Minimnya Data Terkait Demensia di Indonesia

ODD diprediksi jauh lebih banyak dari yang kita kira

Sleman, IDN Times - Demensia adalah istilah untuk menggambarkan penurunan fungsi pikir yang bisa disebabkan oleh berbagai macam penyakit, salah satunya penyakit Alzheimer. Masyarakat awam sering menyederhanakan kondisi demensia dengan sebutan "lupa atau pikun". Padahal, demensia tidak melulu soal lupa karena juga mempengaruhi kemandirian, produktivitas hingga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi.

Mengingat minimnya data yang tersedia, jumlah Orang Dengan Demensia (ODD) di Indonesia diprediksi jauh lebih besar dari perkiraan. Selama ini, Kementerian Kesehatan mengatakan jumlah ODD di Indonesia sebanyak 1,2 juta pada 2015 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 4 juta pada 2050, seperti termaktub dalam rilis Hari Lanjut Usia 2021.

Angka di atas mengacu pada World Alzheimer Report 2015 dan Dementia in the Asia Pacific yang diterbitkan oleh Alzheimer's Disease International. Pada 2022, laporan ini sudah berusia tujuh tahun dan masih sering dijadikan acuan.

1. Indonesia belum memiliki data aktual Orang Dengan Demensia

Kondisi ini disebabkan masih minimnya data aktual yang dimiliki Indonesia, sementara data yang tersedia saat ini sifatnya masih prediksi.

"Di World Alzheimer Report 2015, itu diperkirakan 1,2 juta orang yang mengalami demensia di Indonesia dan ini diperkirakan akan naik sampai hampir 4 juta orang pada tahun 2050. Tapi angka ini prediksi menghitung berdasarkan prevalensi demensia di dunia, terus dikaitkan dengan berapa jumlah lansia di Indonesia," ujar dr Tara P Sani, M.D, Msc (Dementia), anggota Divisi Edukasi dan Sains di Alzheimer Indonesia (ALZI), sebuah organisasi non-profit yang memperhatikan kualitas hidup ODD.

Pada penelitian di Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditemukan bahwa angka prevalensi di sana lebih tinggi dari angka global. "Di Indonesia angkanya selalu di atas 20 persen. Di Jogja 20,1 persen, Bali 32,6 persen," ungkapnya.

Sementara riset kerja sama antara Universitas Padjadjaran, Universitas Kristen Maranatha, dan Universitas Achmad Yani menemukan angka prevalensi sebesar 29,15 persen di Jatinangor, Jawa Barat.

Riset yang dilakukan Strengthening Responses to Dementia in Developing Countries (STRiDE) menunjukkan angka prevalensi gabungan sebesar 23,9 persen di provinsi DKI Jakarta dan Sumatra Utara. Hasil lengkap per provinsi dari riset yang melibatkan tujuh negara berpendapatan rendah dan menengah ini akan dipublikasi secara penuh.

"Di tingkat global, biasanya [prevalensi] di atas 65 tahun adalah 1 dari 10 orang atau 10 persen. Di Indonesia, semuanya di atas 20 persen, bisa jadi angka real orang yang mengalami demensia di Indonesia lebih tinggi dari prediksi yang 1,2 juta itu".

Baca Juga: Mirip, Ini Perbedaan Demensia dan Penyakit Alzheimer 

2. Kenapa data demensia sangat minim?

Minimnya Data Terkait Demensia di IndonesiaDr Tara P Sani menjelaskan prevalensi demensia di Indonesia melalui conference video Zoom (Tangkapan Layar. IDN Times/Yogie Fadila)

Perhatian terhadap demensia dan alzheimer relatif baru meningkat di Indonesia jika dibanding penyakit kronis lain seperti diabetes dan hipertensi. Menurut dr Tara, butuh waktu sebelum data memadai soal demensia jadi tersedia. "Eropa pun baru memberi perhatian lebih sejak 10-15 tahun ke belakang," ujarnya.

Ada pula hambatan sumber daya manusia (SDM), di mana belum semua tenaga kesehatan mahir menggunakan instrumen untuk mendiagnosis. Berbeda dengan hipertensi yang bisa diukur dengan tensimeter atau diabetes dengan tes gula darah, demensia membutuhkan pemeriksaan kognitif. Pasien akan diberi serangkaian pertanyaan. 

Pertanyaan ini juga dipengaruhi oleh bahasa dan budaya. Dengan banyaknya bahasa dan kebudayaan yang ada di negara ini,  dibutuhkan penelitian untuk mengadaptasi instrumen yang ada ke berbagai bahasa dan budaya daerah.

"Ketika kita masuk ke daerah-daerah terpencil itu masih banyak lansia yang hanya fasih bahasa daerah jadi sulit untuk dites," kata Tara.

Kebiasaan masyarakat yang memaklumi pikun pada lanjut usia juga menjadi salah satu alasan kenapa data ODD tidak tercatat. Selama ini, demensia tidak dianggap sebagai prioritas. Penyebabnya, karena demensia dilihat sebagai penyakit yang tidak mematikan, seperti penyakit jantung.

Padahal, secara tidak langsung demensia juga mempengaruhi kehidupan pasien dan pendampingnya juga. ODD akan sangat bergantung pada bantuan keluarga, hal ini mempengaruhi produktivitas orang-orang di sekitarnya.

"Di sisi lain, orang dengan demensia akan lebih rentan kena berbagai penyakit. Yang tadinya mungkin bisa jadi kelihatannya sepele tapi sebetulnya juga ODD  bisa berdampak lebih luas, tidak hanya  kesehatan tapi juga sosial ekonomi," sambung dr Tara.

3. Pentingnya data dan studi mengenai demensia di Indonesia

Minimnya Data Terkait Demensia di IndonesiaIlustrasi Taman Lansia, Bandung (instagram.com/saputro_johans33)

Dalam wawancara dengan IDN Times melalui video conference Zoom, dr Tara, yang juga tergabung dalam STRiDE sebagai peneliti, menekankan betapa pentingnya ketersediaan data untuk menentukan arah kebijakan pemerintah dalam memperbaiki kualitas hidup ODD dan lansia secara general.

"Karena isu kesehatan di Indonesia bukan cuma demensia, tentunya banyak isu kesehatan lain. Jadi pemerintah perlu benar-benar bisa mengkalkulasi resources yang ada. Dengan adanya data per provinsi tentunya akan bisa membantu pemerintah merencanakan provinsi mana yang mungkin membutuhkan program penanggulangan yang lebih intensif," ujarnya

Dengan adanya data, pemerintah, melalui BPJS, bisa mengukur efektivitas perawatan yang selama ini diterima oleh pasien demensia. Contohnya, data soal akses ke fasilitas kesehatan yang dapat menunjukkan apakah pemanfaatannya sudah tepat sasaran. Atau data akses obat-obatan, apakah sudah menjangkau ODD di pedesaan.

Tidak hanya terkait penyakitnya, data sebenarnya bisa mengungkap jenis bantuan apa yang dibutuhkan oleh ODD dan caregiver-nya.

"Jangan-jangan keluarga bukan butuh support beli obat tapi butuh support berupa program Day Care Center atau tempat aktivitas lansia supaya keluarga bisa tetap kerja, gak harus jagain di rumah terus," kata dr Tara. "Itu semua butuh data".

Baca Juga: Curhat Anak Rawat Ibu Alzheimer di Bandar Lampung, Lupa Nama Cucu

Topik:

  • Yogie Fadila
  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya