Mahasiswa Jogja, Bekerja hingga Jual Barang demi Bayar UKT

Besaran UKT tidak sejalan dengan kemampuan mahasiswa 

Yogyakarta, IDN Times - Dari waktu ke waktu sejumlah masalah terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT) masih saja muncul. Berbagai upaya kerap dilakukan mahasiswa untuk bisa membayar UKT.

Permasalahan UKT sendiri kerap muncul, salah satunya karena tidak ada kesesuaian antara kemampuan mahasiswa dengan beban UKT yang harus dibayar. Berdasarkan survei di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang dilakukan UNY Bergerak, menunjukkan hampir 100 persen mahasiswa yang disurvei merasa keberatan dengan besaran UKT yang harus mereka bayarkan.

1. Dari bekerja hingga menjual barang

Mahasiswa Jogja, Bekerja hingga Jual Barang demi Bayar UKTilustrasi pencari kerja (IDN Times/Aditya Pratama)

Survei dilakukan dengan menyebar angket online melalui Google Form kepada mahasiswa aktif UNY jenjang S1 dan D4 tahun 2022. Metode yang  digunakan adalah sampel acak, dengan sampling error sebanyak 3,1 persen. Jumlah mahasiswa yang mengisi sebanyak 1.045 orang.

Anggota Tim Kajian UNY Bergerak, Mushab, mengatakan dari hasil pengaduan yang ada 97,80 persen atau sebanyak 1.020 mahasiswa UNY yang merasa keberatan akan besaran UKT yang mereka peroleh. Dari survei yang dihimpun, sebanyak 50,05 persen harus bekerja untuk membayar UKT.

"Sebanyak 24,11 persen harus berhutang, dan sebanyak 12,82 persen harus menjual barang yang mereka miliki untuk tetap lanjut kuliah. Adapun sebagian lainnya  mengupayakan dengan cara lain, serta sisanya masih belum tahu upaya apa yang harus ditempuh untuk dapat membayar UKT," kata Mushab, mengutip hasil survei, Senin (16/1/2023).

Baca Juga: Kisah Pilu Mahasiswa UNY Berjuang Kuliah hingga Tutup Usia

2. Besaran UKT tidak sesuai dengan kemampuan

Mahasiswa Jogja, Bekerja hingga Jual Barang demi Bayar UKTilustrasi uang (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Peneliti Pusat Studi Pendidikan Tinggi, Panji Mulkillah Ahmad, juga menyebutkan permasalahan muncul disebabkan UKT tidak sesuai dengan kemampuan mahasiswa. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal.

"Satu sisi, pemerintah hanya membuat aturan secara umum tentang UKT, namun tidak benar-benar memastikan apakah mahasiswa atau orangtua sanggup secara ekonomi," ujar Panji.

Panji melihat setiap kampus berbeda-beda dalam penentuan nominal dan golongan UKT kepada mahasiswa, tidak ada standarnya. Ada kampus yang mensyaratkan berbagai hal untuk keringanan UKT, namun ada juga yang tidak menerapkan banyak syarat.

"Ada kampus yang mewajibkan syarat-syarat tertentu untuk melakukan keringanan UKT seperti surat kematian orang tua, surat PHK, dan sebagainya, namun ada juga kampus yang tidak mensyaratkan itu. Ada kampus yang melibatkan mahasiswa dalam menentukan nominal UKT, ada juga yang tidak," ujar Panji.

3. Mahasiswa masih menerima sejumlah beban

Mahasiswa Jogja, Bekerja hingga Jual Barang demi Bayar UKTIlustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Pria yang menulis buku 'Kuliah Kok Mahal' tersebut dalam bukunya juga menyebutkan banyak ketentuan peraturan dan pelaksanaan yang kontradiktif satu sama lain, dalam masalah UKT ini. "Salah satu yang paling pelik adalah tujuan UKT itu sendiri, yang bermaksud menyederhanakan cara pembayaran uang kuliah, ternyata tidak tercapai," ungkap Panji.

Dirinya menyebut mahasiswa masih dibebankan biaya yang tidak seharusnya mereka danai. Hal ini membuat UKT menjadi tambah mahal. Salah satunya dalam praktiknya Kemendikbud masih menganggap uang gedung sebagai komponen di dalam UKT yang mesti dibayarkan mahasiswa.

"Padahal uang gedung bukanlah bagian dari biaya operasional, melainkan investasi. Dalam UU Dikti telah dijelaskan mahasiswa hanya boleh dibebankan biaya operasional," tulisnya.

Baca Juga: UNY Bergerak: Besaran UKT Mencekik Mahasiswa Bertahun-Tahun

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya