Pameran Lukisan Sri, Gambaran Perempuan Jelata nan Tangguh

Kisah ibu, mbokdhe, sahabat imajinernya yang seorang Sri

Yogyakarta, IDN Times - Penulis katalog Pameran Sri, AA Nurjaman mengaku kaget ketika pelukis Laila Tifah menamai tajuk pameran tunggal keduanya dengan Sri. Mengingat sebutan Sri dalam filosofi Jawa bersumber dari legenda Dewi Sri, si Dewi Padi atau Dewi Kesuburan. Sri juga dipakai untuk gelar kehormatan raja. Seperti penguasa Padjajaran Sri Baduga Maha Raja Prabu Siliwangi, Sri Amurwabhumi untuk gelar Ken Arok yang mendirikan Kerajaan Singasari, tak terkecuali Sri Sultan Hamengku Buwono untuk Raja Keraton Ngayogyakarta.

Namun di tangan Ifah, panggilan akrab Laila Tifah, Sri bukanlah sosok yang punya kuasa sebagai raja atau pun dewi. Ifah mencomotnya dari kisah rakyat jelata, Sri Sumarah dan Bawuk yang ditulis novelis Umar Kayam pada 1975. Novel itu mengisahkan perjuangan dan ketegaran perempuan Jawa, Sri Sumarah. Suaminya menikah lagi, anaknya masuk penjara, menantunya hilang dalam tragedi Gestapu. Sri berjuang membesarkan Ginuk, cucunya.

Ada 35 lukisan dan 20 sketsa yang disuguhkan lulusan Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1992-1997). Lukisan-lukisan itu dibuat mulai terlawas 2004 hingga teranyar 2021.

“Karyanya berkesan mistis, gelap, dan dalam,” kata Nurjaman.

Baca Juga: Seniman Laila Tifah, Melawan Sakit dan Cemas dengan Melukis

1. Ibu dan mbokdhe adalah juga Sri

Pameran Lukisan Sri, Gambaran Perempuan Jelata nan TangguhLukisan berjudul Tangguh karya Laila Tifah di Jogja Gallery, 6 Februari 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Tema Sri dalam pameran tunggal Ifah terinspirasi ibunya, Umi Nafiah. Sosok perempuan desa yang punya keinginan kuat untuk mengubah hidup menjadi lebih baik. Caranya lewat lelaku spiritual berpuasa dan tirakat. Mulai dari ngebleng alias tak makan hingga beberapa hari dan ngerowot alias tak makan nasi.

“Bagiku, ibu adalah Sri itu sendiri,” kata Ifah.

Ibunya hidup dalam keluarga bakul alias pedagang. Sedari subuh, mbokdhe atau kakak ibunya sudah mengayun kaki dari Jejeran, Bantul ke Pasar Ngasem, Yogyakarta untuk menjual klethikan alias camilan. Sore hari, mbokdhe kulakan. Malam baru tiba di rumah. Kisah itu tak hanya disaksikan Ifah kecil. Ayahnya, Nasjah Djamin juga merekamnya dalam novel berjudul Yang Ketemu Jalan.

“Mbokdhe juga Sri,” kata Ifah.

Dia pun menggambarkan sosok-sosok perempuan itu dalam lukisan berjudul Tangguh dan Tanpa Beban. Satu kanvas melukiskan perempuan-perempuan yang menggebuk batang-batang padi untuk merontokkan bulir-bulirnya. Lukisan lain tentang perempuan-perempuan yang memanggul hasil panen padi di kepalanya.

2. Sri Mawarti, si sahabat imajiner

Pameran Lukisan Sri, Gambaran Perempuan Jelata nan TangguhLukisan berjudul Sri Mawarti karya Laila Tifah di Jogja Gallery, 6 Februari 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Perempuan dalam lukisan itu duduk menyendiri di hutan bambu. Tonggak-tonggak bambu yang tumbuh menjulang di atas bumi tampak berdiri bersisian dan merapat. Sementara tanah di bawahnya memerah karena diselimuti tebaran bunga-bunga mawar merah. Dan kelopak-kelopak mawar itu terus berjatuhan menyiram wajahnya.

Dialah Sri Mawarti, sahabat imajiner Ifah. Sosok yang menjadi cerminan diri Ifah yang harus pasrah menerima kenyataan, tetapi sekaligus jangan menyerah. Jalan terbaik untuk tidak menyerah adalah dengan mengekspresikannya dalam berkarya. Melukis.

3. Sri yang mengharap doa ibunya

Pameran Lukisan Sri, Gambaran Perempuan Jelata nan TangguhLukisan berjudul Line Nigra karya Laila Tifah di Jogja Gallery, 6 Februari 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sejumlah guratan pola pada kanvas muncul tanpa disadarinya. Salah satunya karya buatan 2019 yang diberi judul Linea Nigra. Judul itu diambil dari istilah biologi, yaitu garis hitam vertikal yang pusar ke bawah yang timbul pada perempuan yang tengah mengandung. Garis itu akan menghilang usai si ibu melahirkan. Diakui Ifah, pola vertikal berwarna hitam itu muncul tak sengaja usai dia menulis kata “doa” berulang-ulang secara horizontal pada kanvas. Kata “doa” itu dituliskan ratusan kali menggunakan spidol hitam.

“Setiap kreativitas dimulai dengan doa,” kata Ifah menjelaskan awal mula dia melukis Linea Nigra.

Doa itu menjadi pengingatnya, bahwa dalam setiap langkah untuk tiada bosan meminta doa kepada ibunya. Tak terkecuali untuk mempersiapkan pameran tunggalnya yang kedua ini.

Dan kemunculan garis vertikal itu membuatnya tertegun. Kian memperkuat keyakinannya akan doa. Bahwa lukisan itu menunjukkan ada hubungan batin antara Ifah sebagai seorang anak dengan ibunya.

“Bisa dua bulan merampungkan satu lukisan,” aku Ifah.

4. Sri yang setengah Minang

Pameran Lukisan Sri, Gambaran Perempuan Jelata nan TangguhLukisan berjudul Setengah Minang karya Laila Tifah di Jogja Gallery, 6 Februari 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Salah satu lukisannya diberi judul Setengah Minang yang dibuat pada 2015. Menggambarkan sosok perempuan terbujur di hamparan tebing. Tubuhnya penuh lilitan aneka kain jarik bermotif batik dari mata kaki hingga menutup dada. Kedua telapak tangannya bersedekap di atas perut. Sementara di bawahnya mengalir air dari Ngarai Sianok yang terkenal di Minang itu.

Lukisan itu berisi harapan. Mimpi besar seorang Ifah untuk bisa menjejaki tebing-tebing Ngarai Sianok sebelum kain bermotif Kawung itu menyelimuti raganya penanda kematian. Setidaknya, begitulah caranya bisa merasa menjadi Setengah Minang. Leluhur ibu dari Jawa, leluhur ayah dari Minangkabau. Dan mimpi itu baru kesampaian pada 2017.

“Tapi saya sudah lebih dahulu melukiskannya pada 2015,” kata Ifah.

5. Sri juga ada dalam sketsa

Pameran Lukisan Sri, Gambaran Perempuan Jelata nan TangguhSalah satu sketsa karya Laila Tifah di Jogja Gallery, 6 Februari 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Berderet-deret kertas putih berpigura cokelat dipajang di dinding pamer lantai dua. Berisi gambar-gambar sketsa tentang sosok-sosok perempuan. Sejumlah perempuan dilukis tubuhnya pada sisi belakang. Perempuan bersanggul sembari memanggul bungkusan besar dari kain, perempuan bersanggul memanggul batang-batang padi. Ada juga perempuan berpayung atau pun sketsa perhiasan sanggul berujung lancip yang bisa digunakan sebagai senjata.

Gambar dengan pensil itu dibuatnya di atas kertas padalarang. Namun yang berkesan bagi Ifah, ada sketsa yang menggunakan padalarang sisa milik almarhum ayahnya, Nasjah Djamin. Kertas itu berwarna kuning buram yang menunjukkan umur kertas yang sudah uzur. Lebih kusam ketimbang padalarang kekinian yang putih. Sejumlah perupa yang hadir menyebut kertas itu ada pada tahun 1960-an.

“Kualitasnya lebih baik ketimbang padalarang yang sekarang,” kata suami Ifah, Rizal Misilu. Dia juga menunjukkan ciri lain dari padalarang lawas itu adalah ada huruf timbul bertuliskan “padalarang” di salah satu sisinya. 

Baca Juga: Pelukis Klowor: Melukis Itu Seperti Kerja Kantoran

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya