Inovasi Putri Keraton Yogya Menggelar Ritual: Offline, Tanpa Kerumunan

Fotografer dan videografer harus patuh unggah-ungguh

Yogyakarta, IDN Times - Aktivitas live streaming, disampaikan Penghageng Tepas Tandha Yekti, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, rupanya sudah diterapkan di Keraton Yogyakarta sebelum pandemik COVID-19. Setidaknya penggunaan media online untuk menayangkan secara langsung kegiatan di keraton yang bisa dinikmati publik luas sudah cukup familier.

“Pas lainnya kelabakan, kami sudah settle,” kata dalam acara live streaming Ngobrolin Jogja bertema Keistimewaan Yogyakarta di Masa Pandemi yang diadakan Humas Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 3 November 2020 sore lalu.

Dan selama pandemik, tayangan daring menjadi salah satu obat kerinduan publik untuk menyaksikan ritual keraton. Meskipun pandemik COVID-19 belum mereda, kebijakan di keraton mengikuti upaya penyesuaian new normal. Tak sekadar online, sejumlah kegiatan di keraton secara offline juga sudah digelar. Tetapi dengan beberapa inovasi.

“Jadi ada koordinasi dengan tepas yang berkaitan. Soal bagaimana agar hajatan dalem tetap dijalankan, tanpa mengumpulkan orang banyak,” imbuh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura, GKR Condrokirono.

Baca Juga: Dua Gending Baru dari Keraton Yogyakarta untuk Rayakan Sumpah Pemuda 

1. Tak ada rebutan gunungan dan udhik-udhik

Inovasi Putri Keraton Yogya Menggelar Ritual: Offline, Tanpa KerumunanGelaran Hajad Dalem Garebeg Besar Keraton Yogyakarta, Jumat (31/7/2020). IDN Times/Tunggul Damarjati

Garebeg, salah satu hajatan keraton untuk menyambut Maulid Nabi yang biasa mengumpulkan banyak orang pun mengalami inovasi baru. Artinya, bagaimana garebeg tetap bisa dilakukan sesuai tradisi keraton, tetapi tidak dengan cara diperebutkan karena akan mengundang kerumunan orang. Tradisi rebutan gunungan pun ditiadakan.

“Kami bikin rengginang,” kata Condrokirono.

Penganan dari ketan itu pun dibuat juga tidak untuk diperebutkan, melainkan dibagikan khusus untuk para abdi dalem. Kemudian ritual udhik-udhik yang biasa dilakukan Sultan dan keluarganya di Bangsal Ponconiti untuk mengawali miyos gongso atau keluarnya gamelan, juga tak luput dari inovasi.

Udhik-udhik yang berupa uang receh sebagai simbol sedekah raja kepada rakyatnya dimasukkan ke dalam kantung-kantung kecil, lalu dibagikan kepada abdi dalem secara langsung. Tak lagi disebar dan diperebutkan beramai-ramai.

Begitu pula dengan hajatan wisuda para abdi dalem yang biasanya diikuti 250 orang secara langsung, kini dibagi beberapa kelompok. Mereka pun menjalani dengan mengenakan masker dan menjaga jarak.

“Jadi tetap dilangsungkan, tanpa mengurangi nilai-nilainya,” kata Condrokirono.

Meski demikian, sejumlah kegiatan di keraton ada juga yang ditiadakan sementara. Seperti rutinitas menari yang digelar saban Ahad. Namun aktivitas uyon-uyon atau lantunan gending Jawa yang dinyanyikan sinden dengan iringan gamelan masih tetap digelar.

“Belum bisa semua kembali dinikmati. Belum normal,” kata Condrokirono.

2. Selama pandemi, fotografer dan videografer harus stand by

Inovasi Putri Keraton Yogya Menggelar Ritual: Offline, Tanpa KerumunanAbdi Dalem Wiyaga dan Musikan memainkan dua gending baru di Bangsal Mandalasana Keraton Yogyakarta untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda, Rabu (28/10/2020). IDN Times/Tunggul Damarjati

Para abdi dalem yang mayoritas lanjut usia sempat mendapat keringanan untuk tidak menjalani ritual sowan ke keraton untuk presensi. Perkembangannya kemudian, ritual sowan dilakukan secara bergiliran. Kebijakan itu tak berlaku bagi abdi dalem di Tepas Tanda Yekti yang bertugas melakukan pendokumentasian kegiatan.

“Justru harus makin rajin. Karena ini peristiwa sejarah. Perlu pendokumentasian keraton pada masa pandemi,” kata Hayu.

Persoalannya, anak-anak muda yang melek teknologi yang notabene mengisi tepas itu tak semuanya tinggal di Yogyakarta. Sementara kebijakan work from home tengah digalakkan masa itu.

“Ya, memang risikonya begitu. Untungnya banyak kegiatan (awal pandemi) yang diliburkan dulu,” kata Hayu.

3. Fotografer dan videografer keraton harus bisa jalan jongkok sambil bawa tripod

Inovasi Putri Keraton Yogya Menggelar Ritual: Offline, Tanpa KerumunanGelaran Hajad Dalem Garebeg Besar Keraton Yogyakarta, Jumat (31/7/2020). IDN Times/Tunggul Damarjati

Dan rupanya, menjadi fotografer atau pun videografer yang mengabadikan momen-momen ritual di keraton gampang-gampang susah. Tak boleh asal bidik atau pun rekam. Sejumlah persyaratan harus dipatuhi anak-anak muda di barisan Tepas Tandha Yekti itu.

“Yang mau join, ada proses orientasinya,” kata Hayu.

Awalnya, baik laki-laki maupun perempuan harus bisa jarikan atau mengenakan kain jarik sendiri. Yang perempuan pun harus bisa sanggulan atau memasang sanggul sendiri. Kemudian mereka diajari cara berjalan dengan jongkok, lalu berdiri, sembari membawa tripod atau pun kamera.  

Lingkungan keraton yang dipenuhi dengan berbagai aturan dan unggah-ungguh atau tata karma, juga harus dipatuhi. Semisal, ketika semua peserta ritual duduk lesehan, fotografer atau pun kameraman tak diperbolehkan berdiri dan hilir mudik begitu saja.

“Ya, enggak berdiri. Kalau posisi dari atas, ya tripodnya disetel,” kata Hayu.

Belum lagi ketika Sultan tengah duduk di singgasana. Biasanya berlatarkan pusaka-pusaka keraton yang dikeluarkan untuk dipajang semua.

“Aku gak mau tahu gimana caranya foto Ngarso Dalem dapat, tapi pusakanya (yang berjejer di belakangnya) gak boleh kelihatan,” kata Hayu.

Dengan alasan menjunjung tinggi tata krama pula, Hayu lebih memilih foto yang hasilnya tak terlalu bagus, tetapi unggah-ungguh selama proses pendokumentasian tidak dilanggar. 

Baca Juga: Keraton Yogyakarta Gelar Pameran Lintas Masa Sultan HB II

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya