Ponpes Waria dan Fatayat NU Teken Kerja Sama Pengadaan Ustazah

Ceramah yang disampaikan tidak boleh menghakimi

Yogyakarta, IDN Times – Pondok Pesantren Waria “Al Fattah” menjalin kerja sama dengan Fatayat Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta tentang pengadaan ustazah atau penceramah perempuan. Kerja sama tersebut dituangkan dalam lembaran nota kerja sama yang ditandatangani Ketua Ponpes Al Fattah, Shinta Ratri dan Ketua Pimpinan Wilayah Fatayat NU DIY Khotimatul Husna di Kantor Fatayat NU Yogyakarta, Rabu (22/1) sore.

“Kami berharap dalam sebulan sekali Fatayat mengirimkan daiyah (ustazah). Harapannya dapat meningkatkan keimanan di Ponpes Al Fattah,” kata Shinta.

Ada 42 santri transgender yang belajar mengaji di ponpes tersebut. Delapan orang di antaranya tinggal di sana.

Baca Juga: Mengenal Najwa Rashika, Drummer Remaja Berprestasi Asal Jogja

1. Ustazah akan datang sebulan sekali dalam pengajian kaum transgender

Ponpes Waria dan Fatayat NU Teken Kerja Sama Pengadaan UstazahAcara penandatangan MOU pengadaan ustazah antara Ponpes Waria dengan Fatayat NU DIY, Yogyakarta, 22 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Shinta menjelaskan, biasanya tiap Minggu usai Magrib digelar pengajian di ponpes tersebut. Penceramah yang rutin menyampaikan kajian adalah Arif Nur Syakri yang dikenal sebagai ustaz Ponpes Waria “Al Fattah”. Lantaran kesibukannya akhir-akhir ini, Arif hanya bisa hadir paling tidak sekali dalam sepekan.

“Kami minta bantuan teman-teman mahasiswa (Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga) yang kuliah praktik atau teman lain,” kata Shinta.

Rencananya, lewat kerja sama pengadaan ustazah tersebut akan digelar sekali dalam sebulan setiap hari Minggu. Agenda dimulai pukul 15.00 dengan kegiatan koperasi dan arisan. Pukul 16.00 dilanjutkan dengan latihan salat, juga menghafal surat pendek. Kemudian pukul 17.00 belajar membaca iqra dan tadarus. Usai salat Magrib berjamaah ditutup dengan pengajian dari pukul 18.20-19.00.

"Kami butuh teman dari luar komunitas untuk memberi pendidikan agama buat waria," kata salah satu santri, YS Adisakti Al Bukhori.

2. Penceramah untuk transgender harus berperspektif gender dan tidak diskriminatif

Ponpes Waria dan Fatayat NU Teken Kerja Sama Pengadaan UstazahAcara MOU pengadaan ustazah antara Ponpes Waria dengan Fatayat NU DIY, Yogyakarta, 22 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Tema besar yang disusun dalam pengajian adalah mengenai dasar Islam mulai dari yang mendasar.

“Temanya jangan terlalu berat. Yang sederhana karena mayoritas santri adalah waria,” kata pendamping Ponpes Al Fattah, Masturiyah.

Ustazah yang dihadirkan pun diharapkan yang mempunyai perspektif gender yang baik.

“Juga tidak menghakimi dan tidak menimbulkan fitnah,” kata Masturiyah.

MOU berlaku satu tahun selama ponpes berdiri dan bisa diperpanjang lagi.

3. Santri transgender diajak menulis dan berinteraksi dengan publik

Ponpes Waria dan Fatayat NU Teken Kerja Sama Pengadaan UstazahKomunitas waria diajak untuk menulis dan berinteraksi dengan publik, Yogyakarta, 22 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Tak hanya mengirimkan ustazah dalam pengajian yang digelar di Ponpes Al Fattah, Khotimatul juga meminta santri transgender ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang digelar Fatayat NU. Seperti ikut serta dalam sejumlah diskusi, bedah novel, atau pun belajar menjadi relawan untuk melakukan mitigasi bencana

“Tak akan memandang diskriminatif. Semua ciptaan Allah itu harus dihargai dan dihormati hak-haknya. Melihat sama, bukan berbeda,” kata Khotimatul.

Ia juga berharap, waria mau menulis tentang segala hal mengenai kehidupannya yang perlu diketahui publik.

“Akan kami muat di website kami. Kami siap jadi corong ke masyarakat,” kata Khotimatul.

Pengurus Pemberdayaan Santri Ponpes Al Fattah Ruli Mailay menambahkan, jika kehidupan berperikemanusiaan berjalan sebagaimana mestinya, maka sikap diskriminatif dalam masyarakat tidak terjadi. Justru yang muncul adalah saling menghormati dan tidak saling mendominasi antarmanusia.

“Intisari ajaran agama kan mengajak kebaikan,” kata Ruli.

Berbagai upaya dilakukan kelompok transgender untuk berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Ruli mencontohkan, mereka sering melakukan kerja bakti sosial bersama warga sekitar.

“Bahkan ketika tsunami Aceh dan gempa Jogja, kami juga terlibat membantu di dapur umum,” kata Ruli.

Baca Juga: Bahu Membahu Memupuk Kebhinnekaan di Klenteng Fuk Ling Miau

Topik:

  • Paulus Risang
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya