Pers Mahasiswa Dibungkam apa yang Harus Dilakukan? 

Pentingnya jaringan dan penguatan standar etik jurnalistik

Yogyakarta IDN TIMES – Mengapa dewan pers tidak dapat membantu pers mahasiswa jika terkena masalah? 

Dalam UU Pers Nomer 40 Tahun 1999 tak mengatur soal persma, tetapi sebatas pers nasional yang notabene adalah pers mainstream. Atas dasar itu pula, Dewan Pers tak bisa mengulurkan tangannya untuk merengkuh pers-pers kampus yang rentan didera persoalan.

Selama ini, perlindungan terhadap persma sebatas penggunaan pasal perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dideklarasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 dan Pasal 22 ayat 3 UU Nomer 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Lantas apa yang mesti dilakukan pers-pers kampus untuk tetap menulis kritis dan survive?

 

Pers Mahasiswa Dibungkam apa yang Harus Dilakukan? Ilustrasi kasus pers mahasiswa

1. Sekjen PMII Cabang Yogyakarta, Akbar Farhatani: perlu berjejaring

Pers Mahasiswa Dibungkam apa yang Harus Dilakukan? IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Cabang Yogyakarta, Akbar Farhatani menyatakan mayoritas pembekuan kegiatan persma dilakukan dengan memotong dana anggaran.

“Buletin dan majalah kan senjata kami. Kalau amunisinya berkurang, kami kelimpungan dong. Sedangkan sponshorship gak banyak amat,” kata Akbar saat ditemui IDN Times di Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Jumat (30/8) lalu. 

Cara lainnya adalah dugaan birokrat kampus membanding-bandingkan LPM dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) lainnya. Semisal mengajak mahasiswa baru untuk memilih aktif di UKM yang mempunyai banyak prestasi karena sering juara lomba ketimbang UKM yang sering menggelar demonstrasi seperti yang biasa dilakukan aktivis persma.

“Prestasi persma bukan diukur dengan piala dan sertifikat. Tapi lewat karya jurnalistik,” kata Akbar.

Kemudian bagaimana cara persma keluar dari masalah? 

“Berjejaring untuk mendapatkan pendampingan advokasi adalah cara kami,” kata Akbar.

Lembaga-lembaga seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), LBH Pers, juga dukungan seluruh persma dari berbagai kota, menurut Akbar membuat persma yang bermasalah menjadi percaya diri untuk terus melangkah.

“Punya tempat mengadu ketimbang resah sendiri,” kata Akbar yang membawahi 33 persma di wilayah Yogyakarta.

 

Baca Juga: Buletin Mahasiswa Dibredel Sebelum Dibaca...

2. Sekjend PPMI Pusat, Rahmat Ali: mau jadi kapal perang atau kapal barang?

Pers Mahasiswa Dibungkam apa yang Harus Dilakukan? IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Hingga kini, PPMI Nasional membawahi 22 PPMI Dewan Kota yang tersebar di seluruh Indonesia dengan total sekitar 600 persma di dalamnya. Di luar itu masih ada pers-pers kampus lainnya yang tak bergabung di PPMI. Meski demikian, diakui Sekjend PPMI Nasional Periode 2019-2020 Rahmat Ali, PPMI tak mempunyai standar baku dalam merampungkan kasus-kasus yang dialami persma. Tak ada kurikukum terstruktur untuk membekali persma yang menjadi anggotanya untuk bisa menyelesaikan kasus. Penanganan kasus pun dilakukan secara kondisional, artinya ketika ada persma yang mendapat masalah PPMI akan membantu.

“Kami bukan sebagai penyelesai masalah, tapi sekedar perantara penyelesaian masalah,” kata Rahmat saat ditemui IDN Times di Wizh Hotel, Yogyakarta, Sabtu (31/8). 

Dalam penyelesaian kasus-kasus persma, PPMI mesti berjejaring bersama organisasi lain. Mengingat persma yang digawangi para mahasiswa juga mempunyai kewajiban sebagai mahasiswa.

Tak heran, sekedar mendata atau pun mengelar riset rutin tentang kasus-kasus kekerasan yang menimpa persma acapkali terhambat. Di sisi lain, dana pun mencekik sehingga tak bisa membiayai operasional organisasi. Sumber dana hanya diharapkan dari iuran anggota. Dana dari PPMI Nasional berasal dari 10 persen total iuran di dewan kota tiap bulan. Itu pun seret.

“Ini masalah. (Mahasiswa) lebih baik beli rokok ketimbang iuran untuk kas,” kata Rahmat.

Menurut Rahmat, kunci untuk mengatasi masalah itu secara internal adalah dengan mendaftarkan PPMI sebagai organisasi yang berbadan hukum. Legalitas itu juga memudahkan PPMI mencari dana untuk menjalankan roda organisasi. Rencana tersebut sudah pernah digaungkan oleh pengurus periode lama, tetapi tak pernah mencapai titik temu.

“Jauh hari sudah dibahas, PPMI mau jadi kapal perang atau kapal barang. Tapi perdebatannya gak pernah final,” kata Rahmat.

PPMI sebagai kapal perang, artinya bersama persma maupun jejaring lainnya ‘menyerang’ pihak-pihak yang melakukan kritik. Peran kapal perang sebagaimana yang tengah dilakoni PPMI saat ini. Sedangkan PPMI sebagai kapal barang adalah memberikan amunisi kepada persma-persma yang menjadi anggota untuk mempunyai kemampuan mengatasi persoalannya sendiri. Seperti bekal peningkatan sumber daya mahasiswa, keterampilan melakukan advokasi, maupun pelatihan lainnya.

Sedangkan secara eksternal, PPMI menuntut adanya perbaikan UU Pers dengan memasukkan persma di dalamnya agar mempunyai legalitas hukum.

“Kalau pakai pasal perlindungan kebebasan berekspresi itu gak tepat. Ini kasus jurnalistik,” kata Rahmat.

 

3. Ketua AJI Yogyakarta, Tommy Apriando: menguatkan standar etik jurnalistik

Pers Mahasiswa Dibungkam apa yang Harus Dilakukan? IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Melakukan advokasi terhadap persma yang tengah bermasalah telah dilakukan organisasi jurnalis, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak lama. Setidaknya AJI Yogyakarta telah melakukan pendampingan sejak empat tahun lalu. Meskipun AJI merupakan organisasi jurnalis yang berisi jurnalis-jurnalis yang bekerja di pers-pers umum.

“Persma juga melakukan kerja-kerja jurnalistik seperti pers umum lainnya meskipun tak di bawah perusahaan media,” kata Ketua AJI Yogyakarta Periode 2019-2022 Tommy saat ditemui IDN Times di Wizh Hotel, Yogyakarta, Sabtu (31/8).

Bahkan dalam Kongres Nasional AJI pada 2017 lalu di Surakarta memberi kesempatan jurnalis kampus bisa menjadi anggota AJI. Namun di mata UU Pers, persma tak masuk kriteria pers umum. Dalam proses advokasi mengandalkan UU Hak Asasi Manusia dan konstitusi UUD 1945 yang melindungi kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul.

“Dan kampus mestinya yang memberi perlindungan persma sebagai bentuk kebebasan akademik. Tapi entah mengapa budaya kampus dan birokrasinya tak paham,” kata Tommy.

Ia mencontohkan, birokrat kampus menginginkan citra kampus menjadi besar. Ketika persma menyampaikan kritikan dengan maksud agar kampus memperbaikinya, kampus justru berasumsi kritikan itu akan memperburuk citra, menurunkan akreditasi kampus.

“Citra kampus dianggap bagus kalau unit kegiatan mahasiswa maupun mahasiswa menang lomba ini itu,” kata Tommy.

Bentuk-bentuk advokasi yang diberikan AJI Yogyakarta sebatas ini baru memberikan pendampingan dan audiensi untuk merampungkan masalah dengan birokrat kampus. Mengingat dari sisi regulasi, UU Pers tak semudah membalikkan telapak tangan untuk direvisi dalam waktu dekat agar bisa mengakomodir persma.

AJI Yogyakarta juga berkeinginan membekali persma dengan peningkatan kapasitas dan penguatan standar etik moral dalam melakukan peliputan.

“Kalau membela persma dan mereka melakukan standar jurnalistik yang baik, narasi pembelaannya lebih mudah,” kata Tommy.

Selain itu juga mengumpulkan dan mengundang birokrat kampus untuk menanamkan pemahaman tentang edukasi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Diakui Tommy, ada sejumlah kendala yang tak menutup kemungkinan dihadapi. Seperti kesulitan berkomunikasi dengan birokrat kampus yang berpola pikir ortodoks. Akibatnya sulit memahami peran persma yang juga berperan sebagai watchdog. Dampaknya, birokrat kampus melakukan intervensi dan tekanan kepada persma.

Di sisi lain, ada pula birokrat kampus yang terbuka dan mempunyai kesadaran untuk melakukan perlindungan kepada persma.

“Ada yang mau meminta maaf, meskipun hanya untuk menjaga imej. Tapi itu awalan yang baik,” kata Tommy.

 

4. Rektor UNY, Sutrisna Wibawa: silakan mengkritik, tapi berdasar data, bukan asumsi

Pers Mahasiswa Dibungkam apa yang Harus Dilakukan? IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Setidaknya Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Sutrisna Wibawa mencoba membuka kebekuan dan ketegangan antara rektorat dengan persma. Dia mengamini kehadiran mahasiswa sebagai sosok-sosok yang berpikir kritis dan terbuka. Media tulisan menjadi sarana untuk menyalurkan pikiran-pikiran kritisnya.

“Persma harus diberi kesempatan. Tapi harus tanggung jawab. Mengkritiklah atas dasar data, bukan kata orang. Jangan berasumsi,” kata Sutrisna saat ditemui IDN Times di Gedung Rektorat UNY, Selasa, (3/9).

Lantaran karya jurnalistik yang bersumber dari “katanya” disebutnya berbahaya, karena menyebar isu yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Berbeda jika karya jurnalistik dibuat berbasiskan data.

“Persma itu sangat membantu (kemajuan kampus). Hanya tolong, sumber datanya sahih,” kata Sutrisna yang mulai menjabat sebagai rektor sejak tahun 2017.

Adanya letupan-letupan api persoalan antara birokrat kampus dengan persma, menurut dia biasanya bersumber pada masalah data yang tak akurat. Seperti tidak dilakukan verifikasi.

Meski demikian, Sutrisna membuka peluang untuk mengedepankan komunikasi dalam merampungkan masalah.

“Gak pernah saya narik (membredel karya jurnalistik). Kalau ada yang keliru, kami datang menjelaskan. Ada proses audiensi,” kata Sutrisna. 

Baca Juga: 5 Manfaat Bergabung di Lembaga Pers Kampus Bagi Mahasiswa Baru

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya