Kisah Mahasiswa Yogyakarta yang Gugat Komersialisasi Pendidikan di MK

Pada 7 Mei, MK akan menggelar sidang lanjutan

IDN Times, Yogyakarta - Reza Aldo Agusta mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) mengajukan gugatan Undang-Undang Perdagangan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Reza mengaku saat mempelajari hukum dagang dia mulai menyadari ada yang rancu dari regulasi pendidikan tinggi di negara kita. Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (selanjutnya akan disebut sebagai UU Perdagangan) memasukkan pendidikan sebagai bagian dari jasa yang bisa dikomersialkan. 

"Saya merasa UU Perdagangan ini gak ideal, soalnya menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang dapat diperdagangkan. Artinya, pendidikan itu profit-oriented. Jadi sifatnya menguntungkan, bukan nirlaba," ungkap Reza dalam wawancara dengan IDN Times, Sabtu (27/4).

Menurutnya, pendidikan di Indonesia semestinya sudah jadi hak bagi semua warga negara, bukan warga negara yang mampu saja. Dari kegundahan ini dimulailah perjuangan Reza yang sejak Februari 2019 lalu mengajukan Uji Materi (judicial review) terhadap pasal dan ayat di UU Perdagangan tersebut ke MK.

Baca Juga: Ini Daftar 10 Universitas Terbaik di Asia, Kampus di Jogja Termasuk?

1. Berkaca dari pengalaman bertahun-tahun tidak bisa kuliah

Kisah Mahasiswa Yogyakarta yang Gugat Komersialisasi Pendidikan di MKIDN Times/Yogie Fadila

Pria berusia 25 tahun asal Magelang itu merasa beruntung. Di tengah perekonomian keluarganya yang kurang mampu, dia masih bisa mengenyam pendidikan tinggi di UAJY –berkat bantuan beasiswa– kurang lebih tujuh tahun selepas menamatkan SMA. Karena keterbatasan ekonomi, dia sempat bekerja sebagai buruh pabrik, dan hingga kini masih mengisi waktu kosongnya dengan menjadi pengemudi ojek daring. 

Berkaca dari pengalamannya bertahun-tahun tidak mampu kuliah karena kekurangan dana, Reza sadar ada banyak anak muda lain di Indonesia yang tak seberuntung dirinya yang menerima beasiswa penuh dari kampus. "Mungkin banyak juga orang-orang yang merasakan seperti saya. Seperti orang tua yang sulit menguliahkan anaknya karena keterbatasan biaya dan susah menjangkau akses [ke pendidikan tinggi]," katanya.

Sejak mengajukan uji materi, Reza sudah dua kali menghadiri sidang di MK. Baik pihak Reza maupun pemerintah sudah menghadirkan saksi ahli untuk memberikan pendapatannya dalam pengujian materi UU Perdagangan ini.

Reza dan tim kuasa hukum menghadirkan mantan Ketua Komnas HAM Prof. Hafidz Abbas dan Dr. Aan Eko Widiarto dari Universitas Brawijaya. Sementara, pemerintah menghadirkan saksi ahli Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia. Rencananya, dalam persidangan 7 Mei 2019 nanti, MK akan menghadirkan saksi ahli pula.

2. Undang-undang kontradiktif perlu penafsiran jelas

Kisah Mahasiswa Yogyakarta yang Gugat Komersialisasi Pendidikan di MKIDN Times/Yogie Fadila

Menurut Reza, ada kontradiksi regulasi antara UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan UU Pendidikan Tinggi (Dikti) –yang menyatakan pendidikan harus bersifat nirlaba– dengan UU Perdagangan yang memungkinkan pendidikan sebagai sektor jasa yang bisa diperdagangkan. 

"Saya meminta tafsiran. Jasa pendidikan yang tidak berprinsip nirlaba, yang tidak termasuk wadah pendidikan formal, non-formal, dan informal. Karena pendidikan formal, non-formal, dan informal sudah diatur dalam UU Sisdiknas dan UU Dikti, tapi UU Perdagangan mengaturnya kembali tanpa memberi definisi dan ruang lingkupnya," jawab Reza ketika ditanya tujuan uji materi yang sedang ditempuhnya.

Reza mengakui statusnya sebagai mahasiswa fakultas hukum membuat dirinya lebih paham UU dari sebelumnya – mata kuliah Hukum Dagang yang mempertemukan dia dengan UU Perdagangan. Meski begitu, dia memastikan dirinya akan tetap menyuarakan hal yang sama andai kata dia mempelajari ilmu selain hukum di bangku kuliah.

"Mungkin cara menyuarakannya tidak seperti ini, tapi saya mungkin akan tetap ikut demo nanti 2 Mei di Hari Pendidikan Nasional. Tapi karena saya mahasiswa fakultas hukum, saya punya hal lebih yang bisa dikasih," katanya.

3. "Saya gak mau apa yang saya rasakan terjadi kepada adik saya"

Kisah Mahasiswa Yogyakarta yang Gugat Komersialisasi Pendidikan di MKIDN Times/Yogie Fadila

Menjawab tudingan dirinya memiliki penyokong dana dalam proses uji materi UU ini, Reza tidak menampik bahwa akan banyak pertanyaan semacam itu. Namun dia memastikan dirinya dibantu secara sukarela, termasuk tim pengacaranya yang bekerja secara pro bono.

"Saya gak mungkin, sebagai orang yang gak punya [kekuatan finansial], meng-hire (menyewa–red) pengacara. Gak mungkin," imbuh Reza yang juga diamini oleh kuasa hukumnya Damian Agata.

Sebagai konteks, dia menjelaskan rutinitasnya sehari-hari. Setiap pagi dia menempuh perjalanan satu jam dari Magelang, Jawa Tengah ke Yogyakarta untuk mengikuti kuliah. Selesai kuliah, dia kembali ke Magelang untuk "narik" sebagai pengemudi ojek daring karena, sebagai ojek daring yang terdaftar di Magelang, order di kota tersebut lebih menguntungkan daripada di Yogyakarta.

Reza menargetkan dirinya untuk memperoleh pemasukan minimal Rp50 ribu per hari agar bisa menghidupi ibu dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA. "Saya gak mau apa yang saya rasakan terjadi kepada adik saya".

4. Atma Jaya tetap memberikan beasiswa ke Reza

Kisah Mahasiswa Yogyakarta yang Gugat Komersialisasi Pendidikan di MKIlustrasi wisuda - Pexels

Menjadi pemuda yang menghidupi keluarga sekaligus memperjuangkan uji materi di MK tentu tidak mudah. Namun, Reza mengaku mendapat sejumlah dukungan moral dari teman-teman dan sejumlah dosen di kampusnya. Menurut Reza, mereka akan menggelar acara diskusi terbuka selepas putusan MK nanti, apapun hasilnya.

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, sebagai pihak yang secara tidak langsung bisa terkena imbas dari uji materi ini, juga tidak pernah menghalang-halangi niat Reza.

"Dukungan resmi [dari UAJY] belum ada, tetapi mereka tidak mengintervensi. Tidak ada sama sekali," cerita Reza. Bahkan, dia masih menerima beasiswa penuh dari universitas, "Beasiswanya aman," selorohnya.

Perguruan Tinggi Swasta (PTS), menurut pengacara Damian Agata, dikhawatirkan punya potensi untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya berkat UU Perdagangan.

"Kebetulan, kalau untuk konteks perdagangan di bidang pendidikan, memang belum ada peraturan pemerintahnya. Makanya, ini sebenarnya upaya preventif atau pencegahan," kata Agata.

5. Optimistis MK akan memberi putusan yang berpihak pada pendidikan

Kisah Mahasiswa Yogyakarta yang Gugat Komersialisasi Pendidikan di MKANTARA FOTO/Galih Pradipta

Baik Reza maupun Agata sama-sama optimistis MK akan mengeluarkan putusan yang positif bagi mereka. Mengingat rekam jejak MK yang mereka anggap berpihak pada prinsip "pendidikan adalah hak untuk semua warga negara".

"Saya, sih, yakin MK bakal memutuskan yang terbaik untuk pendidikan," ucap Reza dengan percaya diri.

Agata menambahkan, "Apa yang diperjuangkan Reza ini bagus dan sesuai dengan konsep yang ada dalam UUD. Dan kalau kita melihat sejarah bagaimana MK memutus [perkara], MK itu memang sangat pro terhadap bagaimana pendidikan itu bisa mencerdaskan. Dan cukup anti terhadap upaya komersialisasi pendidikan".

Walaupun putusan akhir tinggal menunggu beberapa sidang lagi, Reza merasa perjuangannya tidak serta-merta selesai usai palu diketok. Sebab, tidak ada jaminan bahwa biaya pendidikan akan otomatis turun biarpun putusan MK berpihak kepada dirinya. 

"Saya akan terus memperjuangkan ini," ungkap Reza.

Usaha Reza dan tim kuasa hukumnya patut menjadi perhatian karena jika berhasil, uji materi ini akan mencegah pendidikan menjadi barang dagangan. 

Baca Juga: Antie Solaiman, Sosok Ibu Pendidikan di Tanah Papua

Topik:

  • Yogie Fadila
  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya