Berawal pada Masa HB IX, PKL Gondomanan Kini Terancam Tergusur

Konflik horizontal atas hak pakai lahan milik Sultan

Yogyakarta, IDN Times – Dua kios tak permanen dari kayu itu tampak kusam dan berusia tua. Satu untuk warung bakmi dan minuman yang dikelola Sugiyadi dan Suwarni pada malam hari , serta menjual nasi rames oleh Sutinah pada siang hari. Satu lagi kios penjual kunci yang dikelola Budiono dan satu gerobak untuk jasa duplikasi kunci milik Agung.

Lokasi dua kios dan gerobak itu disengketakan. Penghuninya diusir agar lahan kios bisa dikosongkan karena dianggap mengganggu akses jalas. Permintaan datang dari pemilik ruko penjualan mainan, Eka Aryawan yang baru datang menempati pada 2010. Sedangkan kios-kios itu sudah ada sejak 1960 berbarengan dengan kios-kios pedagang kaki lima lainnya di area itu.

Yang menarik, ditempatkannya pedagang kaki lima (PKL) di area itu adalah permintaan Sultan Hamengku Buwono IX. Lahan itu adalah tanah milik Sultan. Namun, para pedagang itu tak memperoleh surat kekancingan penanda penggunaan tanah Sultan. Sementara Eka mendapatkan kekancingan pada 2011 masa Sultan Hamengku Buwono X bertahta. Konflik horizontal pun terjadi.

1. Mangkal sejak 1960 atas permintaan HB IX

Berawal pada Masa HB IX, PKL Gondomanan Kini Terancam TergusurKios PKL penjual kunci yang akan digusur di Gondomanan, Yogyakarta, 11 November 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Budiono mulai menjual jasa membuat dan memperbaiki kunci sejak 1980. Dia menggantikan usaha paklik-nya (paman) yang telah memulai usaha di sana sejak 1960. Begitu pula dengan Sugiyadi yang meneruskan usaha bapaknya berjualan bakmi.

“Jadi jualan di sini sudah turun temurun. Kami generasi kedua,” kata Budiono saat ditemui di kiosnya, 11 November 2019.

Budiono mengelola jasa pembuatan kunci bersama anaknya, Agung. Selain kios, mereka juga menggunakan gerobak dorong.  

Diakui Budiono dan Sugiyadi, lahan yang mereka tempati untuk usaha adalah tanah Sultan (Sultan Ground). Tak hanya mereka, sejumlah pedagang kaki lima lainnya juga menempatinya untuk usaha.

“Dari sini ke sana, ke lapak buku-buku itu ya punya Sultan,” kata Sugiyadi. Telunjuk tangannya menunjuk ke arah utara.

Penempatan PKL di sana pun awalnya atas permintaan Sultan Hamengku Buwono IX yang bertahta waktu itu. Mengingat kawasan di sana sangat sepi masa itu.

“Jadi pedagang-pedagang waktu itu dikoordinir keraton atas instruksi Sultan HB IX,” kata kuasa hukum PKL dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Budi Hermawan. Budiono pun membenarkan.

“Dulu daerah sini kan rawan (kejahatan) karena sepi,” imbuh Budiono.

Baca Juga: Besok akan Dugusur, 5 PKL Gelar Tapa Pepe Mengadu kepada Sultan HB X

2. Permohonan kekancingan yang ditolak dan dikabulkan

Berawal pada Masa HB IX, PKL Gondomanan Kini Terancam TergusurLokasi ruko yang menjual mainan anak yang sebagian bagunannya di belakang kios PKL Gondomanan Yogyakarta, 11 November 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Meski demikian, Budiono mengaku tak mengantongi surat kekancingan sebagai bukti penempatan tanah SG oleh warga. Paklik-nya masa itu hanya mempunyai surat bergambar bidang-bidang tanah dengan penjelasan berbahasa Belanda.

“Mestinya waktu itu diurus ke keraton ya. Orang tua kami gak ngerti soal itu,” kata Budiono.

Keinginan untuk mengurus kekancingan pun direalisasikan Budiono dan Sugiyadi pada 2010. Namun pihak Penghageng Panitikismo sebagai yang berwenang menerbitkan kekancingan menolak. Alasannya, tengah dilakukan moratorium penerbitan kekancingan.

"Tapi PKL taat bayar (PBB). Dapat aliran listrik (PLN). jadi memang tidak liar," kata Budi Hermawan.

Anehnya, setahun kemudian permohonan kekancingan dari Eka Aryawan pada 2011 dikabulkan dengan lahan seluas 73 meter persegi atau 4,5 meter x 16,05 meter. Dia akan membuka rumah dan toko (ruko) untuk usaha toko mainan di belakang kios-kios PKL. Sejak itu persoalan datang. Dengan berbekal kekancingan, Eka minta keluarga Budiono dan Sugiyadi menyingkir dari depan bangunannya. Lantaran letak kios keduanya dianggap menutup sebagian akses jalan.

Budiono menjelaskan, sebelum Eka datang, tak pernah ada masalah antara PKL dengan pengusaha pemilik bangunan di belakang kiosnya.

“Waktu itu ada usaha bengkel, enggak pernah ada masalah. Sama-sama kerja,” kata Budiono.

Selain bangunan bengkel yang sekarang menjadi ruko, di sebelahnya ada rumah warga. Antara bangunan rumah dan ruko dipisahkan lorong kecil selebar sekitar satu meter untuk akses warga di sekitarnya.

“Tapi sekarang ditutup,” kata Budiono sambil menunjuk bangunan lanatai dua di belakangnya yang berimpit dengan bangunan di sebelahnya.

Eka memperluas bangunan hingga menempel rumah di sebelahnya. Lorong akses warga pun ditutup. 

3. Sudah bersepakat, tetap juga digugat hingga Rp 1 miliar

Berawal pada Masa HB IX, PKL Gondomanan Kini Terancam TergusurKesepakatan yang dibuat pihak PKL Gondomanan dan pengusaha pada 2013, 11 November 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Akhirnya, pada 2013 digelar kesepakatan antara PKL dengan Eka Aryawan. Isinya, kedua pihak melakukan pengukuran bersama atas lahan yang dikuasai masing-masing. Pengukuran melibatkan kuasa hukum dari Eka Aryawan, LBH Yogyakarta, dan polisi dari Polres Yogyakarta. Hasilnya, Eka dapat membangun ruko dua pekan setelah pengukuran. Sedangkan PKL dapat berjualan di luar lahan 73 meter persegi itu.

“Kami mengalah dengan memotong area kios,” kata Budiono dari semula 4 meter x 5 meter menjadi 2,5 meter x 3 meter.

Mereka juga bersepakat untuk tak saling mengganggu, baik soal akses jalan maupun usaha dagang PKL. Pihak Eka juga membangun dinding pembatas antara kios PKL dengan lahan yang dikuasainya dengan papan galvalum.

Tiga tahun kemudian, tiba-tiba Eka melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Ia menggugat PKL senilai Rp 1,12 miliar karena kios-kiosnya dianggap menghalangi area masuk rukonya. Kaget, tentu saja dirasakan Budiono dan teman-temannya waktu itu.

“Padahal sudah ada kesepakatan. Rukonya juga sudah dibangun. Tiba-tiba menggugat. Itu pun tanpa memberi tahu kami,” kata Budiono.

Rentetan proses hukum pun dilakoni. Di pengadilan tingkat pertama, para PKL kalah, tetapi gugatan Eka juga tak dikabulkan. Eka pun banding ke Pengadilan Tinggi pada 2017, lalu kasasi di Mahkamah Agung pada akhir 2017. Hasilnya, para PKL tetap kalah. Hingga muncul surat bertajuk Koordinasi Pelaksanaan Eksekusi tertanggal 31 Oktober 2019 yang ditandatangani Panitera PN Yogyakarta Zulfahmi Anwar. Isinya tentang jadwal eksekusi pengosongan pada 12 November 2019 atau hari ini pukul 09.00.

Tim hukum Keraton Yogyakarta, Achiel Suyanto pun merasa heran berkait rencana eksekusi pengosongan lahan itu. Pihaknya merasa dilangkahi karena kasus sengketa hak terjadi di lahan milik Sultan, bukan lahan pribadi penggugat. 

"Mestinya kalau ada sengketa ngomongnya ke keraton, bukan ke pengadilan. Diundang keraton juga gak datang," kata Achiel.

4. Mengingatkan janji HB X yang memilih mukti untuk rakyat

Berawal pada Masa HB IX, PKL Gondomanan Kini Terancam TergusurLima PKL Gondomanan menggelar aksi diam di depan Keraton Yogyakaarta, 11 November 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Dengan dampingan LBH Yogyakarta dan sejumlah aktivis, Budiono, Sugiyadi, Agung, Suwarni, dan Sutinah berjalan kaki dari kiosnya menuju ke alun-alun utara. Membelah di antara dua beringin kembar dan duduk menghadap Pangelaran yang berbatasan dengan Sitihinggil, tempat raja duduk bertahta. Aksi tapa pepe mereka pilih. Sebuah ritual kawula alit untuk mengadu atas persoalan yang menimpa kepada rajanya.

Tapa pepe kan bentuk sikap berserah diri para PKL ini. Meminta kebijakan Sultan HB X untuk turun tangan menyelesaikan persoalan mereka,” kata Budi Hermawan.

Apalagi, lanjut Budi, persoalan yang menimpa kelima PKL itu adalah buah dari kebijakan raja. Mengingat raja sebagai pihak yang berwenang atas penguasaan tanah-tanah kerajaan.

“Dan kekancingan diberikan tanpa cek lapangan sehingga memunculkan konflik horisontal soal batas,” kata Budi.

Suara-suara hati kelima kawula alit itu pun ditunjukkan dari tuntutan-tuntutan yang mereka usung lewat kertas lebar bertuliskan tangan.

“Sultan, besok kami digusur. Yang gusur kami, pengusaha ekonomi kuat. Yang gusur kami langgar kesepakatan 13 Februari 2013” demikian salah satu bunyi poster mereka.

Tulisan poster lainnya mengingatkan Sultan HB X atas janjinya sebelum dinobatkan menjadi raja di hadapan ayahnya, Sultan HB IX pada 1988.

Emut janji marang Kanjeng Romo (HB IX) (ingat janji terhadap ayahanda). Janji 1988, mukti bareng rakyat (janji yang diucapkan pada 1988 untuk hidup bermanfaat untuk rakyat)” demikian salah satu bunyi poster.

Pada tahun itu, HB IX bertanya kepada HB X yang masih bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi. Ingin hidup mulia atau mukti. Dan Mangkubumi menjawab: saya tidak mengerti, tetapi saya menjawab mukti. Kalau mulia, belum tentu keberadaan saya memberi manfaat kepada orang lain. Kalau saya mukti, mungkin saya tidak kaya. Tetapi pikiran dan tenaga saya bisa bermanfaat untuk orang lain”.

Dan apa keinginan PKL Gondomanan?

“Ingin tetap bisa menempati. Kan sudah ada kesepakatan. Apalagi kami sudah menempati sejak 1980,” kata Budiono.

Selepas dari alun-alun utara, mereka pun melanjutkan pengaduan ke makam HB IX di Makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul.

Baca Juga: Laga PSIM Yogyakarta Berakhir Ricuh, Ini Komentar Sultan HB X

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya