Hari Bumi Kala Pandemik, Soroti Masalah Lingkungan lewat Aksi Digital

Ironis, polusi turun akibat pandemi COVID-19

Yogyakarta, IDN Times – Tak ada aksi turun ke jalan dengan atribut instalasi oleh Jaringan Masyarakat Peduli Iklim (Jampiklim) untuk memperingati Hari Bumi pada 22 April 2020 lalu. Pandemik COVID-19 lagi-lagi mencetuskan ide seniman Anang Saptoto untuk merancang skema aksi digital. Lewat tema “Jaga Bumi, Atasi Pandemi”, aksi bisa diikuti siapa saja yang peduli pelestarian bumi dari kediaman masing-masing.

“Kami mengajak semua pihak mengumpulkan tiga jenis foto,” kata Anang yang juga anggota Jampiklim dari Ruang MES 56 Yogyakarta, Rabu (22/4).

Foto diri dengan membawa tanaman, foto tanaman, dan foto secarik kertas bertuliskan statemen masing-masing berkaitan Hari Bumi 2020. Foto-foto dikumpulkan dan diformat Anang yang menggandeng Wai Wai Studio untuk pengadaan audionya menjadi bentuk video stop motion. Foto dan video itu diunggah serentak pada Hari Bumi.

Baca Juga: Aksi Nasi Pitungewunan untuk Tukang Becak hingga Buruh Gendong 

1. Sampah di TPST Piyungan terus menggunung

Hari Bumi Kala Pandemik, Soroti Masalah Lingkungan lewat Aksi DigitalIDN Times/Daruwaskita

Sejumlah persoalan perusakan terhadap bumi di DIY dihimpun Jampiklim dari berbagai media. Mulai dari pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan sebanyak 600-700 ton saban hari. Akibatnya, sampah menggunung.

Selama Desember 2019-Januari 2020 hampir 7 ribuan ton sampah menumpuk di TPST Piyungan. Seorang pemulung di sana mengalami kecelakaan karena terperosok dalam gunungan sampah. Tangannya patah. Padahal 20 tahun mengandalkan hidup dari mengais sampah bersama sekitar 450 pemulung di sana.

Sementara dari diskusi "Jogja Darurat Sampah" yang digelar Lembaga Ombudsman DIY pada 2019 menyebutkan retribusi sampah yang mencapai Rp4 miliar dipertanyakan pengelolaannya.

“Nilai Rp4 miliar itu mestinya bisa digunakan untuk menuntaskan beragam masalah di permukiman sekitar TPST Piyungan,” kata anggota Jampiklim dari Paguyuban Bank Sampah Jogja, Takim.

2. Penambangan liar meluas, penolak tambang diintimidasi

Hari Bumi Kala Pandemik, Soroti Masalah Lingkungan lewat Aksi DigitalSuasana penambangan pasir di lereng Gunung Merapi pasca dua tahun erupsi 2010. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sementara bumi Yogyakarta juga tak luput dikoyak penambangan liar. Berdasarkan data Bappeda.Jogjaprov.go.id, ada peningkatan signifikan dari 2016 seluas 3,34 hektare menjadi 18.485 hektare pada 2019.

“Dan banyak pembela lingkungan yang melindungi bumi justru dikriminalisasi, diintimidasi, demi keuntungan industri,” kata Koordinator Jampiklim, Himawan Kurniadi.

Seperti kekerasan yang dialami perempuan-perempuan yang bergabung dalam Kartini Kendeng. Mereka mengalami kekerasan dan intimidasi ketika menyampaikan aspirasi menolak tambang di pegunungan Kendeng bertepatan dengan Hari Kartini 21 April 2020 lalu.

Menurut anggota Jampiklim dari Solidaritas Perempuan Kinasih (SP Kinasih) Yogyakarta Sana Ulaili, perempuan adalah kelompok rentan dan paling banyak menjadi korban perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.

“Seharusnya dibela, didengarkan, diakomodasi dalam kebijakan. Bukan diintimidasi,” kata Sana.

3. Ironi penurunan polusi bukan karena peduli lingkungan, tapi karena COVID-19

Hari Bumi Kala Pandemik, Soroti Masalah Lingkungan lewat Aksi DigitalAksi digital Hari Bumi, 22 April 2020. Dokumentasi Jampiklim

Di sisi lain, Jampiklim juga mencatat berita baik tentang menurunnya tingkat polusi dan cerahnya langit dunia, termasuk Indonesia. Mengutip dari Newscientist.com, lubang ozon mulai mengecil. Ironisnya, bukan karena manusia yang sudah sadar lingkungan. Melainkan karena manusia terdesak oleh wabah COVID-19.

“Bukan sesuatu yang bijak jika merawat bumi hanya saat ada wabah saja,” kata Himawan.

Bertepatan dengan Hari Bumi kemarin, Jampiklim yang menjadi wadah individu, organisasi masyarakat sipil, pegiat lingkungan, pemerhati sampah, aktivis kelurahan, dan semua elemen masyarakat dengan beragam fokus kajian yang peduli lingkungan mengajak semua pihak untuk mengelola sampahnya sendiri.

Kemudian membuat aturan turunan Pasal 66 UU 32/2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mencabut RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang berpotensi merusak lingkungan, moratorium izin hotel dan apartemen di Yogyakarta, mengatur tata kelola transportasi publik di Yogyakarta.

“Stop rakus energi! Mari tanam pohon,” kata Himawan.

Baca Juga: Sepi, Pemilik Rumah Makan Seafood Beralih Jadi Nelayan

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya