Belum Dua Kali Swab, PDP Meninggal di DIY Dianggap Negatif COVID-19

Begini cara pemda DIY menentukan status PDP meninggal

Yogyakarta, IDN Times – Hampir dua bulan, angka delapan masih bertengger di kolom jumlah pasien positif COVID-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang meninggal dunia. Artinya, terhitung sejak 17 April 2020 hingga 30 Mei 2020, bahkan 4 Juni 2020 kemarin, tak ada penambahan pasien positif COVID-19 yang meninggal.

Angka itu jauh berbanding terbalik dengan jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) meninggal yang terus melonjak. Sejak kasus positif virus corona pertama di DIY diumumkan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X pada 13 Maret 2020 hingga 30 Mei 2020, sebanyak 65 dari 1.111 PDP diketahui meninggal dan dimasukkan dalam kolom negatif. Data itu dimuat dalam Rekapitulasi Total PDP COVID-19 yang dikeluarkan Posko Terpadu Penanganan COVID-19 Pemerintah DIY.

“Hah! Banyak banget! Dari 73 pasien meninggal hanya ketemu 8 yang positif. Kan cuma 10 persen. Gak nyangka,” seru Konsultan Independen Genetik Molekuler, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo dalam wawancara melalui webinar bersama delapan jurnalis yang bergabung dalam tim kolaborasi peliputan COVID-19 berbasis jurnalisme data di Yogyakarta, 30 Mei 2020. Mimik mukanya tampak terkejut. Tangannya beberapa kali menggaruk rambutnya yang sebagian memutih.

“Kalau jadi peneliti, saya cari gejala dan hasil laboratoriumnya. Seberapa agresif mengambil sampel, melakukan otopsi. Minimal biopsi paru,” kata lulusan Postdoctoral Fellowship dari Harvard Medical School, Boston, Amerika Serikat pada 2003-2007 itu.

Angka 65 PDP meninggal itu menjadi persoalan, karena sebagian diduga telah disimpulkan negatif tanpa mengacu Revisi ke-4 Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) dari Kementerian Kesehatan yang dikeluarkan per 23 Maret 2020 lalu. Bahwa untuk menegakkan diagnosis PDP benar-benar berstatus negatif harus berdasarkan dua kali uji swab dengan hasil sama-sama negatif melalui teknik polymerase chain reaction (PCR).

Sementara sebagian dari 65 PDP yang meninggal dan negatif itu diketahui baru menjalani satu kali tes swab. Ada pula yang sama sekali belum melakukan tes swab, tetapi sudah disebut negatif. Pemberian label negatif terhadap sebagian PDP meninggal sekali swab negatif dan tanpa swab disinyalir tak sinkron dengan data PDP negatif meninggal yang dimiliki pemerintah kota dan kabupaten. Bagaimana ketidakakuratan data PDP negatif meninggal ini bisa terjadi?

Baca Juga: Data Kematian COVID-19 di DIY Amburadul, PDP Meninggal Tak Tercatat

1. Swab satu kali pada PDP tak bisa disimpulkan negatif

Belum Dua Kali Swab, PDP Meninggal di DIY Dianggap Negatif COVID-19Kantor BBTKLPP Yogyakarta, 13 Mei 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Kecurigaan tim terendus dari kasus PDP nomor 289 berinisial BS, 47 tahun asal Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. BS yang suka berolah raga itu tiba-tiba mengalami sesak napas hebat dan meninggal pada 31 Maret 2020.

Meski belum diswab, BS sempat menjalani rontgen paru dan pemeriksaan darah di rumah sakit pertama jujugannya pada 27 Maret 2020. Hasilnya pemeriksaan memasukkan BS kategori PDP. Lantaran ruang isolasi di sana penuh, BS diminta isolasi mandiri di rumah. Kondisinya memburuk dan dilarikan ke RSUP Sardjito pada 31 Maret 2020.

“Tak sampai 15 menit di UGD, pasien meninggal. Dan itu belum sempat diswab,” kata Kepala Bidang Hukum dan Humas RSUP Sardjito Banu Hermawan saat dikonfirmasi pada 18 Mei 2020.

Dan ternyata BS bukanlah satu-satunya PDP meninggal yang dinyatakan negatif, meski belum diswab. Berdasarkan hasil kroscek tim dari data yang disajikan Pemda DIY, pemerintah kabupaten dan kota, juga sejumlah laboratorium di DIY mendapatkan hasil 12 PDP negatif meninggal yang diduga pendataannya bermasalah di Sleman, Bantul, dan Yogyakarta.

Ada lima PDP meninggal yang belum diswab, tetapi dinyatakan negatif. Meliputi PDP 204, PDP 387, PDP 679 dari Yogyakarta, PDP 235 dari Bantul, da PDP 289 dari Sleman. Serta tujuh PDP meninggal dinyatakan negatif, tetapi baru menjalani satu kali swab dengan hasil negatif. Meliputi PDP 601 dari Bantul, PDP 702, PDP 783, PDP 807, PDP 856, PDP 969, dan PDP 1275 dari Sleman.  

Banu membenarkan, pihaknya pernah tak sempat melakukan swab terhadap sejumlah PDP ketika masa awal penanganan pasien COVID-19. Ketika itu, sampel swab harus dikirim ke satu-satunya laboratorium di Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes di Jakarta. Usai Sardjito mempunyai laboratorium PCR sendiri per 13 April 2020, uji swab PDP di sana dilakukan sendiri. Termasuk PDP dari luar Sardjito. Namun hasil swab bukan satu-satunya yang dijadikan parameter Sardjito menentukan pasien masuk kategori PDP COVID-19.

“Yang paling utama justru pemeriksaan darah dan gambaran thorax (paru),” kata Banu.

Apabila hasil swab negatif, tetapi gambaran paru menunjukkan pneumonia – apalagi bilateral atau kedua paru – juga terjadi infiltrasi sehingga paru terendam cairan, hasil rontgen menunjukkan paru berwarna putih, maka pasien dinyatakan PDP.

Kepala Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta Irene juga menerapkan standar dua kali swab terhadap PDP. Satu sampel swab diambil dari rongga hidung dan mulut yang diambil pada hari I dan II. Apabila hasil I positif, maka langsung bisa disimpulkan positif COVID-19. Namun jika hasil I negatif, maka untuk menyimpulkan pasien adalah PDP negatif COVID-19 harus menunggu hasil swab II menunjukkan hasil negatif juga. 

Sementara jika baru sekali swab dan hasilnya negatif, tetapi PDP meninggal dunia, maka belum bisa disimpulkan negatif. Untuk menegakkan diagnosis, pihak rumah sakit ada yang mengambil sampel swab setelah pasien meninggal. Menurut Irene, langkah itu bisa dilakukan selama kondisi jenazah belum kaku sehingga sampel swab masih bisa diambil dari mulut juga.

“Dan simpulan hanya bisa diambil berdasar dua spesimen. Kalau baru satu, saya beri catatan. Swab I negatif dan belum bisa disimpulkan,” kata Irene.

Keharusan melakukan dua kali swab untuk memberi simpulan status pasien, Irene menjelaskan untuk memastikan hasil swab bukan negatif palsu atau pun positif palsu. Disebut negatif palsu, artinya hasil swab negatif, tetapi sebenarnya positif. Sebaliknya, positif palsu adalah hasil positif, tetapi sebenarnya negatif.

“Positif palsu gak masalah, karena penanganan pasien pakai standar COVID-19. Diisolasi. Kalau sudah meninggal, pemulasaran jenazah juga pakai protokol COVID,” papar Irene.

Yang berbahaya, jika hasil sekali swab menunjukkan negatif palsu. Lantaran dianggap negatif COVID-19, pasien bebas pergi ke mana pun dan berpotensi menularkan virus.

“Karena semakin ke sini makin banyak orang tanpa gejala (OTG) ketimbang orang dalam pengawasan (ODP),” kata Irene.

Proses swab terhadap PDP yang diperiksa di Laboratorium Sardjito, menurut Banu, juga tetap dilakukan dua kali. Bedanya, swab dilakukan pada hari I dan III. Jika kedua hasilnya negatif, PDP tersebut dinyatakan sembuh. Namun jika PDP baru sekali swab dengan hasil negatif, kemudian meninggal, pihak rumah sakit langsung memberi kesimpulan negatif swab.

“Negatif swab ya, bukan negatif COVID-19. Itu simpulan terakhir, karena satu kali dan meninggal. Masak mau digugah (dibangunkan jenazahnya),” kata Banu setengah bergurau.

2. Kebingungan daerah dengan kategorisasi PDP meninggal

Belum Dua Kali Swab, PDP Meninggal di DIY Dianggap Negatif COVID-19Perbandingan PDP meninggal positif dan negatif di DIY. Dokumentaasi Tim Kolaborasi

Hingga per 27 Mei 2020, Pemkab Sleman mendata ada 61 PDP yang meninggal dengan mengkategorikan 4 positif COVID-19, 11 PDP dalam proses, dan 46 PDP negatif. Disebut PDP negatif karena 46 pasien itu telah menjalani dua kali swab dan keduanya memberi hasil negatif. Sedangkan 11 pasien disebut dalam proses karena swab baru sekali atau belum dilakukan swab sama sekali. Dan tim menemukan dari 11 PDP meninggal tersebut ada 7 PDP yang dikategorikan negatif dalam data Pemda DIY .

“Kami tetap berpatokan negatif kalau dua kali swab. Kalau belum, kami tetap tak mengatakan itu negatif. Kategorinya dalam proses,” tegas Kepala Dinas Kesehatan Sleman Joko Hastaryo saat dikonfirmasi di Kantor Dinkes Sleman, 29 Mei 2020.

Bahkan sekalipun diagnosis dokter menyebut PDP meninggal yang baru sekali swab atau belum swab itu sebagai pasien bukan terkait COVID-19, Joko tetap ogah menyebutnya PDP negatif. Lantaran berpatokan pada keharusan dua kali swab dengan hasil negatif.  

“Jangan lupa, COVID-19 ini golden standard-nya pakai PCR dari swab. Pendukung diagnosis bisa dari rontgen thorax dan CT Scan,” papar Joko.

Sementara jumlah PDP meninggal yang tercatat di Pemerintah Kota Yogyakarta per 27 Mei 2020 ada 26 pasien. Menurut penjelasan Kepala Bidang P2P Kota Yogyakarta Yudiria Amelia, 26 PDP itu sudah menjalani swab, baik sekali maupun dua kali. Mayoritas dua kali swab dengan hasil negatif alias sembuh. Hanya 4-5 pasien yang baru sekali swab sebelum meninggal dengan hasil negatif.

“Jenazah pun ada yang diswab,” kata Yudiria yang mendampingi Ketua Gugus Tugas COVID-19 Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi saat dikonfirmasi tim di Balaikota Yogyakarta, 28 Mei 2020.

Dan meskipun baru sekali swab, PDP meninggal itu tetap dikategorikan negatif oleh Pemda DIY. Untuk langkah antisipatif, Pemkot Yogyakarta melakukan langkah preventif untuk memutus kemungkinan rantai penularan. Pihaknya langsung menghubungi puskesmas terdekat untuk melakukan contact tracing atau penelusuran kontak ke keluarga pasien dan lingkungannya. Itu diberlakukan terhadap PDP yang positif maupun PDP meninggal yang sekali swab dengan hasil negatif atau belum sempat swab.

“Itu harus diperhatikan. Kalau ternyata sempat positif kan kasihan keluarganya. Harus dilakukan pengecekan,” kata Yudiria. 

Penegatifan PDP yang baru sekali swab atau belum swab juga dilakukan karena tidak ada kategori spesifik tentang pelaporan PDP tersebut. Heroe menjelaskan, semua pasien yang masuk PDP belum masuk kategori positif COVID-19 meskipun punya gejala yang mengarah COVID-19, seperti pneumonia. Sementara kategori pelaporan pada PDP yang tersedia hanya meliputi PDP dalam pengawasan, PDP negatif yang berarti sembuh, PDP meninggal, dan PDP positif yang berarti positif COVID-19.

“Makanya 26 PDP yang meninggal itu dilaporkan sebagai negatif COVID-19,” kata Heroe.

Pengategorian yang sama juga ada dalam data Pemkab Bantul terhadap PDP meninggal dengan sekali swab atau pun tanpa swab. Ada 20 PDP meninggal di Bantul dengan kasus serupa dimasukkan dalam kategori negatif. Alasan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Bantul Tri Wahyu Joko Santosa, karena berdasar petunjuk teknis dari Pemerintah DIY.

Sebanyak 20 PDP itu baru menjalani satu kali swab, baik menjelang meninggal maupun setelah meninggal. Mereka dikategorikan PDP karena masuk rumah sakit dalam kondisi sesak napas, batuk berat, demam tinggi. 

“Pasien demam berdarah dan lepstospirosis juga masuk dengan demam tinggi,” kata Oki, panggilan akrabnya.

Tindakan swab dua kali seperti aturan dari Kemenkes, menurut Oki, jika pasien punya riwayat perjalanan yang jelas dan kontak dengan pasien positif. Persoalannya, mayoritas PDP di Bantul tak memenuhi kriteria itu.

“Kebanyakan punya penyakit penyerta, diagnosis banding atau pemeriksaan penunjang lain yang mendukung itu bukan pasien COVID-19,” papar Oki.

Meski dinyatakan negatif, PDP meninggal tersebut dimakamkan dengan protokol COVID-19. Alasannya, prosedur penyakit menular diberlakukan untuk semua penyakit menular. Artinya, dalam kondisi wabah, semua pasien yang meninggal dan dicurigai positif, PDP, atau pun ODP, pengelolaannya pakai standar penyakit menular.

3. Penegatifan PDP meninggal dengan alasan tak punya kategori khusus

Belum Dua Kali Swab, PDP Meninggal di DIY Dianggap Negatif COVID-19Kantor Dinas Kesehatan Sleman, 29 Mei 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Konferensi pers tentang perkembangan data kasus-kasus positif COVID-19, pasien sembuh, pasien meninggal, maupun PDP yang disampaikan Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19, Achmad Yurianto saban hari kepada media massa dikumpulkan dari tiap provinsi di Indonesia. DIY salah satunya.

Jubir Penanganan COVID-19 untuk DIY, Berty Murtiningsih menjelaskan, kesibukan itu dimulai dari rumah sakit yang merawat pasien ke laboratorium untuk membawa sampel swab. Hasil pemeriksaan dari laboratorium diberikan ke rumah sakit yang merawat. Baru kemudian, rumah sakit melaporkan ke dinkes kabupaten dan kota. Terakhir disampaikan ke pemerintah provinsi, dalam hal ini DIY.

“Tapi dari rumah sakit itu langsung di-cc-kan ke provinsi,” kata Berty saat ditemui di Kantor Dinkes DIY, 29 Mei 2020.

Alasannya, ada pasien dari luar wilayah rumah sakit yang dirawat di sana. Pemilahan asal pasien itu dilakukan pihak provinsi, kemudian dibagikan ke tiap kabupaten kota terkait.

Tak hanya ‘masuk’ ke jalur pelaporan dari rumah sakit ke kabupaten dan kota. Pemda DIY juga ‘potong kompas’ minta data rekapan hasil tiga laboratorium di DIY, yaitu BBTKLPP, RSUP Sardjito, dan Fakultas Kedokteran UGM. Meski tak ada kewajiban DIY menerimanya, kecuali pusat. Rekapan itu didapatkan Dinkes DIY malam hari sebelumnya.

“Biar pagi-pagi gini, saya tahu data positif di mana saja. Terus kabupaten kota saya kasih tahu agar segera tracing dan kroscek ke rumah sakit,” kata Berty, mengingat data dari rumah sakit ke kabupaten kota baru disampaikan pukul 12 siang.

Pukul 9 pagi, pusat menyampaikan data pasien positif dan sembuh ke DIY. Dua data itu kemudian dikroscek ke kabupaten kota. Pukul 11, DIY memberikan konfirmasi benar tidaknya data tersebut ke pusat, karena data masuk jubir pusat pukul 12.

“Variabel pasien sembuh dan positif itu dari pusat. Formatnya seluruh Indonesia sama,” kata Berty.

Pasien negatif dilewatkan dengan alasan jumlahnya banyak. Untuk kasus meninggal, Berty hanya menyampaikan data PDP meninggal dalam proses.

Berkait sejumlah kasus PDP meninggal dunia dinyatakan negatif, meskipun baru swab sekali, Berty membenarkan menegatifkan. Tapi prosesnya, Berty mengklaim berdasarkan diagnosa rumah sakit.

“Kami menuliskannya (negatif) tidak main-main. Harus konsultasi ke rumah sakit yang merawat. Bisa dinegatifkan atau didiamkan seperti itu,” kata Berty.

Diagnosis tersebut merupakan kesepakatan klinis dokter di sana. Sementara pedoman dari Kemenkes dinilai terlalu umum. Tidak mengatur hal-hal klinis secara detail.

Kondisi saat ini, menurut Berty lebih baik dari sebelumnya. Dulu dia sempat bingung mengategorikan PDP meninggal, tetapi penyebab kematiannya diduga komorbid atau penyakit penyertanya. Tak ada wadah untuk memasukkan kategori PDP meninggal dengan kondisi tersebut.

Sementara hasil laboratorium menyebutkan tiga klasifikasi, yaitu positif, negatif, dan probable alias tidak bisa disimpulkan.

“Tapi maaf, kami tak bisa bikin kriteria seperti itu (probable). Menerangkan ke masyarakat piye?” kata Berty.

4. PDP meninggal belum diswab bisa diotopsi untuk menegakkan diagnosis

Belum Dua Kali Swab, PDP Meninggal di DIY Dianggap Negatif COVID-19Ahli Biomolekuler, Ahmad Rusdan. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Bagi peneliti biomolekuler seperti Ahmad, semestinya ada upaya pemeriksaan secara agresif dari pihak rumah sakit untuk memastikan status pasien. Upaya itu dilakukan agar tak terjadi ketidakakuratan data PDP meninggal yang baru diswab sekali maupun yang tak sempat dilakukan swab.

“Kalau dokter secara klinis yakin pasien itu meninggal karena COVID-19, berarti gak boleh nyerah. Harus ambil sampel dari sumber lain,” kata Ahmad.

Mengingat data-data status PDP tersebut juga dipergunakan untuk pertimbangan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan. Seperti pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga new normal.

“Kalau disebut banyak data negatif, ya sudah kami new normal nih. Begitu dibuka, jreng! Ternyata data (positif) melonjak. Ada klaster baru,” kata Ahmad.

Sebaliknya, jika banyak data positif, sehingga pemerintah melakukan penutupan wilayah bisa berdampak pada persoalan ekonomi.

“Kan bisa saja positif palsu,” kata Ahmad.

Tindakan pemeriksaan agresif yang dilakukan pihak rumah sakit terhadap PDP meninggal tersebut ada sejumlah cara. Jika swab tak mungkin lagi dilakukan terhadap jenazah yang baru sekali swab atau pun belum diswab sama sekali, menurut Ahmad, bisa dilakukan dengan otopsi jenazah.

“Ambil sampelnya dengan memotong bagian thorax sedikit. Hasil uji laboratorium biasanya positif,” kata Ahmad.

Sejumlah negara, sepeti Jerman dan Amerika Serikat sudah melakukan cara itu. Sementara kendala di Indonesia, sejumlah masyarakat masih menabukan otopsi. 

Baca Juga: Kisah Pemakaman Jenazah Bayi: Petinya Kecil, Tapi Itu Paling Berat

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya