Ombudsman DIY: Sektor Pendidikan dan Perizinan Terancam Eksklusif

Belum semua sekolah ramah anak

Kota Yogyakarta, IDN Times – Data Catatan Akhir Tahun Perwakilan Ombudsman RI di DIY Tahun 2019 menggarisbawahi layanan publik di sektor pendidikan dan perizinan. Lantaran beberapa kasus yang berkaitan dengan intoleransi dalam keberagaman mengancam inklusivitas kedua sektor tersebut.

“Layanan publik terancam menjadi eksklusif,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman DIY Budhi Masturi saat dihubungi IDN Times, Sabtu (21/12).

Baca Juga: Jumlah Pelapor Layanan Publik ke Ombudsman DIY 2019 Naik 3 Persen

1. Layanan perizinan pendirian rumah ibadah dibatalkan sepihak

Ombudsman DIY: Sektor Pendidikan dan Perizinan Terancam EksklusifIlustrasi toleransi. IDN Times/Sukma Shakti

Ada tiga laporan di sektor perizinan. Dua di antaranya berkaitan dengan pelayanaan publik yang intoleran. Meliputi pembatalan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah di Kecamatan Sedayu, Bantul dan izin perluasan rumah ibadah di Pugeran, Yogyakarta. Kasus di Sedayu menjadi perhatian publik beberapa waktu lalu.

“Awalnya bagus, pemerintah menerbitkan IMB. Tapi terus dibatalkan karena desakan kelompok masyarakat tertentu,” kata Budhi.

Sedangkan jumlah kasus intoleransi di Bantul cukup marak belakangan ini. Budhi menengarai ancaman atas pelayanan publik yang inklusif cukup potensial.

2. Anak-anak sekolah dipaksa mengenakan seragam yang ekslusif

Ombudsman DIY: Sektor Pendidikan dan Perizinan Terancam EksklusifPixabay/Miloslav_Ofukany

Ironisnya, kasus intoleransi juga merembet ke sektor pendidikan. Anak-anak sebagai pihak yang berhak mendapatkan pelayanan sekolah yang optimal menjadi tidak nyaman ketika pihak sekolah menerapkan kebijakan yang eksklusif. Seperti penemuan surat edaran yang mewajibkan murid mengenakan pakaian berciri keagamaan SD Negeri Karangtengah III Gunungkidul.  

“Ada pemaksaan penyeragaman secara struktural,” kata Budhi.

Kondisi tersebut, lanjut Budhi, menciptakan sekolah menjadi tempat yang tidak ramah terhadap anak.

3. Sekolah belum mampu menangani perundungan

Ombudsman DIY: Sektor Pendidikan dan Perizinan Terancam EksklusifIDN Times/Sukma Sakti

Di sisi lain, sekolah acap kali menjadi persemaian subur terjadinya perundungan (bullying) terhadap siswanya. Baik dilakukan antar siswa, guru terhadap siswa, atau pun pihak sekolah terhadap orang tua siswa dan antar orang tua siswa.

“Sekolah belum mampu menangani perundungan secara tuntas,” kata Budhi.

Ia mencontohkan, tiga siswi kelas 10 yang mengalami perundungan oleh kakak kelas. Lantaran pihak sekolah tidak mampu menangani, orang tua siswa akhirnya memindahkan anaknya ke sekolah lain.

Ada juga siswa yang baru pindah sekolah, kemudian mengalami perundungan. Kondisinya sama, pihak sekolah tak mampu merampungkan masalah. Akhirnya, orang tua memindahkannya ke sekolah lain juga meskipun belum memenuhi syarat minimal enam bulan bersekolah di sana.

“Karena kondisi mendesak dan secara psikologis anak tidak memungkinkan, akhirnya bisa dipindah meski belum enam bulan,” kata Budhi.

Ada juga gara-gara orang tua siswa protes soal pungutan sekolah, anaknya kemudian dirundung gurunya. Sebaliknya, orang tua siswa tersebut juga dirundung sesama orang tua siswa lain atas protesnya.

“Tahun ini ada lima kasus perundungan di sekolah,” kata Budhi.

Baca Juga: Pemkab Bantul Bantah Aturan yang Tumpang Tindih Sebabkan Intoleransi

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya