Data Kematian PDP DIY, Sekda: Perbanyak Catatan, Salah Bisa Diralat

Data kematian jadi sumber laju persebaran COVID-19

Yogyakarta, IDN Times – Sejak pertengahan April 2020 hingga awal Juni 2020, sejumlah jurnalis yang berkolaborasi menemukan sejumlah data dan fakta penanganan COVID-19 di DI Yogyakarta yang carut-marut lewat liputan mendalam.

Sengkarut itu masih tampak dari publikasi data yang diunggah Pemerintah DIY per 10 Juni 2020. Ada 100 pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal, meliputi 8 pasien terkonfirmasi positif COVID-19, 70 PDP dinyatakan negatif, dan 20 PDP menunggu hasil laboratorium. Kematian PDP positif tak ada penambahan, tetapi PDP meninggal terus melonjak.

“Ada problem apa terkait kematian PDP di DIY?” tanya koordinator liputan kolaborasi, Haris Firdaus dalam diskusi webinar bertema Akurasi Data, Kunci Atasi Pandemi yang digelar LaporCovid-19, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, 11 Juni 2020.

Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji membantah pihaknya sengaja menutupi informasi penanganan COVID-19 di DIY dari publik. Bahkan data yang disampaikan pun tak sebatas jumlah pasien positif, yang telah sembuh, yang meninggal, maupun yang masih dirawat.

“Bisa saja sebatas itu. Tapi kan penasaran. Jan-jane koyo opo (sebenarnya seperti apa). Jadi kami ingin beri informasi secara blak-blakan,” kata Aji.

Persoalannya, catatan (note) yang disertakan dalam data acap kali belum lengkap atau pun belum menjelaskan data tersebut secara komprehensif. Dia ingat pelajaran sekolah tentang cara menyajikan data. Dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data, penyajian data, analisis data, dan interpretasi data. Jika dilakukan dengan baik, maka ada perbaikan data. Data yang disajikan juga menjadi peringatan bagi masyarakat untuk selalu mengikuti protokol kesehatan. Meski di sisi lain, masyarakat salah menafsirkan sehingga menjadi bumerang. Seperti kasus zero positif yang terjadi beberapa hari lalu.

“Satu sisi ayem, (penambahan) positif nol. Di sisi lain, masyarakat membacanya, wah Yogyakarta sudah aman. Sepedaan sampai nol kilometer. Suk-sukan ora masalah (berdesakan tak masalah),” kata Aji, hingga Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X mengancam akan menutup Malioboro.

Dalam pendataan kasus COVID-19 pada 12 Juni 2020, beberapa perbaikan sudah dilakukan. Seperti pemberian catatan komorbid sejumlah PDP yang meninggal dan dinyatakan negatif.

Baca Juga: Belum Dua Kali Swab, PDP Meninggal di DIY Dianggap Negatif COVID-19

1. Data tak akurat akibatkan pemutusan rantai penularan COVID-19 tak maksimal

Data Kematian PDP DIY, Sekda: Perbanyak Catatan, Salah Bisa DiralatDiskusi soal akurasi data penanganan COVID-19 di DIY, 11 Juni 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Temuan pertama, tim kolaborasi jurnalis mencatat sejak 15 Maret 2020-15 Mei 2020 ada 12 PDP meninggal yang dinyatakan negatif tanpa prosedur yang benar. Sebanyak lima PDP belum menjalani swab sama sekali dan tujuh PDP baru sekali swab dengan hasil negatif.

Sementara mengacu Revisi ke-4 Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) dari Kementerian Kesehatan yang dikeluarkan per 23 Maret 2020, setiap PDP harus menjalani dua kali tes PCR sebelum dinyatakan positif atau negatif. Jika tes pertama negatif, PDP bisa disimpulkan negatif jika tes kedua juga negatif. Kecuali jika tes pertama positif, PDP bisa langsung disimpulkan positif. Sementara, jika PDP meninggal dinyatakan negatif, otomatis statusnya digser bukan masuk kategori korban COVID-19.

“Upaya memutus rantai penularan jadi tak maksimal. Karena petugas merasa tak perlu melakukan tracing. Bagaimana kalau PDP itu terkait klaster?” tanya Haris.

Seharusnya, PDP meninggal yang belum menjalani dua kali swab dimasukkan dalam kategori sendiri. Bukan dinegatifkan.

Temuan kedua, pada 24 Maret-26 April 2020, tim menemukan ada 60 warga meninggal yang dimakamkan dengan prosedur COVID-19. Sebagian berstatus PDP, ODP, juga ada yang tanpa kejelasan status. Dari 60 orang itu, 8 jenazah tak tercatat di data COVID-19 Pemda DIY, 28 jenazah belum diketahui tercatat atau tidak.

“Kalau data tak akurat, dampak pandemi tak bisa dipahami masyarakat secara benar. Jenazah ODP itu korban pandemi atau bukan?” tanya Haris lagi sehingga perlu perbaikan mekanisme pencatatan kematian PDP dan ODP secara menyeluruh.

Temuan ketiga, soal total data kematian (all cause dead) yang jadi sorotan nasional dan internasional. Data itu penting untuk mengetahui dampak pandemi secara utuh, tak hanya data pasien positif. Para pakar mendapatkan dengan membandingkan total kematian sebelum dan selama pandemi. Sebagaimana pernyataan Iqbal dari Eijkman dalam wawancara Mei 2020 lalu. Bahwa kematian bisa menjadi indikator yang lebih penting ketimbang kasus positif. Indikator jumlah kasus yg ditemukan sangat bergantung pada jumlah tes dan pemeriksaan yang dilakukan. Selama tes tak agresif dan massif, kasus tak ditemukan banyak. Sedangkan kematian jadi indikator dampak pandemi ini secara lebih baik.

Pemerintah DKI Jakarta mempunyai data pembanding itu karena ada Dinas Pemakaman yang khusus mendata kematian. Berbeda dengan di DIY yang tak punya dinas khusus untuk mendata kematian secara terpadu. Sementara, tiap perkampungan punya makam yang dikelola kampung atau pun warga.

Data kematian di DIY tercatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di tiap kabupaten dan kota. Masalahnya, pencatatan kematian dinas itu hanya berdasar penerbitan akta kematian. Sementara, akta kematian terbit atas dasar permintaan keluarga atau petugas jemput bola langsung di lapangan, tak ada kejelasan.

Anehnya, catatan Dinas Tata Pemerintahan DIY menyebut data kematian berdasar pengurusan akta kematian selama April 2020 mengalami penurunan dibanding bulan-bulan sebelumnya. Padahal banyak korban akibat pandemi pada April itu. Asumsi ahli, jumlah kematian selama pandemi lebih banyak ketimbang sebelum pandemi.

“Ternyata selama pandemi, masyarakat yang mengurus akta kematian menurun. Ini problem,” kata Haris.

Di sisi lain, Pemda DIY hanya mengekspos jumlah PDP yang meninggal, baik yang dinyatakan positif maupun negatif. Data ODP meninggal tak dipublikasikan. Padahal pedoman yang dikeluarkan WHO menyebutkan, jumlah ODP meninggal harus menjadi bagian dari korban pandemi. 

“Persoalannya, bagaimana tes PCR dan rapid tes yang dilakukan di DIY? Pemda DIY tak mempublikasikan jumlah spesimen dan orang yang melakukan tes,” kata Haris menjelaskan temuan keempat timnya.

Informasi yang dihimpun hanya PDP dan orang tanpa gejala (OTG) dengan hasil rapid tes reaktif yang ditindaklanjuti menjalani tes polymerase chain reaction (PCR). Hasil pengumpulan data, ada 2.545 orang, baik PDP dan OTG yang menjalani tes PCR.

“Artinya, dengan total penduduk DIY sekitar 3,8 juta, yang menjalani tes swab baru 0,66 persen,” kata Haris.

Publikasi jumlah tes penting untuk meyakinkan masyarakat tentang kondisi riil yang terjadi di lapangan. Seperti kasus zero positif pada pertengahan Mei lalu, justru disambut skeptis oleh masyarakat. Publik mempertanyakan berapa jumlah tes yang dilakukan.

“Jika kasus nol positif, tapi jumlah tes sedikit, itu tak mencerminkan kondisi riil. Masyarakat sudah kritis,” kata Haris.

Temuan kelima adalah antrean hasil laboratorium. Tak heran, ada PDP meninggal, sementara hasil lab belum keluar. Dalam sehari, lebih dari 150 antrian. Tak ada kejelasan, sumbatan (bottle neck) atau persoalan terjadi di rumah sakit yang merawat atau di laboratorium yang memeriksa sampel pasien.

2. Angka kematian PDP di DIY tinggi jadi sumber data laju persebaran COVID-19

Data Kematian PDP DIY, Sekda: Perbanyak Catatan, Salah Bisa DiralatData kematian dari LaporCovid-19 dalam diskusi soal akurasi data penanganan COVID-19 di DIY, 11 Juni 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Irma Hidayana dari LaporCovid-19 mengingatkan, sejak April 2020, WHO telah mengeluarkan panduan tentang cara menghitung dan mencatat angka kematian.

“Harus menyertakan angka kematian terduga COVID-19,” kata Irma.

Artinya, orang yang punya gejala klinis, lalu meninggal harus dicatat sebagai angka kematian COVID-19. Tak hanya yang positif dan meninggal, melainkan juga meninggal dalam status PDP dan ODP. Sementara data kematian PDP di DIY yang dihimpun LaporCovid-19 per 5 Juni 2020 lalu, jauh lebih tinggi dari angka positif yang meninggal.

“Itu jadi salah satu sumber data yang akurat untuk melihat kondisi di lapangan. Sejauh apa laju percepatan dan laju persebaran COVID-19,” papar Irma.

Sementara menurut Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih, ada tujuh perwakilan Ombudsman di daerah yang menerima aduan keluhan warga. Bahwa ada anggota keluarga yang meninggal dengan kesimpulan tak terkait COVID-19, tetapi pemakamannya tetap menggunakan protokol COVID-19. Sementara hasil swab cukup lama baru keluar.

“Bayangkan, 4-5 hari baru keluar. Indonesia harus pecahkan itu untuk beri pelayanan tes cepat dengan baik,” kata Alamsyah.

Ketika pihak rumah sakit menyimpulkan PDP meninggal karena komorbidnya, bukan karena COVID-19, juga menjadi persoalan. Kata kuncinya adalah tes yang akurat dan pelayanan kesehatan. Pasien yang meninggal mestinya lekas dilakukan tes dengan cepat.

“Kalau persoalan ini selesai, soal status (positif dan negatif) akan rampung juga,” kata Alamsyah.

Di sisi lain, Alamsyah menangkap kesan ketika pasien sudah meninggal, penanganannya dianggap selesai. Padahal dalam pandemi mesti ada kejelasan status jenazah tersebut.

“Disebut maladministrasi. Ini bukan perang. Jenazah butuh dites cepat sebelum dimakamkan,” kata Alamsyah.

3. Pemda DIY akan memperbanyak catatan untuk antisipasi ketidakakuratan data

Data Kematian PDP DIY, Sekda: Perbanyak Catatan, Salah Bisa DiralatDiskusi soal akurasi data penanganan COVID-19 di DIY, 11 Juni 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menyikapi temuan jurnalis tentang data PDP meninggal baru sekali swab dengan hasil negatif, tetapi dicatat sebagai PDP negatif dalam data Pemda DIY dan dinilai menyalahi pedoman Kemenkes, menurut Aji tak masalah. Asalkan ada catatan yang menjelaskan.

“Enggak masalah, kami akan lanjut seperti itu. Tapi note-nya diperbanyak lagi supaya masyarakat lebih tahu,” kata Aji.

Catatan yang disertakan itu misalnya, pasien disebut meninggal negatif karena swab pertama negatif. Kemudian dilakukan telusur melalui dokter, keluarga, lingkungannya terkait ada tidaknya interaksi pasien korban dengan pasien positif atau klaster tertentu.

Ada pula kategori meninggal dalam proses dalam data PDP meninggal yang disajikan Pemda DIY. Publik pun mempertanyakan, karena istilah ‘dalam proses’ berkesan menggantung, tanpa kejelasan. Solusinya adalah memberi catatan, semisal swab baru sekali.

 “Yang penting itu catatannya. Kan enggak boleh kami beri predikat positif, wong swab saja negatif,” aku Aji.

Dia juga menjanjikan akan melengkapi catatan yang ada. Bahkan tak masalah apabila catatan dibuat panjang seperti narasi. Asalkan masyarakat bisa memahami secara jelas. Sebaliknya, jika data yang disampaikan salah akan diralat dan diperbaiki.

“Enggak dosa (diralat). Kalau ada yang salah dan kami yakini salah, enggak soal diralat,” kata Aji.

Sementara menurut Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun, pedoman WHO dan Kemenkes yang mengharuskan dua kali swab hanya bisa diberikan kepada pasien yang punya kesempatan dua kali swab. Masing-masing swab diambil satu pasang sampel, meliputi sampel usap berupa lendir dari hidung (nasofaring) dan dahak dari tenggorok (osofaring). Jeda waktu pengambilan swab I dan II adalah dua hari.

“Itu untuk pasien hidup. Bagaimana kalau pasien tak bisa dilakukan swab dua kali?” tanya Pembajun. 

Bagi pasien yang meninggal, pihaknya punya standar untuk mengambil swab dalam kurun dua jam setelah meninggal. Artinya, sebelum kondisi fisik jenazah kaku. Sementara jika pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi status dead on arrival (DOA), artinya begitu sampai UGD kemudian meninggal, Pembajun mengklaim ada upaya maksimal dilakukan. Antara lain dilakukan penelusuran epidemiologi (PE) oleh pihak puskesmas di wilayah tinggal pasien.

“Penyebab kematian harus dikuatkan pihak rumah sakit,” kata Pembajun.

Dari sekian pasien yang meninggal dalam status DOA yang baru sekali swab di atas 50 persen. Kemudian 75-80 persen punya penyakit. Beberapa di antaranya sudah diketahui penyebab meninggalnya.

“Ini yang tak pernah kami sampaikan kepada masyarakat. Yang kami sampaikan, yang bersangkutan punya komorbid,” aku Pembajun.  

Kemudian data-data dari kabupaten dan kota yang disampaikan ke provinsi, Pembajun memastikan berasal dari rumah sakit dan telah dilakukan penelusuran epidemiologi.

“Jadi kalau meninggal dan disebut negatif, kami sudah lakukan langkah-langkah itu,” kata Pembajun.

Sementara proses pemakaman terhadap jenazah PDP maupun dalam kondisi DOA tetap menggunakan protokol COVID-19. Lantaran tak menutup kemungkinan hasil swab belum keluar.

Ada empat laboratorium di DIY yang bisa melakukan pemeriksaan PCR. Dalam sehari, total bisa memeriksa 800 sampel. Kelambanan laporan hasil swab, menurut Pembajun bukan karena lama tidaknya operasional lab. Lantaran hasil swab bisa diketahui dan diambil dua hari kemudian. Melainkan pada teknis pengambilan hasil uji swab oleh pihak rumah sakit ke lab.

“Pengambilan swab memang harus didorong lagi. Ada protokol rumah sakit untuk mengambil secara periodik,” kata Pembajun.

Setelah hasil keluar, pihak lab punya kewajiban memberikan informasi kepada instansi pengirim dan pusat. Lantaran Juru Bicara Penanganan COVID-19 di pusat harus sudah menerima data lengkap sebelum pukul 14.00. data yang diberikan tak hanya data mentah, melainkan juga meliputi data hasil penelusuran epidemiologi yang jelas. ***

Baca Juga: Kisah Pemakaman Jenazah Bayi: Petinya Kecil, Tapi Itu Paling Berat

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya