Bagai Pungguk Rindukan Bulan, Bansos Bagi Transpuan Tak Kunjung Tiba 

Mengandalkan bantuan jejaring solidaritas selama pandemik

Yogyakarta, IDN Times – Pembatasan aktivitas yang dilakukan saat masa pandemik cOVID-19 disebut salah seorang transpuan, Shinta Ratri di Yogyakarta sebagai lokal lockdown.

Salon yang biasanya digunakan sebagai tempat kerja transpuan (sebagai sebutan lain dari waria) mulai ditutup. Pekerjaan yang biasanya dilakukan seperti rias pengantin pun banyak yang dibatalkan. 

“Pandemik sangat memberatkan transpuan karena makin banyak yang tak bisa bekerja. Benar-benar tak berdaya,” kata Ketua Pondok Pesantren Waria “Al Fattah” itu dalam diskusi online Siasat Transpuan Menghadapi Pagebluk Corona yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Kamis, 21 Mei lalu.

Informasi pemberian bantuan sosial berupa uang dari pemerintah pusat dan daerah sebesar RP600 ribu seperti numpang lewat saja. Tak satu pun transpuan yang menerima,  mereka terganjal dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

“Tak banyak transpuan punya KTP Yogyakarta. Yang Punya KTP Yogyakarta juga tak dapat, apalagi luar daerah,” kata Shinta. 

Jumlah transpuan yang terdata saat ini mencapai 136 orang, tetapi secara faktual mencapai 184 orang di DIY. Diperkirakan separuhnya tak mengantongi KTP. Bak pungguk merindukan bulan padahal kebutuhan pangan terus mendesak dipenuhi. 

“Yang sudah terdata saja bantuan amburadul. Salah sasaran. Kami bersyukur bisa cari jalan sendiri tidak mengandalkan pemerintah,” tukas Shinta.

Beruntung mereka punya jejaring luas melalui organisasi lokal hingga nasional yang membantu hidup transpuan. Akhirnya sebanyak 140 bingkisan sembako disalurkan untuk transpuan Yogyakarta dari jejaring di Jakarta. Nmaun sampai kapan transpuan bertahan hidup mengandalkan solidaritas di tengah pandemik yang tak pasti kapan usainya?

Baca Juga: Jerit Transpuan Saat Pandemik, Tak Bekerja dan Kesulitan Akses Bansos

1. Mempunyai KTP namun transpuan tak terdata sebagai penerima bantuan

Bagai Pungguk Rindukan Bulan, Bansos Bagi Transpuan Tak Kunjung Tiba Aktivis transpuan, Rulli Malay. Dokumentasi AJI Yogyakarta

Upaya pengadaan KTP untuk transpuan di Yogyakarta sudah pernah dilakukan. Sebelum tahun 2018 pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta sudah memberi lampu hijau untuk melakukan pendataan transpuan yang belum ber-KTP.

“Itu setelah kami audiensi,” kata Rulli Malay dari Waria Crisis Centre di Yogyakarta.

Namun hingga satu tahun berlalu kabar tindak lanjut proses pemberian KTP belum terdengar. Mereka pun menanyakan dari tingkat kelurahan hingga kecamatan. Jawaban mereka sama, tak ada pendataan terhadap transpuan yang sudah lama berdomisili di Yogyakarta.

“Alasannya dari mereka karena tak punya identitas awal,” kata Rulli.

Sementara 15 transpuan yang berdomisili di Kabupaten Sleman sudah mengantongi KTP dan Kartu Keluarga sejak 2015. Lewat kebijakan pemda setempat, mereka mendapatkan kemudahan. Namun itu bukan akhir masalah bagi transpuan yang sudah memiliki KTP. Pandemik COVID-19 telah menguji ‘ketidaksaktian’ KTP yang mereka miliki, hingga saat ini tak satu pun transpuan yang ber-KTP Sleman terdata sebagai penerima bantuan pemerintah.

“Nyatanya transpuan yang mempunyai KTP Sleman hidup miskin, tinggal di kos juga tak terdata. Apa guna kami capek-capek mengisi (formulir) sensus penduduk kalau tak dapat KTP? Kalau gitu gak perlu ada KTP transpuan karena tak ada gunanya,” tukas Rulli kesal.

2. Transpuan diminta mengajukan proposal pengurusan KTP

Bagai Pungguk Rindukan Bulan, Bansos Bagi Transpuan Tak Kunjung Tiba Ilustrasi e-KTP. IDN Times/Asrhawi Muin

Staf Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Korban Penyalahgunaan NAPZA, Korban Tindak Kekerasan, dan Korban Perdagangan Orang Dinas Sosial DIY, Ismi Listiyani membenarkan warga yang tidak mempunyai KTP tak bisa mengakses bantuan sosial.Tidak hanya transpuan yang mengalaminya namun juga gelandangan dan pengemis.

Menurut Ismi, audiensi dengan Gubernur DIY sudah pernah dilakukan dengan sejumlah komunitas transpuan, seperti Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya) dan Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo) pada Agustus 2019 lalu. Hasil pertemuan saat itu adalah perlu wadah untuk mendata transpuan yang tak memiliki KTP, lantaran keberadaan transpuan tersebar di beberapa daerah.

Hanya saja, menurut Ismi komunitas transpuan belum menindaklanjuti rekomendasi itu dengan mengajukan proposal.

“Bikin saja program dengan output yang jelas, Gubernur sudah welcome,” kata Ismi.

Di sisi lain, dinas sosial belum mempunyai program yang menyasar transpuan terdampak COVID-19. Saat ini aasih fokus kepada rehabilitasi orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di camp assessment dan shelter. Namun Ismi mencoba memberikan bantuan.  

“Kalau warga yang punya KTP bisa didata di RT sampai kabupaten. Kalau gak dapat mestinya diadukan. Jika belum terima bantuan bisa konfirmasi kepada kami,” imbuh Ismi.

3. Memberi bantuan adalah kewajiban negara bukan berdasar KTP

Bagai Pungguk Rindukan Bulan, Bansos Bagi Transpuan Tak Kunjung Tiba (Ilustrasi bantuan uang tunai) Dok. IDN Times

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadli menyatakan mesti ada respon cepat dan strategi penanganan masalah kesehatan, sosial, dan pangan untuk kelompok paling rentan dan miskin dari Pemda DIY termasuk di antaranya kepada transpuan.

“Tak punya KTP tak bisa jadi alasan pemerintah untuk tidak memberi bantuan pada transpuan,” kata Yogi menegaskan.

Menurutnya, program bantuan pemerintah tak berpijak pada formalitas melainkan hal krusial di mana akses mendapatkan kesehatan dan pangan yang layak menjadi hak bagi siapa pun warga negara Indonesia.

“Karena itu kebutuhan dasar maka harus diperlakukan secara adil dan setara,” kata Yogi.

 

4. Pemerintah daerah terlambat lakukan antisipasi

Bagai Pungguk Rindukan Bulan, Bansos Bagi Transpuan Tak Kunjung Tiba (Ilustrasi lockdown) IDN Times/M. Tarmizi Murdianto

Persoalannya, lanjut Yogi carut marut pendataan serta bantuan yang tak merata atau salah sasaran bukanlah berdiri sendiri. Ada kecenderungan sikap acuh tak acuh dari pemerintah terhadap pandemik yang menjadi hulu persoalan.

Alih-alih mengambil langkah-langkah antisipatif agar virus tak menyebar, pemerintah DIY malah mengeluarkan narasi yang dianggap menyepelekan kepada publik. Antara lain Yogyakarta aman dan siap dikunjungi wisatawan, tak ada status kejadian luar biasa (KLB) sebelum pasien positif COVID-19 mencapai tujuh orang, dan tak mengajukan usulan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga sekarang.

“Bukan lockdown namun Gubernur DIY malah mengeluarkan statemen untuk calmdown,” kata Yogi.

Pada 20 Maret 2020, status tanggap darurat bencana non alam baru ditetapkan pemerintah DIY. Usulan skema bantuan sosial baru bergulir 2 April 2020 bagi 19 ribu kepala keluarga. Pada 14 April 2020, Gubernur DIY baru mewacanakan anggaran Rp246 miliar untuk kesehatan, ekonomi, dan jaring pengaman sosial. Bantuan Rp600 ribu baru cair sekitar sepekan lalu, sementara perekonomian masyarakat rentan sudah mengalami goncangan sejak tanggap darurat ditetapkan.

“Terus rentang waktu sejak tanggap darurat hingga pencairan bantuan, tanggung jawab pemerintah DIY soal pangan bagaimana?” tanya Yogi.

5. Memberitakan transpuan terdampak pandemik dengan kacamata HAM

Bagai Pungguk Rindukan Bulan, Bansos Bagi Transpuan Tak Kunjung Tiba Ketua AJI Yogyakarta Shinta Maharani. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sementara nasib kelompok rentan terdampak pandemi COVID-19, seperti transpuan nyaris tak nyaring dalam pemberitaan media massa. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta Shinta Maharani mengatakan media massa lebih sering mengekspos jumlah angka orang yang terinfeksi virus corona dan yang meninggal.

“Data-data itu penting tapi tak cukup. Penting bagi jurnalis melihat juga kelompok rentan,” kata Shinta.

Shinta memaparkan terdapat empat alasan transpuan menjadi kelompok rentan yang termarjinalkan selama pandemik. Pertama, transpuan sebagian besar tidak memiliki KTP sebagai syarat administrasi penerima bantuan sosial. Kedua, transpuan tidak memiliki KTP karena identitas gendernya. Sebagian ditolak keluarga karena identitas gender. Saat mereka meninggalkan rumah tanpa berbekal kelengkapan administrasi untuk mengurus KTP di tempat baru. Ketiga, transpuan kehilangan pekerjaan selama pandemi. Keempat, dsikriminasi terhadap transpuan karena belum semua warga Indonesia menerima keberadaannya.

“Jurnalis perlu meletakkan perspektif hak asasi manusia dalam memberitakan transpuan. Tugas jurnalis juga untuk memastikan negara memenuhi kewajibannya dan menjamin hak-hak ekonomi, sosial, budaya, serta sipil dan politiknya, tanpa ada diskriminatif," beber Shinta.  

Baca Juga: Kisah Mahasiswa Rantau: Tidak Bisa Mudik Hingga Kehabisan Uang

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya