Penolakan Ceramah UAS, Muhammadiyah: Perlu Etika Konsolidasi Demokrasi

Ada regulasi yang obyektif soal yang boleh dan tak boleh

Sleman, IDN Times – Dua kali berturut-turut rencana Ustad Abdul Shomad (UAS) untuk berceramah di dua masjid di Yogyakarta ditolak. Pertama, rencana ceramahnya atas undangan Muslim United dalam Forum Ukhuwah Islamiyah pada 11-13 Oktober 2019 di Masjid Gede Kauman ditolak pihak Keraton Yogyakarta.

Kedua, rencana ceramahnya atas undangan Takmir Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam acara kuliah umum pada 12 Oktober 2019 dibatalkan pihak rektorat UGM. Sebelumnya lagi, rencana UAS menyampaikan tabligh akbar di Pondok Pesantren Anak Berkebutuhan Khusus Al Achsaniyyah Pedawang di Kudus, Jawa Tengah pada 8 Oktober 2019 juga ditiadakan.

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, kedua peristiwa tersebut perlu diambil hikmahnya dalam konteks konsolidasi demokrasi. Mengingat perbedaan pemikiran dan orientasi politik dalam dinamika kehidupan politik dan keagamaan acap kali menjadi pintu persoalan yang tak kunjung usai.

“Dalam konteks kehidupan berdemokrasi perlu ada transparansi dan etika publik,” kata Haedar yang ditemui di Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Kamis, 10 Oktober 2019.

Haedar pun mengusulkan sejumlah solusi.

1. Perlu regulasi kehidupan berkebangsaan di kampus dan masjid

Penolakan Ceramah UAS, Muhammadiyah: Perlu Etika Konsolidasi DemokrasiIDN Times/Tunggul Kumoro

Regulasi yang dimaksud bersifat obyektif sehingga rambu-rambu tentang yang boleh dan tidak boleh menjadi jelas.

“Hidup berdemokrasi juga butuh regulasi berupa aturan. Ada konsekuensi,” kata Haedar.

Aturan boleh tidaknya orang ceramah di masjid atau pun kampus akan berdasarkan pada regulasi yang diketahui banyak orang atau pihak.

“Problem ini kan masih ada. Dalam internal saja sering ada perbedaan. Di kampus, masjid, juga ruang publik,” kata Haedar.

Baca Juga: UGM Batalkan Ceramah UAS, Dahnil Tuding UGM Telah Kehilangan Identitas

2. Perlu etika berdemokrasi, berbangsa, bernegara

Penolakan Ceramah UAS, Muhammadiyah: Perlu Etika Konsolidasi DemokrasiIDN Times/Hendra Simanjuntak

Menurut Haedar, etika tersebut akan menjadikan platform pemikiran beragama dan berkebangsaan dari para tokoh agama, elite politik, elite sosial akan menemukan titik temu. Asalkan setiap tokoh mengedepankan keutuhan persatuan bangsa, perdamaian, dan kebersamaan.

“Etika yang melewati batas-batas kepentingan publik biasanya akan memunculkan masalah. Ada kelompok menolak ini itu. Jadi perlu menguatkan konsolidasi demokrasi dan etika,” kata Haedar.

3. Para tokoh perlu bermain secara dewasa

Penolakan Ceramah UAS, Muhammadiyah: Perlu Etika Konsolidasi DemokrasiIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Muhammadiyah, lanjut Haedar, memilih menghargai setiap pilihan kebijakan yang diambil tiap kelompok atau pun institusi demi keutuhan masyarakat dan bangsa. Hanya saja kebijakan yang diambil mestinya didasarkan pada dialog dan konsolidasi agar orang-orang paham dengan langkah kebijakan yang diambil.

“Makanya, tokoh-tokoh politik, sosial, agama perlu bermain secara dewasa,” kata Haedar.

Artinya, demokrasi dijadikan landasan untuk merekatkan kebersamaan, meningkatkan kedewasaan, dan mencerahkan hati.

“Bukan pada hal-hal yang bikin renggang satu sama lain,” kata Haedar.   

Baca Juga: Tabligh Akbar di Kudus Dibatalkan, UAS: Karena Salah Paham

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya