DBD Jadi Ancaman Berbahaya di Tengah Fokus Penanganan Pandemik COVID

Dalam sebulan, kasus DBD di Indonesia meningkat 93 persen

Yogyakarta, IDN Times - Di tengah pandemik COVID-19 yang sedang merebak, ada satu lagi penyakit menular lain yang tidak kalah berbahaya dan harus diwaspadai, yaitu demam berdarah dengue (DBD).

Menurut data dari Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ) Kementerian Kesehatan, total kasus DBD di Indonesia hingga 28 Juni 2021 mencapai angka 19.156 kasus, atau meningkat 93 persen kasus dibanding jumlah kasus pada 30 Mei yang sebanyak 9.903 kasus. Selain itu, jumlah kematian meningkat menjadi 160 kasus dari 98 kasus pada periode yang sama.

Baca Juga: Kurangi Kasus DBD, Telur Nyamuk Berwolbachia Disebar di Kampus UGM

1. Program pencegahan DBD tak lagi rutin dilakukan

DBD Jadi Ancaman Berbahaya di Tengah Fokus Penanganan Pandemik COVIDdr. Riris Andono Ahmad. (dok. Istimewa)

Menurut Direktur Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), dr. Riris Andono Ahmad, berkurangnya layanan kasus DBD disebabkan karena sektor kesehatan tengah berfokus pada penanganan COVID-19. 

Dulu, kata Riris, terdapat program satu rumah satu juru pemantau jentik (jumantik) dari puskesmas. Namun, karena tenaga di puskesmas sibuk menangani COVID-19, program ini menjadi tidak rutin lagi. Masyarakat pun menjadi kurang waspada untuk melakukan 3M (menguras, menutup dan mengubur) untuk mencegah berkembang biaknya jenitk nyamuk.

“Padahal itu menjadi kunci penting, mau tidak mau mestinya masyarakat tetap harus  melakukan," katanya di Kampus UGM, 5 Agustus 2021, dilansir laman ugm.ac.id.

2. Kasus meningkat pada akhir musim penghujan

DBD Jadi Ancaman Berbahaya di Tengah Fokus Penanganan Pandemik COVIDNyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopticus pembawa virus dengue. pixabay.com/Pexels

Riris mengatakan, data kasus DBD umumnya meningkat pada awal dan akhir musim penghujan, khususnya pada akhir musim penghujan di mana curah hujan tidak deras namun terdapat genangan air di mana-mana.

“Secara umum nyamuk Aedes Aegypti senang tinggal di air yang relatif jernih, utamanya di bak-bak mandi di rumah. Karenanya sepanjang tahun nyamuk ini selalu ada sehingga penularannya juga sepanjang tahun, tetapi peningkatan paling tajam di awal dan akhir musim penghujan," terangnya.

Ia pun menegaskan, musim kemarau basah yang terjadi di Indonesia juga patut diwaspadai karena dapat meningkatkan kemungkinan penularan DBD. Apalagi, sejak Maret hingga sekarang hujan masih sering turun dan bisa menimbulkan banyak genangan air. 

3. Ciri-ciri demam tinggi mirip COVID-19

DBD Jadi Ancaman Berbahaya di Tengah Fokus Penanganan Pandemik COVIDIlustrasi pasien DBD (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)

Riris juga menyebutkan DBD dan COVID-19 sama-sama memiliki ciri berupa panas tinggi. Oleh sebab itu, diagnosis sangat penting agar pasien bisa mendapatkan perawatan yang tepat.

“Jadi, sebaiknya jika panas entah COVID atau DBD segera ke fasilitas kesehatan karena seperti di Jogja dan sekitarnya masih tinggi, utamanya perbatasan Jogja, Bantul dan Sleman cukup tinggi jadi perlu waspada juga untuk DBD," terangnya.

Untuk wilayah Yogyakarta, kata Riris, pasien yang terindikasi DBD umumnya masih dapat tertangani. Diagnosis rapid tes membantu membedakan antara gejala COVID dan DBD. Untuk gejala berat pun bisa segera dirujuk ke rumah sakit. 

“Untuk masyarakat yang penting lakukan 3M plus, yaitu menguras, menutup dan mengubur yang memungkinkan menjadi sarang nyamuk. Mengelola sampah dengan baik jangan sampai berserakan dan syukur pelihara ikan untuk membantu mengatasi jentik nyamuk," pungkasnya.

Baca Juga: Tekan Kasus DBD, Sleman Sebar 22 Ribu Ember Nyamuk Wolbachia

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya