FH UII Desak Pemerintah dan DPR Tidak Lanjutkan RUU Cipta Kerja 

Omnibus Law belum tentu berhasil diterapkan di Indonesia 

Yogyakarta, IDN Times – Polemik RUU Omnibus Law Cipta Kerja masih berbuntut panjang. Aksi demonstrasi untuk menolak merebak di sejumlah kota di Indonesia. Hal ini mendorong Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta melakukan kajian.

Melibatkan dosen dan mahasiswa, kajian dalam forum focus group discussion (FGD) pada 6 Maret 2020 telah merumuskan kesepakatan bersama.

“Kami meminta dan menuntut pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja,” kata Dekan FH UII Abdul Jamil, dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Kamis (12/3).

Menurut Jamil, pemerintah dan DPR lebih baik menyempurnakan sejumlah undang-undang sektoral, ketimbang memaksakan diri menggarap produk undang-undang dengan metode omnibus law yang belum ada bukti keberhasilannya di negara lain.

“Justru hal itu malah berpotensial merusak sistem perundang-undangan di Indonesia,” kata Jamil.

Baca Juga: Banyak Pasal dalam Omnibus Law yang Dipandang Tidak Memihak Rakyat

1. Omnibus law belum dikenal di Indonesia

FH UII Desak Pemerintah dan DPR Tidak Lanjutkan RUU Cipta Kerja IDN Times/Siti Umaiyah

Konsep omnibus law adalah metode pembentukan perundang-undangan yang menekankan konsolidasi berbagai tema, materi, subyek, dan peraturan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar yang holistik.

“Itu belum dikenal di Indonesia. Tapi pemerintah sudah mengklaim metode itu lebih efisien karena akan mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru terhadap 79 undang-undang yang disasar," kata Kepala Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII Anang Zubaidy.

Klaim itu dinilai belum tentu benar, mengingat belum ada data yang diberikan kepada publik tentang keberhasilan metode omnibus law di negara lain.

Hasil FGD yang dibuka Pakar Hukum Lingkungan dan Hukum Perundang-undangan FH UII Zairin Harahap, dan Pakar Hukum Ketenagakerjaan FH UGM, Ari Hernawan pekan lalu memandang metode itu belum dibutuhkan. Apalagi isinya cenderung mengedepankan kepentingan investor atau pemodal.

“Produknya cenderung top down. Bukan bottom up dari masyarakat,” kata Anang.

2. Judulnya RUU Cipta Kerja, isinya kemudahan dan perlindungan investasi

FH UII Desak Pemerintah dan DPR Tidak Lanjutkan RUU Cipta Kerja Aksi Ribuan Buruh Palembang Tolak RUU Omnibus Law di DPRD Sumsel (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Pada awalnya  nama yang diberikan adalah RUU Cipta Lapangan Kerja. Lantaran dijuluki publik dengan sebutan RUU Cilaka, kemudian diganti menjadi RUU Cipta Kerja. Meski nama diubah tetap tak sinkron dengan substansinya.

Dari pembacaan konsideran, substansi RUU Cipta Kerja adalah memberikan berbagai kemudahan dan perlindungan berinvestasi. Meliputi di bidang perpajakan, analisis dampak lingkungan, dan perizinan.

Kondisi itu berpotensi menggiring RUU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi. Mengingat negara semestinya melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia, salah satunya melalui pembentukan undang-undang. Namun RUU itu justru berpotensi melanggar hak-hak warga masyarakat yang dijamin oleh konstitusi.

Tak hanya soal isi, persoalan RUU Cipta Kerja juga muncul sejak proses legislasi, regulasi, implementasi sampai eksekusi. Dalam proses legislasi perlu dicermati apakah stake holder atau target group sudah dilibatkan. Semisal, di bidang ketenagakerjaan tak hanya melibatkan pengusaha, melainkan juga pekerja atau serikat pekerja.

“Kalau kelompok sasaran tidak dilibatkan, tidak ada rasa memiliki. Produknya juga tidak dapat berjalan sesuai tujuan,” kata Anang.

Publikasi draft RUU Cipta Kerja dan naskah akademiknya pun diduga disusulkan setelah ada penyerahan draf RUU dari pemerintah kepada DPR. Publik justru mendapatkan draf dan naskah akademiknya bukan dari laman resmi pemerintah.

3. Ada 500 pasal malah diatur PP ketimbang UU

FH UII Desak Pemerintah dan DPR Tidak Lanjutkan RUU Cipta Kerja IDN Times/Anggun Puspitoningrum

Dari 79 UU yang diubah, dihapus, atau ditetapkan aturan baru dalam RUU Cipta Kerja, terdapat 500 pasal yang pengaturannya didelegasikan lewat peraturan pemerintah (PP). bukan diatur secara rigid dalam RUU.

“Kuat dugaan kekuasaan legislasi (DPR) lebih fleksibel kepada eksekutif (Presiden) melalui PP,” duga Jamil.

RUU Cipta Kerja juga tidak mengatur status UU sektoral yang muatannya diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturan baru. Dampaknya potensial terjadi dualisme pengaturan dalam UU yang mengatur hal yang sama.

Ia pun mengajak civitas akademika FH UII, konsisten mengawal proses pembahasan RUU ini. Jika disahkan, maka pihaknya akan menempuh jalan konstitusional untuk menuntut pembatalannya.

“Jadi seluruh masyarakat Indonesia, mari bersama mengawasi kerja legislasi yang saat ini berjalan,” kata Jamil.

Baca Juga: Mimpi Jokowi Lewat Omnibus Law, Pendapatan Rp84 Juta per Kapita

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya