Dear DPR, Kapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan? 

Proses pembahasan di DPR terlalu lama

Yogyakarta, IDN Times- – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergabung dalam jejaring masyarakat sipil di Yogyakarta mendesak Panitia Kerja Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Komisi VIII DPR Periode 2014-2019 segera mengesahkan RUU tersebut. Lantaran masa sidang DPR akan ditutup pada 30 September 2019. Jejaring masyarakat sipil khawatir RUU yang sudah diajukan drafnya sejak 2014 itu gagal disahkan DPR periode ini.

“Pembahasannya baru intens 2-3 bulan menjelang masa kerja DPR berakhir. Itu pun belum menunjukkan akan disahkan periode ini,” kata Ika Ayu dari Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) dalam pernyataan sikap di Kantor IDEA di Yogyakarta, Rabu, (4/9).

Pada periode Agustus-September 2019, Panja Komisi VIII DPR sudah mengagendakan pembahasan daftar inventaris masalah (DIM). Kemudian RUU akan disahkan pada 25 September 2019. Namun berdasarkan pemantauan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan jejaring masyarakat sipil dalam persidangan, panja menunjukkan tanda-tanda ketidakseriusan.

“Ada rapat DIM yang hanya diikuti tiga orang anggota panja. Lalu dijadwal ulang,” kata Ika.

Dan rencana rapat DIM pada 4 September 2019 ternyata diganti agendanya dengan pembahasan anggaran kementerian. Sejumlah upaya desakan pengesahan dilakukan jejaring masyarakat sipil di pusat maupun daerah, seperti menggelar aksi di Senayan. Lalu mengirimkan pesan pendek kepada Panja Komisi VIII DPR setiap Senin yang berisi desakan pengesahan RUU. Langkah ini kemudian diberi nama Gerakan Senin SMS. Sejumlah diskusi dan kajian pun digelar untuk membahas RUU tersebut.

“Termasuk membuat pernyataan sikap dari daerah untuk mendesak RUU segera disahkan,” imbuh Ika.

1. Draf RUU diajukan 2014, masuk prolegnas 2016

Dear DPR, Kapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan? Pito Agustin Rudiana

RUU yang semula diberi nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan berubah menjadi RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual itu memuat pengaturan pemidanaan pelaku dan pengaturan perlindungan terhadap korban dengan mempertimbangkan kerentanan perempuan dan anak, serta perspektif inklusi dalam perlindungan korban.

Perjalanan masuknya draf RUU PKS ke Senayan memakan waktu dua tahun. Berawal pengajuan draf RUU PKS oleh Komnas Perempuan pada 2014 yang menilai perlu aturan hukum yang memberi perlindungan pada korban kekerasan seksual.

Draf RUU mulai terdaftar dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas pada tahun 2016. Pada April 2017, ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada April 2017. Menyusul kemudian, Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat presiden untuk menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut, yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA). Pada bulan yang sama, DPR langsung menindaklanjuti dengan memutuskan Komisi VIII yang membahas draf RUU tersebut.

“Presiden harus menguatkan komitmen dan dukungannya atas pengesahan RUU ini. Negara harus hadir dalam pencegahan kekerasan seksual, pemidanaan pelaku, dan perlindungan korban,” papar Ika.

Dear DPR, Kapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan? IDN Times

2. Tujuh agenda jadi prioritas advokasi RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Dear DPR, Kapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan? naukrinama.com

Rani Pribadi anggota Jaringan Perempuan Yogyakarta, menjabarkan ada tujuh agenda prioritas dalam RUU tersebut yang harus diwujudkan. Pertama, memuat sembilan jenis kekerasan seksual, meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

“Identifikasi jenis-jenis kekerasan seksual itu berdasarkan berbagai pengalaman korban,” kata Rani.

Kedua, pengakuan hak korban atas penanganan, pemulihan, dan perlindungan. Ketiga, prinsip kewajiban negara untuk memenuhi hak asasi manusia dan hak konstitusi warga negaranya.

Keempat, hukum acara khusus yang meliputi sistem pembuktian yang memperhitungkan pengalaman perempuan korban, termasuk penyandang disabilitas. Kelima, adanya pelayanan terpadu dan terintegrasi satu atap bagi korban.   

“Jadi korban tak perlu dirujuk ke banyak tempat yang berbeda. Itu juga membatu pemulihannya,” kata Rani.

Keenam, ancaman hukuman. Ancaman pidana minimal, pidana tambahan, pemberatan, dan rehabilitasi untuk pelaku.

“Rehabilitasi pelaku adalah untuk mengubah perilaku pelaku. Nantinya pelaku menjadi agen-agen pencegah kekerasan seksual,” imbuh Nurul Kurniati, konselor hukum dari LSM Rifka Annisa.

Ketujuh, mengatur pencegahan, perubahan pola pikir masyarakat termasuk aparat penegak hukum, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam penghapusan kekerasan seksual.

3. Tidak ada pasal yang melegalisasi LGBT dan aborsi

Dear DPR, Kapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan? Ilustrasi LGBT (IDN Times/Arief Rahmat)

Salah satu penolakan yang sempat digaungkan oleh sejumlah ormas keagamaan atas pengesahan RUU tersebut terdapat isi yang melegalkan LGBT dan aborsi.

Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) DIY Khotimatul Husna yang telah mencermati pasal per pasal dalam RUU tersebut tak menemukan klausul legalisasi itu.

“Kami masuk dan mendukung RUU ini karena tahu betul tak ada (legalisasi) itu. Isinya tak seperti yang ‘dipolitisir’ kelompok agama tertentu,” kata Khotimatul.

Ika Ayu pun meminta setiap orang atau pihak membaca isi RUU-nya terlebih dahulu sebelum membuat pernyataan. Bahkan RUU tersebut dinilai sebagai regulasi yang netral gender karena tak menyebutkan jenis kelamin apapun.

“Perlindungan korban kekerasan seksual diberikan kepada jenis kelamin apapun karena kekerasan bisa terjadi terhadap siapapun,” kata Ika.

Sedangkan terkait legalisasi aborsi diatur dalam UU Kesehatan dengan memberikan beberapa pembatasan. Seperti aborsi boleh dilakukan terhadap perempuan yang mengalami kehamilan tak diinginkan atau pun ada risiko terhadap ibu hamil atau janin.

4. Jika pengesahan RUU molor, tak ada jaminan DPR baru segera mengesahkan

Dear DPR, Kapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan? IDN Times/Kevin Handoko

Bagi Dyah Roessusita dari Perempuan Indonesia Anti-korupsi (PIA), RUU tersebut harus disahkan oleh DPR Periode 2014-2019 sebelum berakhir. Lantaran DPR periode mendatang tak bisa dijamin akan segera mengesahkan. 

“Tak ada sistem prolegnas yang mengatur jaminan itu. Suka-sukanya DPR baru. Jadi ini titik kritisnya,” kata Dyah.

Tak ada pilihan lain bagi jejaring masyarakat sipil untuk mendesak DPR segera mengesahkan RUU tersebut sebelum 30 September 2019. Mengingat pembahasan RUU tersebut sudah sejak 2016 lalu.

“Apalagi yang kurang dibahas? Lekas sahkan segera,” kata Dyah menegaskan.

Baca Juga: Aktivis Perempuan Yogyakarta Bersuara Soal Korban Kekerasan Seksual

Topik:

  • Febriana Sintasari
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya