Pentingnya Mitigasi Bencana Merapi: Ngelingake Sakdurunge Kelangan

Patuhi panduan catur gatra ngadepi bebaya Merapi

Kota Yogyakarta, IDN Times – Perkembangan ilmu kegunungapian dimulai sejak ribuan tahun lalu sejak terjadinya letusan Gunung Vesuvius di Italia abad 79 Masehi. Manusia mulai ingin tahu proses letusan gunung api, mengingat letusannya dianggap salah satu yang paling mematikan dalam sejarah gunung api di Eropa. Bertahun-tahun, keingintahuan itu tak terjawab juga. Barulah pemahaman tentang konsep yang benar mengenai gunung api muncul pada pertengahan abad 20.

“Lalu kami punya tugas untuk menyampaikan ilmu yang sulit ini kepada warga,” kata mantan Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Periode 2007-2015, Subandriyo dalam Jagongan Virtual Merapi memperingati Dasawarsa Merapi bertajuk Refresh Pengetahuan Kebencanaan pada 2 November 2020.

Targetnya, masyarakat tak hanya tahu sejak dini, tapi juga paham dan mengambil tindakan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan diri sejak dini dari ancaman bahaya gunung api. Dalam mitigasi bencana, komunikasi antara para ahli gunung api dengan warga menjadi kunci upaya pengurangan risiko bencana.

Ngelingake sakdurunge kelangan (mengingatkan sebelum kehilangan). Harus ya, itu jadi komitmen bersama untuk zero victim dan menekan dampak kerugian sekecil mungkin,” kata Subandriyo mengingatkan prinsip peringatan dini dan mitigasi bencana.

 

Pentingnya Mitigasi Bencana Merapi: Ngelingake Sakdurunge KelanganANTARA FOTO/Rudi/hn/pd

Secara teori, tahapan mitigasi bencana erupsi gunung api sudah disusun. Para ahli menyusunnya berdasarkan pengalaman dan keilmuan. Bertahun-tahun para ahli berinteraksi dengan Merapi untuk mempelajari berbagai metode demi mengetahui karakteristik Merapi. Namun praktik mitigasi tak semudah teori. Tak terkecuali mitigasi erupsi Gunung Merapi.

“Saya hampir 30 tahun berinteraksi dengan Merapi. Seratus kali lebih naik ke Merapi. Nyatanya memahami Merapi tak mudah. Apalagi memberikan peringatan dini sebagaimana diharapkan warga. Tak mudah,” papar Subandriyo panjang lebar.

Yang tersulit menurut Subandriyo adalah menyampaikan upaya mitigasi bencana kepada para pihak stakeholder mulai dari pemerintah daerah, instansi terkait, hingga warga yang tinggal di KawasanRawan Bencana (KRB) III.

Lantas seperti apa upaya mitigasi bencana yang disampaikan para ahli dan yang telah dilakukan warga di wilayah KRB III?

1. Wajib melatih menyiapkan warga memahami peringatan dini dan mitigasi bencana

Pentingnya Mitigasi Bencana Merapi: Ngelingake Sakdurunge KelanganPeta evakuasi penanggulangan erupsi Merapi di Sleman. Sumber BPBD Sleman

Ada tiga tahapan peringatan dini dalam menghadapi bahaya gunung api. Pertama, berbasis sains dan teknologi untuk mempelajari perilaku gunung api saat ini dan masa lalu. Kedua, memanfaatkan potensi bahaya gunung api untuk menilai jenis dan derajat bahayanya, serta mengindentifikasi wilayah berisiko untuk menyusun peta KRB. Ketiga, menyusun manajemen kedaruratan dan pengungsian.

Informasi kegunungapian yang berisi tentang aktivitas vulkanik harian, peringatan dini, dan peta KRB tersebut tak hanya disampaikan kepada para pemangku kepentingan. Melainkan juga masyarakat di KRB dan otoritas penerbangan, baik melalui media komunikasi yang langsung maupun tak langsung.

“Komunikasi tak langsung bisa lewat media massa atau pun media sosial. Komunikasi langsung lewat wajib latih penanggulangan bencana,” papar Subandriyo.

Program wajib latih ini lahir dari rahim Forum Pengurangan Risiko Bencana pada 2008 yang diinisiasi BPPTKG bekerja sama dengan sejumlah LSM, kampus, dan pemerintah kabupaten di sekitar Merapi.

Pentingnya Mitigasi Bencana Merapi: Ngelingake Sakdurunge KelanganGunung Merapi. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Tak menampik kemungkinan, menurut Subandriyo, forum itu yang pertama kali dibentuk di Indonesia. Salah satu dari empat program yang disusun adalah penguatan kapasitas masyarakat.

“Instrumennya apa biar masyarakat paham, sadar, punya perilaku pro aktif. Metode yang tepat seperti apa,” kata Subandriyo.

Dia pun mengusulkan nama berupa Wajib Latih Penanggulangan Bencana (WLPB). Sejak 2008 hingga kini sudah melatih sekitar 6.000 peserta di seluruh lereng Merapi, khususnya di KRB 3. Namun embrionya sudah dimulai sejak 1997.

Pada tahun 1997-2007 dimulai dengan diseminasi informasi berdasarkan penyuluhan dan sosialisasi kepada kepala desa, dukuh, hansip, guru dan murid, tentara, dan masyarakat umum.

Sementara wajib latih sejak tahun 2008-2020 digelar berupa pelatihan, sosialisasi, dan penyuluhan kepada masyarakat di kawasan rawan bencana. Biasanya dilangsungkan ketika kondisi Merapi normal dan waspada.

“Kalau pas siaga cukup sosialisasi dan penyuluhan agar cepat sampai akses masyarakat terancamnya,” kata Subandriyo.

Baca Juga: Merapi Berstatus Siaga, BPPTKG Minta Warga Lakukan 5 Hal 

2. Panduan mitigasi bencana: catur gatra ngadepi bebaya Merapi

Pentingnya Mitigasi Bencana Merapi: Ngelingake Sakdurunge KelanganGunung Merapi siaga, 133 lansia mulai diungsikan pada Sabtu (7/11/2020). IDN Times/Tunggul Damarjati

Erupsi Merapi di tahun 2020 ini diprediksi tak seperti yang terjadi 2010 yang dahsyat dan menelan korban jiwa ratusan orang. Melainkan mirip erupsi tahun 2006, meski pun kondisinya saat ini dinyatakan Kepala BPPTKG telah melampaui masa itu.

Namun bahaya tahun ini tak hanya sekedar erupsi, melainkan juga dari pandemik COVID-19 yang angka penderitanya terus bertambah.

Mengutip proyeksi epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, pandemi ini akan melandai pada awal 2021. Melandai tak sama artinya dengan berakhir, namun masih butuh banyak kajian. Dan nantinya, COVID-19 akan menjadi penyakit endemis, layaknya flu yang mudah muncul dan hilang.

“Kuncinya, bersiap dengan yang terburuk dan berharap yang terbaik,” kata Koordinator Jurnalis Bencana dan Krisis, Ahmad Arif dalam diskusi Dasawarsa Merapi secara virtual bertajuk Praktik Baik Merapi pada 29 Oktober 2020.

 

Pentingnya Mitigasi Bencana Merapi: Ngelingake Sakdurunge KelanganANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Lantas, bagaimana caranya? Arif menitikberatkan pada pentingnya komunikasi risiko. Artinya, menyadari risiko itu ada dan harus dikelola. Di sini pentingnya strategi mitigasi bencana harus disusun. Dia mencontohkan, Amerika tak hanya menghadapi pandemik COVID-19, tetapi juga ancaman angin siklon. Pemerintah setempat telah menyiapkan panduan mitigasinya bagi warga dan para stakeholder.  

Panduan mitigasi bencana Merapi dirangkum Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Pemerintah Jawa Tengah dan DIY, serta BNPB dalam Catur Gatra Ngadepi Bebaya Gunung Merapi. Disebut catur gatra karena ada empat tahapan yang mesti dilakukan warga berdasarkan status kegawatan Merapi.

Ketika berstatus normal, warga tetap beraktivitas sehari-hari dan mengikuti pelatihan penanggulangaan bencana Merapi. Juga mulai mencatat data harta kekayaan, serta menyimpannya bersama surat berharga dalam tempat yang aman.

Status waspada, kegiatan sehari-hari dilangsungkan di luar radius tiga kilometer dari puncak Merapi. Warga juga mulai mengumpulkan surat-surat penting dalam tas siaga. Serta memahami lokasi titik kumpul dan tempat evakuasi atau pengungsian.

Status siaga, kewaspadaan warga ikut ditingkatkan. Selain tak lagi beraktivitas di lokasi berbahaya, juga bersiap untuk mengungsi. Persiapannya antara lain dengan mengamankan raja brana (harta kekayaan) dan raja kaya (ternak), serta surat-surat berharga. Menyiapkan tas siaga yang berisi pakaian, senter, obat-obatan, radio, handphone atau handy talkie, makanan ringan, dan minuman. Letakkan tas siaga di tempat yang mudah dijangkau. Warga dan ternak harus segera mengungsi ketika mulai terlihat guguran lava pijar atau awan panas berskala kecil atau pun suara gemuruh terus-menerus.

Status awas, warga di KRB III harus mengungsi dengan membawa tas siaga dan mengikuti arahan koordinator evakuasi desa yang ditunjuk. Selama di pengungsian pun harus mematuhi tata cara hidup di sana. Mengingat saat ini COVID-19 masih mewabah sehingga protokol kesehatan 3 M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menghindari kerumunan harus diterapkan. Jangan kembali ke rumah sebelum kondisi Merapi dinyatakan aman. Serta tetap mematuhi rekomendasi pemerintah. 

3. Warga Tegalmulyo, Klaten arsipkan dokumen-dokumen penting jauh hari

Pentingnya Mitigasi Bencana Merapi: Ngelingake Sakdurunge KelanganANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Hidup berdampingan dengan Merapi disadari betul warga Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten. Sewaktu-waktu mereka harus mengalah untuk turun gunung ketika Merapi memberikan sinyal-sinyal punya hajat besar. Hanya saja, tanda-tanda erupsi Merapi kali ini berbarengan dengan ancaman bahaya yang lain, pandemi COVID-19.  

“Kami sudah siapkan karena menghadapi dua ancaman bencana, Merapi dan COVID-19,” kata warga setempat, Subur.

Satu sisi, mereka harus menyingkir dari lereng Merapi. Sisi lainnya, lokasi pengungsian yang dituju tak menutup kemungkinan adalah zona merah COVID-19. Lantas bagaimana warga Tegalmulyo menyiapkan mitigasinya?

Warga membuat kesepakatan dan hasilnya meminta rekomendasi BPPTKG. Mereka membuat skenario, jika erupsi terjadi di bawah radius 5 kilometer, maka mereka mengungsi tanpa meninggalkan desa. Melainkan lokasi pengungsian masih di wilayah Tegalmulyo yang berada di luar jarak lima kilometer.

“Kami sudah petakan rumah-rumah warga yang menjadi tempat pengungsian,” kata Subur.

Selain untuk menghindari penularan COVID-19, penentuan jarak pengungsian tersebut juga berdasarkan pengalaman erupsi 2010. Ketika itu yang terkena awan panas hanya Kampung Pajegan yang jaraknya 3,2 kilometer dari puncak. Sedangkan titik pengungsian waktu itu di atas radius enam kilometer.

Warga Desa Balerante, Kecamatan Kemalang juga telah menyiapkan lokasi pengungsian, baik sementara maupun akhir. Kapasitas tempat pengungsian akhir di Balai Desa Kebon Dalem Lor, Kecamatan Prambanan yang berkapasitas 800 orang.

Dan sebelum status bahaya Merapi dinaikkan menjadi siaga, warga di sana telah melakukan pengarsipan dokumen-dokumen penting yang diadakan Dinas Kearsipan Klaten. Program pengarsipan itu untuk mengantisipasi apabila dokumen-dokumen penting milik masyarakat hilang atau rusak.

“Saya lihat, warga bawa surat-surat untuk diarsipkan ke balai desa. Warga datang dengan tas yang besar-besar,” kata aparat Pemerintah Desa Balerante, Jainu.

4. Warga Paten, Magelang berharap wajib latih bisa menangkal hoaks

Pentingnya Mitigasi Bencana Merapi: Ngelingake Sakdurunge KelanganAwan di atas Gunung Merapi dan Merbabu. Twitter / @linawidha

Sayang, tak semua desa di lereng Merapi menggelar wajib latih penanggulangan bencana secara rutin. Sudah cukup lama warga Desa Paten, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang menantikan pelatihan itu digelar kembali.

“Aparat desa kurang mendukung. Banyak proyek negara tetap dijalankan. Kadang lupa apa yang ada di depan dan bahaya di Paten,” papar relawan setempat, Amsori.

Ketika status Merapi dinaikkan menjadi waspada, warga pun berinisiatif mengundang BPPTKG untuk melakukan sosialisasi. Ketika itu tengah puasa Ramadan. Sosialisasi sembari buka puasa bersama diharapkan dapat menangkal kabar kabur aktivitas Merapi. Seperti kabar tentang guguran yang terjadi beberapa kali. Warga mempertanyakan: guguran itu berupa longsoran ataukah material yang keluar dari perut bumi?

“Warga sedikit panik. Berita yang pasti itu seperti apa,” kata Amsori. Apalagi jarak kampung yang tujuh kilometer di bawah Merapi itu berdekatan dengan sungai yang hanya berjarak 500 meter saja.

Subandriyo pun mengakui kabar kabur yang berseliweran ketika status bahaya Merapi meningkat sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Banyak orang meramalkan kemungkinan-kemungkinan erupsi Merapi. Namun adanya komunikasi yang efektif dari sumber resmi, seperti pemerintah diharapkan tak membuat warga terpengaruh kabar bohong. Dan berdasarkan riset yang dilakukan, 85 persen warga lebih percaya informasi aktivitas Merapi dari pemerintah.

“Sampai informasi terakhir, kubah baru belum muncul. Jadi guguran itu dari lereng-lereng Merapi. Jadi tak perlu panik,” kata Subandriyo.

 

Baca Juga: Ternak Tak Terurus, Pengungsi Merapi Diimbau Tak Jual ke Blantik 

5. Bukaan kawah ke tenggara, warga Cluntang, Boyolali bersiaga meski arah erupsi bisa menyimpang

Pentingnya Mitigasi Bencana Merapi: Ngelingake Sakdurunge KelanganANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/wsj

Bukaan kawah Merapi yang melebar ke arah tenggara membuat warga Desa Cluntang, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali was-was. Bukaan itu membuat arah luncuran awan panas menjadi dekat dengan desa mereka yang berjarak empat kilometer dari puncak.

“Kalau ke sebelah timur masih aman. Kalau ke tenggara, karena dekat, ya kami waspada,” kata relawan setempat, Anwar Solikhin.

Lokasi pengungsian disiapkan di radius lima kilometer. Informasi seputar aktivitas Merapi disampaikan melalui media sosial, juga lewat radio komunitas di sana. Sosialisasi telah disampaikan sebelumnya dengan menumpang kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di sana, seperti ketika kumpulan untuk tahlilan atau pun seratan berjanji. Bahkan tas-tas siaga untuk 600 warga setempat yang akan mengungsi telah dibagikan relawan di sana.

“Perangkat desa langsung merespon kalau ada informasi yang masuk. Masyarakat lebih percaya informasi dari perangkat desa ketimbang teman sendiri,” kata Anwar sebagai upaya mengatasi kesimpangsiuran informasi.

Soal arah letusan, Subandriyo menjelaskan, 90 persen berdasarkan teori akan mengikuti arah kawah. Sebagaimana letusan yang terjadi tahun 1872 ke arah barat dengan bukaan kawah ke barat juga. Dan sejak tahun 2006 dan 2010, arah letusan ke tenggara. Meski demikian, letusan Merapi pun tak melulu menyesuaikan arah bukaan kawah. Tak mengikuti statistik, melainkan mengikuti dirinya sendiri.

“Berdasar pengalaman, Merapi suka ngiwo (menyimpang). Jadi warga harus sudah siap,” kata Subandriyo.

Seperti erupsi Merapi tahun 1956 yang seharusnya ke arah barat daya sesuai bukaan kawah, tetapi menyimpang ke utara. Kemudian erupsi Merapi tahun1994 yang seharusnya ke barat daya malah menyimpang ke Kali Boyong. Dan tiap kali ada penyimpangan biasanya memakan korban jiwa.

“Jadi harus waspada, siap siaga sesuai langkah-langkah mitigasi. Biar terhindar erupsi Merapi ke mana pun arahnya,” kata Subandriyo.

6. Wajib latih membuat warga Turgo, Sleman tahu jalur evakuasi ketika darurat

Pentingnya Mitigasi Bencana Merapi: Ngelingake Sakdurunge KelanganANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Wajib latih lebih intensif digelar di lereng Merapi sisi Sleman. Pada tanggal 25 hingga 27 Agustus 2020 lalu, BPPTKG bekerja sama dengan BPBD Sleman melakukannya di Desa Turgo, Kecamatan Purwobinangun, Kabupaten Sleman.

Lantaran pandemik, jumlah peserta hanya dibatasi 50 orang tiap hari meliputi pelajar, kelompok rentan, dan warga yang mempunyai kemampuan menyampaikan informasi kepada warga yang lain. Mereka tinggal di desa yang pernah digelontor awan panas pada erupsi Merapi tahun 1994 yang berjarak 5,5 kilometer dari puncak dan masuk dalam peta KRB III.

“Wajib latih membuat warga menghadapi bahaya Merapi dengan tenang,” kata relawan setempat, Arif Abdullah.

Apalagi panduan mitigasi bencana dalam Catur Gatra Ngadepi Bebaya itu disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami sehingga bisa meningkatkan kapasitas warga dan mengurangi risiko.

“Warga jadi tahu jalur evakuasi yang benar ketika darurat di mana pun posisinya berada,” papar Arif. 

Baca Juga: BPPTKG Perkirakan Magma Berada 1,5 Kilometer dari Puncak Merapi 

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya