Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi, Pemerintah Dinilai Melawan Hukum

Audit BPKP atas BPJS Kesehatan harus dibuka untuk publik

Yogyakarta, IDN Times – Langkah Presiden Joko Widodo menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomer 64 Tahun 2020. Perpres yang berlaku bertahap mulai 1 Juli 2020, dikecam Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) dan Lokataru Foundation

“Pemerintah hendak mempermainkan warga yang menolak secara menyeluruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak awal,” Ketua KPCDI, Tony Frederich Samosir dalam siaran pers tertanggal 13 Mei 2020.

Padahal sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Perpres Nomor 75/2019 dan mengembalikan iuran ke Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Di mana kelas I sebesar Rp80 ribu, kelas II Rp51ribu dan kelas III Rp25.500.

Besaran iuran kelas III dalam perpres terbaru untuk kelas Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP)/kelas mandiri senilai Rp25.500 karena mendapat subsidi pemerintah sebanyak Rp16.500. Namun kebijakan itu hanya berlaku hingga akhir 2020. Pada tahun 2021, besaran iuran untuk kelas III akan naik menjadi Rp 35.000 dengan subsidi pemerintah Rp7.000.

Iuran kelas II PBPU dan BP/kelas mandiri naik menjadi Rp100.000 atau lebih rendah Rp10.000 dari perpres yang telah dibatalkan MA sebelumnya. Sedangkan iuran kelas I menjadi Rp150.000 atau selisih Rp10.000 dari perpres sebelumnya.

Kenaikan kembali iuran BPJS Kesehatan diatur dalam Perpres Nomer 64 Tahun 2020 itu tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomer 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

1. Perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan dinilai melawan hukum

Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi, Pemerintah Dinilai Melawan HukumIlustrasi aktivitas di Kantor BPJS Kesehatan Palembang Jalan R Sukamto (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Sebelumnya, Jokowi juga telah meneken Perpres Nomer 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomer 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Padahal Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Perpres Nomer 75 itu per 6 Mei 2020 lalu.

“Perpres Nomer 64 itu tak lain upaya pemerintah melawan hukum,” kata peneliti Lokataru Foundation, Fian Alaydrus.

Kebijakan Presiden yang ngotot menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang telah dibatalkan MA dinilai tabiat yang tak terpuji dalam demokrasi dan kehidupan bernegara. Menurut Fian, keputusan MA mengikat secara hukum bagi semua pihak, tak terkecuali Presiden.

“Tidak ada cara jalan lain, kami akan lakukan upaya hukum atas perpres baru itu,” kata Fian.

2. Presiden Jokowi dituntut untuk berkomitmen menjamin hak kesehatan warga

Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi, Pemerintah Dinilai Melawan HukumDok. Biro Pers Kepresidenan

Lokataru Foundation maupun KPCDI menuntut Presiden Jokowi memegang teguh komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas jaminan kesehatan warga, terutama di tengah pandemi COVID-19. Salah satunya prinsip aksesibilitas keuangan yang memastikan biaya layanan kesehatan harus terjangkau semua warga.  Aksi protes turun kelas adalah gambaran warga kesulitan menjangkau besaran iuran yang baru secara finansial. Sayangnya, pemerintah tidak memiliki sensitivitas dan kemampuan untuk membaca gelombang protes tersebut dan tetap memilih menaikkan iuran.

Bagi KPCDI, kenaikan kembali iuran itu sangat mengecewakan lantaran di tengah pandemi COVID-19, gelombang PHK marak terjadi. Kondisi itu mengancam keselamatan pasien penyakit kronis seperti penderita gagal ginjal yang harus tetap mengakses layanan kesehatan berupa hemodialisa atau cuci darah demi kelanjutan hidup.

“Artinya pembatalan kenaikan iuran oleh MA hanya bertahan selama tiga bulan. April, Mei, Juni,” kata Tony.

Baca Juga: Rekap Kasus COVID-19 DIY, Jumlah Klaster Indogrosir Meroket 

3. Pemerintah didesak membuka hasil audit BPKP atas BPJS Kesehatan

Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi, Pemerintah Dinilai Melawan HukumKantor BPJS Kesehatan di Palembang. IDN Times/Feny Maulia Agustin

Pemerintah juga dinilai tidak memiliki komitmen kuat untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas jaminan kesehatan warga. Lokataru Foundation sejak awal menilai kebijakan menaikkan iuran untuk menutup lubang defisit BPJS Kesehatan tidak dapat memastikan kemudian hari BPJS Kesehatan tidak akan mengalami defisit lagi.

“Kami tidak bisa menutup mata carut-marut tata kelola BPJS Kesehatan,” kata Fian.

Carut marut tata kelola mulai dari data kepesertaan semrawut, tidak ada tindakan tegas terhadap ribuan badan usaha yang tidak membayar dan menjamin tenaga kerjanya, hingga minimnya pengawasan dan pemberian sanksi bagi tindakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oknum pasien, penyedia pelayanan kesehatan, juga BPJS Kesehatan sendiri.

Hingga hari ini, BPJS Kesehatan masih belum membuka hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap BPJS Kesehatan secara publik. Padahal Maret 2020 lalu, Komisi Informasi Pusat (KIP) telah memutuskan dokumen audit tersebut adalah dokumen publik. Selama dokumen itu masih ditutupi, penjelasan resmi pemerintah yang menyalahkan defisit kepada para peserta BPJS tidak bisa diterima.

Selain itu, Lokataru Foundation dan KPCDI juga mendesak pemerintah dan BPJS Kesehatan memperbaiki tata kelola lembaga serta mengevaluasi permasalahan yang masih terjadi pada penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebelum menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan. Mereka juga meminta agar dokumen hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan dibuka ke publik. 

“Sampai penyebab defisit belum bisa dijelaskan secara memuaskan oleh pemerintah, kami akan terus menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan,” kata Fian menegaskan. 

Baca Juga: Iuran BPJS Naik, DPR: Sangat Mencederai Kemanusiaan

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya