Tayang di Jogja, Ini Makna Film Bumi Manusia di Mata Sultan HB X

Anak Pram pun menyambut positif film ini

Yogyakarta, IDN Times – Meski belum diputar secara serentak di bioskop-bioskop di Tanah Air, film Bumi Manusia telah menjadi buah bibir.

Bahkan saat poster film Bumi Manusia dikeluarkan tanggal 15 Juni lalu, unggahan di Instagram sutradara Hanung Bramantyo itu sudah dibanjiri 7.500 likes.

Pada Selasa malam (13/8), Yogyakarta menjadi salah satu kota yang dipilih untuk acara gala premiere yang diadakan di Empire XXI Yogyakarta. Tidak hanya para millennial yang bersuara tentang film yang diadopsi dari buku karya Pramoedya Ananta Toer, namun Gubernur sekaligus Raja Kraton Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X pun ikut berbagi rasa.

1. Sultan: Jangan sekedar melihat adegannya, tapi lihat nilai yang disampaikan

Tayang di Jogja, Ini Makna Film Bumi Manusia di Mata Sultan HB XIDNTimes/Holy Kartika

Sultan mengaku mengenal sutradara film Bumi Manusia, Hanung Bramantyo, tak sekadar sama-sama berasal dari Yogyakarta.

“Bapaknya teman saya,” kata Sultan yang didampingi permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dan putri ketiganya, GKR Maduretno.

Rupanya, Sultan pun menonton juga sejumlah film besutan Hanung sebelumnya. Dia mencermati pilihan kostum, akting pemain, pencahayaan, hingga bagaimana pengambilan sudut dari adegan-adegan dalam film yang ditontonnya malam itu.

“Dia (Hanung) punya pengalaman sebagai sutradara. (Film) yang ini lebih bagus, lebih cermat, dan memperhatikan semua aspek yang enak ditonton,” kata Sultan.

Namun, Sultan menolak mengungkapkan adegan yang disukainya dari film Bumi Manusia. Sultan justru berpesan untuk tidak sekadar melihat adegan per adegan. Nilai-nilai yang disampaikan dari film itu juga perlu dicermati.

“Seperti soal (diskriminasi) warna kulit, soal (diskriminasi) aspek hukum, yang penjajah dan dijajah,” kata Sultan.

Baca Juga: Menunggu 24 Tahun, Impian Ine Febriyanti Terwujud di 'Bumi Manusia'

2. Astuti: Adegan percintaan harus ada agar penonton tak bosan

Tayang di Jogja, Ini Makna Film Bumi Manusia di Mata Sultan HB XIDN Times / Pito Agustin

Anak Pramoedya Ananta Toer, Astuti, tak mempersoalkan adegan percintaan antara Minke dan Annelies dalam film yang diadopsi dari novel karya ayahnya dengan judul yang sama itu. Justru adegan percintaan menjadi bumbu dari film agar tidak membosankan.

“Novel karya Pram 'kan banyak narasinya. Nanti monoton, bosan. Jadi (adegan percintaan) itu perlu di film,” ujar Astuti.

Dia pun mengaku menyukai adegan terakhir film yang menurutnya mengharu biru.

“Saya suka kata-katanya ketika kepergian Annelies dan adegan terakhir itu,” kata Astuti.

Sebagai editor dari novel Bumi Manusia, Astuti mengaku puas dengan film garapan Hanung itu. Dia pun tak ambil pusing ada yang berkomentar film Bumi Manusia tak sebagus novelnya.

“Memang buku itu lebih indah. Itu khayalan 'kan, mau di bawa ke mana buku itu. Kalau film itu kan sudah jadi (karena diadaptasi dari novel). Jadi gak bisa berkhayal lagi,” kata Astuti.

3. Romo Banar: Annelies itu harta Nusantara

Tayang di Jogja, Ini Makna Film Bumi Manusia di Mata Sultan HB XIDN Times / Pito Agustin

Gregorius Budi Subanar yang ikut hadir dalam gala premiere mengaku sudah membaca novel tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer, termasuk Bumi Manusia, sejak 1980-1990-an. Saat kisah dalam novel itu difilmkan, menurut Romo Banar, panggilan akrab Dosen Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta seolah menghidupkan sejarah.

“Menjadikan sejarah tak menjadi masa lalu, tapi juga terus berjalan. Anak muda diajak melihat masa lalu agar selalu aktual,” kata Banar.

Kisah percintaan Minke dan Annelies pun dinilai Banar tak merusak kisah sejarah itu sendiri. Justru adegan itu dalam film merupakan cara menghadirkan wilayah perasaan dan emosi para penonton. Mereka diajak masuk dalam peristiwa romantik sehingga membuat penonton dan kisah itu tak berjarak.

Senada dengan Astuti, Banar pun terkesan dengan adegan terakhir. Dia melihat sosok Annelies bukan sekedar anak dari Nyai Ontosoroh dan istri dan Minke. Melainkan sebagai harta Nusantara yang berada dalam kompleksitas kehidupan. Lewat sosok Annelies bisa dilihat adanya pertemuan antara pribumi dengan kolonial mengingat dia anak dari Nyai Ontosoroh dan Herman Millema. Kemudian laksana ‘harta’, Annelies harus dibawa pergi kembali oleh orang kolonial karena yang dianggap punya hak perwalian setelah ayahnya meninggal adalah keluarga dari ayahnya.

“Lantas harta kolonial apa yang masih tertinggal di sini dan yang akan dibawa pergi lagi? Itu kan satire yang menyentuh,” kata Banar.

4. Film yang mengajak anak muda tak melupakan sejarah

Tayang di Jogja, Ini Makna Film Bumi Manusia di Mata Sultan HB XIDN Times / Pito Agustin

Rizki Faradita Susanto, 18 tahun, turut berada dalam keriuhan anak-anak muda saat gala premiere, ingin bertemu artis-artis ibukota pemeran dalam film Bumi Manusia semalam.

Dia setia menunggu sejumlah artis juga sutradara selesai diwawancarai awak media untuk kemudian sekadar meminta foto bersama. Dan sebelum menonton, Rizki telah membaca sinopsisnya. Bahkan 2018 lalu ketika film ini mulai dibuat, Rizki juga menyempatkan membaca kisah dalam novel setebal 535 halaman yang ditulis sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer itu.

“Ternyata di luar ekspektasi. Wow! Bikin kaget,” kata Rizki.

Awalnya dia mengira film itu mengisahkan cerita yang biasa saja. Justru setelah menonton, dia merasa film itu harus dipublikasikan kepada semua orang agar memahami perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Ada perjuangan rakyat pribumi, juga perjuangan seorang ibu yang tak ingin berpisah dengan anaknya karena dipandang sebelah mata oleh bangsa Eropa.

“Anak muda harus nonton. Film ini mengubah ekspektasi anak zaman sekarang supaya flash back. Jangan lupakan sejarah,” kata Rizki antusias.

Baca Juga: 10 Potret Whani Darmawan, Pelayan Gigih dan Setia di Film Bumi Manusia

Topik:

  • Febriana Sintasari
  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya