RUU Cipta Kerja, Investor Buka Lapangan Kerja Bukan Tanpa Syarat

Pemerintah dinilai lemah di depan investor 

Yogyakarta, IDN Times – Sejumlah problem substantif ditemukan dosen dan civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Temuan berdasarkan diskusi kajian tentang RUU Omnibus Law pada 6 Maret 2020 lalu.

Menurut Dekan FH UII, Abdul Jamil, dalam bidang lingkungan misalnya, pemerintah pusat mempunyai kewenangan sebagai pemberi izin sekaligus pemberi sanksi administratif.

Sementara dalam UU Pelestarian Lingkungan Hidup, kewenangan pemberian izin itu telah diatur secara proporsional antara pemerintah pusat, provinsi, serta kabupaten dan kotamadya.

“Yang dimaksud pemerintah pusat dalam RUU itu adalah presiden,” kata Dekan FH UII Abdul Jamil dalam siaran pers yang diterima IDN Times, 12 Maret 2020 sore.

"Berdasarkan kaidah hukum administrasi, tidak tepat jika Presiden diberikan kewenangan memberikan izin. Ada kecenderungan kembali ke sentralisasi,” kata Jamil dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Kamis (12/3).

Baca Juga: FH UII Desak Pemerintah dan DPR Tidak Lanjutkan RUU Cipta Kerja 

1. Beda definisi amdal versi UU PLH dengan RUU Cipta Kerja

RUU Cipta Kerja, Investor Buka Lapangan Kerja Bukan Tanpa SyaratAksi Jampiklim di titik nol Malioboro, Yogyakarta, 28 Februari 2020. Dokumentasi Jampiklim

Demikian pula soal amdal, antara UU Pelestarian Lingkungan Hidup dan di RUU Cipta Kerja berbeda. Menurut UU Pelestarian Lingkungan Hidup, amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

“Artinya, amdal sebagai sesuatu yang diperlukan dalam pemberian izin. Sifatnya imperatif,” kata Jamil.

Namun, menurut versi RUU Cipta Kerja. Bahwa amdal sebagai kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

“Amdal hanya sebagai pertimbangan. Sifatnya fakultatif,” kata Jamil.

2. Pemerintah dinilai lemah di depan investor

RUU Cipta Kerja, Investor Buka Lapangan Kerja Bukan Tanpa SyaratAksi Ribuan Buruh Palembang Tolak RUU Omnibus Law di DPRD Sumsel (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Klaim pemerintah bahwa investor yang masuk akan membuka lapangan pekerjaan sebagaimana tercermin dalam RUU Cipta Kerja, dinilai menyederhanakan persoalan.

“Justru investor masuk ke Indonesia tentu bukan tanpa syarat,” kata Ketua Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII Anang Zubaidy.

Seperti pameo, tak ada makan siang yang gratis. Dari perspektif ketenagakerjaan, syarat yang biasa diminta investor, adalah kenyamanan dan keamanan atas investasi. Untuk memenuhinya, investor butuh regulasi ketenagakerjaan yang permisif bagi iklim investasi. Sebagai negara berkembang yang basis materialnya adalah industrialisasi, tidak ada pilihan lain kecuali memenuhi tuntutan tersebut.

Gambaran itu sekaligus menunjukkan negara, dipaksa tunduk kepada kepentingan investor dengan mereformasi regulasi melalui RUU Cipta Kerja yang menguntungkan investor, tetapi merugikan buruh di sisi lain.

“Hal ini menunjukkan betapa pemerintah lemah di depan investor,” imbuh Anang.

3. Berpotensi jadi buruh kontrak seumur hidup

RUU Cipta Kerja, Investor Buka Lapangan Kerja Bukan Tanpa SyaratIDN Times/Anggun Puspitoningrum

Beberapa poin yang dinilai akan memberatkan buruh berdasarkan RUU Cipta Kerja antara lain, tidak ada upah minimum kabupaten/kota atau upah sektoral. Upah bergantung pada pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan, bukan berdasarkan inflasi.

"Penghitungan upah juga ditentukan dalam satuan waktu, yaitu  jam, bukan hari. Jelas akan merugikan pekerja,” kata Anang.

Akibatnya adalah, pertama tentang penetapan upah minimum hanya di tingkat provinsi akan menimbulkan kecemburuan, terutama untuk provinsi yang pertumbuhan inflasinya berbeda antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lain.

Kedua, pengaturan upah dalam jam akan mendegradasi perlindungan upah. Ketiga, kenaikan upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan tidak menyertakan inflasi, maka berpotensi menyebabkan adanya migrasi buruh ke daerah yang upah minimumnya tinggi.

Keempat, RUU Cipta Kerja juga menghilangkan kompensasi akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Baik berupa uang penggantian hak dan besaran uang penghargaan masa kerja dikurangi dari maksimal 10 bulan upah menjadi hanya 8 bulan upah.

RUU itu juga semakin mendukung sistem kontrak outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Lantaran tidak mengatur pembatasan alih daya/outsourcing dan kontrak.

“Jadi bisa saja PKWT atau kontrak berlaku seumur hidup. Tergantung kesepakatan,” kata Anang.

Pro kontra tenaga kerja asing agaknya akan diakhiri lewat RUU Cipta Kerja yang berpotensi memuluskan penggunaan TKA. Pengguna TKA tidak perlu izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dari pusat, termasuk untuk jenis pekerjaan seperti vokasi, start up, kunjungan bisnis.

“Jadi investor asing membawa tenaga kerja dari negara asalnya, potensial terjadi,” kata Anang.

4. Pengusaha yang tak bayar upah lepas dari ancaman pidana

RUU Cipta Kerja, Investor Buka Lapangan Kerja Bukan Tanpa SyaratIDN Times/Yogie Fadila

Sejumlah sanksi pidana dalam UUPLH disulap menjadi sanksi administrasi dalam RUU Cipta Kerja. Bukan tidak mungkin kerusakan lingkungan lebih besar terjadi, jika RUU disahkan.

Konsep aturan hukum pun dibolak-balik. Misal, Pasal 59 RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 297 UU Pelayaran, yang memuat sanksi pidana dua tahun penjara sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya sanksi administrasi berupa denda. Mestinya sanksi pidana dijatuhkan karena ada pelanggaran perbuatan yang dinyatakan sebagai delik.

“Bukan karena tidak melaksanakan sanksi administrasi,” kata Jamil.

Baca Juga: Ditolak Buruh, Apa Saja Kekurangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja?

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya