PSHK UII Soroti Sistem Pengampuan di Indonesia Bagi Difabel  

Difabel terkendala saat berhadapan hukum

Yogyakarta, IDN Times - Sistem pengampuan di Indonesia perlu diperbaiki untuk memenuhi hak konstitusional penyandang difabel saat berhadapan dengan hukum.
Pernyataan itu disampaikan Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Anang Zubaidy.

"Perlu upaya yang serius dan sistemik untuk melakukan pembaruan paradigma sistem pengampuan di Indonesia," ujar Anang Zubaidy di Yogyakarta, Senin (29/8/2022).

1. Aturan saat ini belum berpihak pada penyandang difabel

PSHK UII Soroti Sistem Pengampuan di Indonesia Bagi Difabel  Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Anang Zubaidy / Antara

Anang menambahkan sistem pengampuan di Indonesia saat ini merujuk pada ketentuan Pasal 433 KUH Perdata. Hadirnya pasal tersebut, ujar dia, menciptakan suatu kondisi di mana setiap orang yang dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap harus diampu sekalipun mereka cakap menggunakan pikirannya.

Implementasi pasal itu, menurutnya sangat berpotensi menyebabkan "kematian keperdataan" bagi penyandang difabel mental sekaligus menyebabkan berbagai kendala bagi mereka yang berhadapan dengan hukum.

2. Sistem pengampuan saat ini berdampak hilangnya kecakapan seseorang

PSHK UII Soroti Sistem Pengampuan di Indonesia Bagi Difabel  Ilustrasi penyandang disabilitas. (Dok. IDN Times).

Menurut Anang, sistem pengampuan yang ada saat ini berdampak pada hilangnya kecakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum, khususnya untuk menggunakan hak-hak keperdataannya.

"Dalam konteks tersebut, salah satu kelompok difabel yang kerap luput dalam pertimbangan kebijakan adalah penyandang disabilitas mental," ujar dia dikutip Antara.
Karena dinilai memiliki kapasitas mental yang tidak sempurna atau sedang dalam gangguan, mental difabel kemudian dianggap tidak memiliki kapasitas hukum.

"Jaminan hak-hak penyandang disabilitas mental tidak dapat dihindarkan dari berbagai problematika yang sistemik dan merugikan hak asasi mereka. Mulai dari kerentanan terhadap tindakan-tindakan yang diskriminatif lantaran anggapan ketidakcakapan-nya yang berada dalam pengampuan," katanya.

Baca Juga: PSHK UII: Mural Berisi Kritik Tak Boleh Sembarangan Dihapus

3. Anang desak revisi Pasal 433 KUH Perdata

PSHK UII Soroti Sistem Pengampuan di Indonesia Bagi Difabel  Ilustrasi hukum (Pixabay)

Anang menjelaskan diperlukan sistem pengampuan yang didasarkan pada paradigma "supported decision making" atau sistem dukungan dalam pengambilan keputusan bukan justru "subtituted decision making" atau sistem pengganti dalam pengambilan keputusan.

Dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa hak untuk diakui di hadapan hukum merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. "Oleh karenanya, seharusnya setiap orang diperlakukan sama dan diakui pribadinya di hadapan hukum," katanya.

Selain itu, ia juga mendorong dirumuskan kembali atau merevisi ketentuan dalam Pasal 433 KUH Perdata berdasarkan pada kebutuhan difabel mental dan perkembangan ilmu kesehatan terkini.

Baca Juga: 5 Kafe di Sekitar Kampus UII, Cocok Buat Nugas!

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya