jakarta menggratiskan biaya visum bagi korban kekerasan perempuan dan anak. Ada juga daerah yang mengalokasikan biaya visum pada dana kepolisian. Itu pun dikeluhkan karena tak ada anggaran di kepolisian.

“Beberapa unit Perlindungan Perempuan dan Anak ada yang patungan,” kata Ersamus.

3. Banyak aturan dan lembaga menangani hak korban, tapi tak komprehensif

RUU PKS Terancam Didepak, ICJR: Negara Harus IntervensiANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Selama ini, rumusan hak-hak korban kekerasan seksual diatur dalam sejumlah undang-undang. Seperti UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Itu pun spesifik untuk korban dalam tindak pidana yang dimaksud dalam UU tersebut. Lembaga yang menangani pun beragam. Tak ada ketentuan dasar yang khusus menjamin pemenuhan hak korban dapat diwujudkan untuk semua korban kekerasan seksual. Termasuk yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

“Itu menyebabkan penanganannya tak terkoordinir dan tak komprehensif,” kata Erasmus.

Dalam konteks hukum acara sekalipun, tidak ada ketentuan khusus yang menjamin pencegahan reviktimisasi korban dalam proses peradilan. Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum pun hanya berlaku dalam persidangan. Keseluruhan proses peradilan belum sepenuhnya menjamin penguatan hak korban kekerasan seksual.

“Jadi RUU PKS harus jadi prioritas 2020. Kalau negara menyerah, korban bisa menjadi korban kesekian kalinya,” kata Ersamus.

Baca Juga: Komnas Perempuan Kecewa RUU PKS Ditarik dari Prolegnas 2020 

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya