Pelukis Klowor: Melukis Itu Seperti Kerja Kantoran

Melukis itu harus disiplin dan gembira

Yogyakarta, IDN Times – Keinginan Klowor Waldiyono menjadi pelukis sudah dipendam sejak kelas 2 SMP. Ia mencoba mencari jawaban atas keinginannya: bagaimana untuk menjadi seorang pelukis. Lulus SMP, diputuskan melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta. Seusia itu pun ia sudah bertekad, jika tak diterima di SMSR, ia memilih menganggur.  

Tekad itu terjawab. Perupa yang berdandan nyentrik dengan rambut digelung dan anting di kuping itu pun ngangsu kawruh (menimba ilmu) seni lukis di sana. Meski ia memilih bersikap ‘nakal’ dalam berproses menjadi pelukis.

Guru mlebu, tak tinggal metu (guru masuk kelas, Klowor pergi meninggalkan kelas),” kata Klowor dalam acara artist talk berkait pameran tunggalnya, Hidup Berkesenian di Jogja Galery di Alun-alun Utara Yogyakarta, Senin (22/12) siang lalu. Ia kemudian memperdalam ilmunya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Baca Juga: Klowor, Sang Pelukis Kucing Hitam Putih hingga Warna-Warni

1. Lukisan munajat doa untuk orang tua

Pelukis Klowor: Melukis Itu Seperti Kerja KantoranLukisan Klowor Waldiyono tentang kematian ibunya di Jogja Galery, Yogyakarta, 22 Desember 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Klowor terlahir dari rahim seorang penjual sayur yang menikah dengan seorang pemain akrobat. Dari ibunya, Klowor jadi tahu harga sayur mayur. Bahkan dengan semangkuk sayur yang tersaji di atas meja makan, Klowor bisa berhitung berapa duit mesti dikeluarkan. Dari bapaknya, Klowor jadi tahu bagaimana cara menghibur orang.

Keduanya telah tutup usia. Menjelang satu tahun kematian ibunya, bapaknya menyusul pergi. Klowor pun melukis kematian ibunya pada tujuh hari menjelang satu tahun kepergiannya. Kemudian ia melukis kepergian bapaknya. Kedua lukisan itu bersanding di dinding lobi ruang pamer. Bapaknya dilukis berlatar warna hitam kelam dan lukisan ibunya berlatar kanvas putih. Keduanya sama-sama berbaring di peti mati.

Dan kondisi lukisan itu sempat sobek dimakan rayap. Kemudian direstorasi sebelum dipamerkan agar bisa dipajang kembali.

“Ini adalah munajat doa-doa kepada dua sosok yang telah melahirkan dan mengenalkan dunia kepada saya,” tulis Klowor dalam narasi fotonya.

Keberadaan kedua orang tuanya dirasakan kurator pameran, Bayu Wardhana seolah hadir dalam setiap langkah Klowor. Bahkan Bayu pernah menangkap basah Klowor ketika masuk lobi.

“Dia mencuri pandang pada kedua lukisan itu 1-2 detik,” kata Bayu.

2. Melukis seperti kerja kantoran

Pelukis Klowor: Melukis Itu Seperti Kerja KantoranLukisan gunung yang gersang karya Klowor Waldiyono di Jogja Galery, Yogyakarta, 22 Desember 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Berbeda dengan kebanyakan perupa yang melukis setelah mendapat wangsit. Sebaliknya, Klowor menjadikan melukis sebagai pekerjaan harian.

“(melukis) tiap hari, seperti ngantor, kerja. Itu harus. Tanpa disiplin gak bisa bikin karya sebanyak ini,” kata Klowor bersemangat.

Dia merasa tak terganggu dengan kehadiran teman, saudara, kolega yang datang saban hari silih berganti. Ngobrol ini itu, guyon bersama. Justru pertemuan itu bisa memantik ide untuk direspons di atas kanvas.

“Tamu pulang, saya nyekel (pegang) kanvas. (melukis) apapun itu,” kata Klowor yang menyediakan waktu saban Ahad untuk keluarga.

Ia pun tak mengelak rutinitas juga acap kali membuat dia jenuh dan stagnan. Bukan berhenti menunggu mood datang kembali. Namun Klowor langsung menerapkan solusi. Jika ia jenuh melukis di ataas kanvas berukuran jumbo, ia akan beralih ke kanvas-kanvas kecil. Sebaliknya, jika ia ingin meluapkan idenya di atas kanvas besar, ia akan menjadikan kanvas-kanvas kecilnya sebagai palet cat akriliknya.

“Pelototan (cat) di situ. Dan apapun kondisi palet itu, saya respons jadi karya,” kata Klowor.

Dan sesuntuk apapun, Klowor berusaha melukis dengan gembira. Lantaran ada energi positif yang bisa disalurkan dalam hasil karyanya. Seperti lukisan gunung batu yang dikelilingi bebatuan pula. Namun dalam lukisan yang menunjukkan kegersangan itu, Klowor bisa menyematkan serumpun bunga-bunga cantik warna merah muda yang tengah mekar di sudutnya.

“Dalam keterpurukan pasti ada celah keindahan,” kata Klowor.

Ia pun menyimpulkan. Berkarya bukan sekadar masalah kedisiplinan. Melainkan bagaimana menyikapi siklus berkarya dengan gembira. Mengingat menjadi pelukis sudah menjadi pilihan.

“Ide itu ada terus. Kalau menunggu ide, namanya keset (malas),” kata Klowor.

3. Menyimpan karya yang 'remeh temeh'

Pelukis Klowor: Melukis Itu Seperti Kerja KantoranKarya sketsa Klowor Waldiyono zaman kuliah yang dipamerkan di Jogja Galery, Yogyakarta, 22 Desember 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Dari karya-karyanya, yang terkesan romantis karena ada 50 sketsa dari 2.000 sketsa yang pernah dibuat. Sketsa-sketsa itu berangka tahun 1989-an ke atas. Masa ketika ia menjadi mahasiswa Seni Rupa ISI Yogyakarta yang dipenuhi seabrek tugas-tugas membuat sketsa.

Dalam satu semester ada 500 sketsa dibuat. Gambar di atas kertas buram yang ditoreh pena atau pun spidol hitam. Sebagian sudah dimakan ngengat bagian ujungnya. Dan karya-karya itu dipajang dengan hati-hati oleh Klowor di lantai atas ruang pamer. Sketsa tentang Kebun Binatang Gembira Loka, nonton TV bersama ibu di rumah, kawasan permukiman kumuh, komedi putar.   

Ia tak menampik, bisa saja sebagian orang akan menganggap karya-karya itu remeh temeh. Ia juga belajar bagaimana karya-karya sosok maestro pelukis seperti Affandi atau pun Widayat dianggap remeh temeh pula masa itu. Tapi dalam rentang waktu 20-30 tahun ke depan menjadi berharga. Cukup banyak orang memburunya. Dan Klowor sudah menyadari itu sejak 1985.

“Makanya karya semasa di SMSR masih utuh. Nilai dosen, catatan dosen juga saya simpan. Itu bukti kebudayaan,” kata Klowor.

Baca Juga: Kisah di Balik Badai Literasi, Seni Instalasi Karya Onno di UGM

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya