Masih Dianggap Aib, Kasus KDRT Sering Ditutup Rapat-rapat
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kulon Progo, IDN Times - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih kerap dipandang sebagai aib, sehingga korban dan keluarga memilih menutupnya rapat-rapat. Padahal, menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (UWM), Laili Nur Anisah, hal tersebut tidak menyelesaikan masalah.
“Masyarakat perlu memiliki kesadaran terhadap pentingnya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga, terlebih perangkat desa yang menjadi rujukan dalam menyelesaian masalah untuk warganya,” ungkapnya, Selasa (14/6/2022) dilansir laman resmi UWM.
Baca Juga: Jogja Gelud Day, Kompetisi Olahraga Memutus Kekerasan Jalanan
1. Kasus KDRT di DIY mencapai 700 per tahun
Laili mengatakan, berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), jumlah kasus KDRT mencapai 700 kasus setiap tahun. Namun, ia memperkirakan jumlah aslinya melebihi itu.
“Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga masih banyak terjadi di DIY, tetapi para korban tidak melaporkan ke aparat,” terangnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, lanjut Laili, ada empat bentuk KDRT, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
“Dari data kekerasan rumah tangga di Yogyakarta, kasus terbanyak kekerasan penelantaran rumah tangga dan kekerasan fisik,” paparnya.
2. Disosialisasikan ke masyarakat dan perangkat desa
Laili mengungkapkan, bentuk-bentuk kekerasan domestik tersebut disosialisasikan dan didiskusikan dengan warga dalam pengabdian masyarakat di Balai Desa Kalurahan Giripurwo, Kapanewon Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, pada 9 Juni 2022 lalu.
Sosialisasi tersebut turut dihadiri sejumlah perangkat desa Kepala Desa, Carik, Jagabaya, Perwakilan Badan Permusyawaratan Desa, Dukuh, hingga anggota PKK.
Dalam dialog tersebut, ia menyebutkan bahwa korban, keluarga, serta perangkat desa perlu sepakat bahwa KDRT merupakan ranah publik. Hal tersebut turut diperkuat dalam UU Nomor 23 Tahun 2004.
3. Korban masih kerap merahasiakan kasus KDRT
Menurut Laili, penanganan kasus terkendala para korban dan keluarga yang tak melaporkan masalahnya kepada publik atau penegak hukum. Sebab, masih ada pandangan bahwa hal tersebut merupakan aib yang mesti ditutupi.
“Kasus kekerasan rumah tangga dikategorikan wilayah publik didasarkan adanya perundangan yang mengatur tentang ancaman dan sanksi pidana penjara 5 tahun ke atas untuk kekerasan fisik, 3 tahun ke atas untuk kekerasan psikis, 5 tahun ke atas untuk kekerasan seksual dan 3 tahun ke atas untuk penelataran rumah tangga,” paparnya.
Ia pun berharap, warga dan perangkat desa Kalurahan Giripurwo turut berkomitmen untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan domestik dan berusaha menangani secepatnya apabila ditemukan kasus KDRT di wilayahnya.
Baca Juga: Rektor: Banyak Pihak Sayangkan UMY Buka Kasus Kekerasan Seksual