[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus Karhutla

Perjuangan panjang para pencari udara bersih

Jakarta, IDN Times - "Kami tidak takut, yang kami takutkan saat itu adalah kalah," ujar Arie Rompas, salah satu penggugat pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo terkait kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Kalimantan empat tahun silam. Arie mencoba menceritakan kembali ketika asap mengepung Kalimantan pada 2015.

Kepada IDN Times, Arie menuturkan kronologi kenapa akhirnya ia bersama teman-temannya memberanikan diri melawan pemerintah di pengadilan. Arie dkk menggugat Presiden, jajaran menteri, serta gubernur daerah yang terdampak karhutla. Butuh waktu tiga tahunan hingga putusan itu divonis di tingkat kasasi.

Presiden dkk dihukum Mahkamah Agung (MA) untuk memperbaiki regulasi terkait lingkungan agar kebakaran hutan tidak kembali terjadi.

Mengenakan kemeja abu-abu dan kacamata, ia mengulas balik peristiwa kebakaran hutan di Kalimantan Tengah.

Awal 2015, kebakaran hutan melanda beberapa provinsi di Indonesia. Kabut asap pun membuat sesak warga. Pernapasan mereka terganggu. Mereka merindukan udara segar saat itu. Hingga Oktober 2015, kabut asap akibat kebakaran hutan belum juga hilang.

Korban-korban semakin banyak berjatuhan. Arie dan kawan-kawan merasa pemerintah tidak hadir saat itu. Saat itu, rasanya warga sulit bernapas, bahkan sekali pun berada dalam ruangan dengan mesin pendingin.

Kalimantan Tengah menjadi provinsi terparah terdampak kebakaran hutan dan lahan. Arie bersama teman-temannya sudah sering menyuarakan soal penanggulangan kebakaran hutan, sebelum kebakaran hutan besar melanda. Namun pemerintah seolah tidak merespons.

"Sekitar bulan-bulan April, Maret, Juli, itu sudah mulai kebakaran dan kita sudah sering teriak-teriak, termasuk sering melaporkan perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran karena sejarah panjangnya itu berasal juga dari pembukaan lahan sawit," kata Arie, saat ditemui IDN Times pada Agustus lalu di Jakarta.

Kegelisahan itu akhirnya menggerakkan Arie dan teman-temannya untuk menggugat Presiden dan pembantunya. Bukan untuk mencari sensasi, uang, atau alasan politik. Mereka hanya ingin hak mereka mendapatkan udara bersih di Kalimantan, khususnya, dan menjamin kejadian itu tak sampai terulang lagi.

Menolak lupa kebakaran hutan dan lahan 2015, inilah perjalanan Arie dan teman-teman melawan pemerintah di pengadilan.

Baca Juga: 37 Orangutan di Kalimantan Tengah Terkena ISPA akibat Kebakaran Hutan 

1. Perjuangan Arie dan teman-temannya mengevakuasi warga, menyiapkan gugatan hukum, hingga dituduh menculik warga

[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus KarhutlaIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Di Kalimantan Tengah, khususnya Palangkaraya, menjadi wilayah yang rentan dengan kebakaran hutan dan lahan. Pasca-kebakaran hutan dan lahan besar pada 1997, pada era pemerintahan Presiden Soeharto, hampir setiap tahun selalu terjadi kebakaran hutan dan lahan.

Hingga memasuki 2015, Arie dan masyarakat Kalimantan sudah mengetahui akan terjadi kemarau panjang saat itu. Tetapi tak ada antisipasi dari pemerintah. Sekitar April, kebakaran hutan di Kalimantan mulai terjadi.

Arie dan masyarakat Kalimantan pun kerap berteriak kepada pemerintah untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan, namun tak ada respons. Mereka juga sering melaporkan perusahaan-perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan, tapi pemerintah lagi-lagi seakan tutup telinga.

Arie yang merupakan aktivitis lingkungan, bersama keenam temannya, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin, dan Mariaty, akhirnya memutuskan menggugat Jokowi dan beberapa menterinya serta kepala daerah terkait ke Pengadilan Negeri Palangkaraya melalui proses hukum citizen lawsuit

Gugatan Arie dan kawan-kawan dilayangkan kepada Presiden Jokowi dan jajaran menteri. Antara lain Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Menteri Kesehatan Nila Moeloek. Mereka juga menggugat Gubernur Kalimantan Tengah dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.

"Diproses itu (hendak menggugat), sangat crowded sekali ya, karena kami harus bekerja, asapnya banyak. Kemudian kami punya inisiatif, saya Direktur Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Kalteng (saat itu), kemudian kami ketemu sama kawan-kawan dan kita harus duduk melakukan sesuatu," ucap dia.

Kemudian mereka membentuk emergency respons karena pemerintah dianggap tidak hadir saat itu, dengan membentuk gerakan anti-asap. Gerakan ini terdiri dari lembaga-lembaga dan individu yang memang bersedia secara sukarela melakukan upaya advokasi kebakaran hutan dan lahan.

Saat itu, dengan kondisi asap yang masih mengepung Kalimantan Tengah, Arie dan teman-temannya mulai melakukan evakuasi, membentuk posko, membagikan masker, dan membuka bantuan kesehatan bagi masyarakat yang menjadi korban ganasnya asap kebakaran.

Sembari membantu mengevakuasi warga yang terdampak kebakaran hutan dan lahan, Arie dan teman-temannya tetap mencari solusi agar pemerintah bisa mendengarkan mereka. Akhirnya, mereka memutuskan melakukan langkah hukum.

Ketika itu, yang ada di benak mereka adalah tiga langkah hukum yang bisa diambil, mulai dari legal standing, class action, dan citizen lawsuit. Menimbang dari ketiga langkah hukum tersebut, akhirnya Arie dan teman-temannya memilih menggugat pemerintah melalui citizen lawsuit.

“Tiga-tiganya itu kami pikirkan mana yang terbaik untuk bisa dilakukan. Proses itu kemudian kami memilih ‘oke kita coba dengan citizen lawsuit’. Walau pun ini baru, tantangannya tinggi, kita akan coba karena kami lihat memang situasi 2015 itu pemerintah memang tidak ada, atau mengabaikan hak-hak kami sebagai warga negara untuk hidup sehat dan mendapatkan udara yang bersih,” papar Arie.

Setelah memberanikan diri menggugat pemerintah demi mendapatkan hak-hak mereka, Arie dan teman-temannya kemudian menyusun gugatan-gugatan yang akan diajukan ke pengadilan. Namun tidak mudah.

Di sisi lain, mereka harus menyiapkan materi-materi gugatan, di sisi lainnya, mereka harus mengevakuasi warga. Bahkan, niat baik mereka untuk mengevakuasi warga malah memunculkan tudingan bahwa mereka melakukan evakuasi ilegal hingga dituduh melakukan penculikan.

“Kami sempat evakuasi orang itu di Banjarmasin dan kemudian dituduh menculik orang, karena evakuasi itu menurut pemerintah hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Ilegal. Karena kami pikir pemerintah gak melakukan apa-apa, kenapa kita tidak? Sementara situasi menjadi sangat sulit. Supaya itu yang menjadi trigger kepada pemerintah, supaya berbuat sesuatu,” kenangnya sembari duduk menghadap laptopnya.

2. Arie dan teman-temannya tidak pernah takut menuntut siapa saja yang bertanggung jawab pada kebakaran hutan dan lahan, termasuk Presiden sekalipun

[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus Karhutla(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Lalu, kenapa Arie dan teman-teman memilih menggugat Presiden? Alasannya mereka melakukan berbasis konstitusi. Masyarakat memiliki hak atas lingkungan yang sehat, dan itu merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM).

Akibat kebakaran hutan dan lahan dahsyat yang melanda Kalimantan pada 2015, Arie dan teman-teman merasa hak itu tidak mereka dapatkan. Sebagai warga negara, seharusnya mereka dilindungi negara. Maka itu, mereka menuntut haknya melalui jalur hukum atau pengadilan.

“Dan yang kami tuntut juga bukan materi, semua soal perbaikan kebijakan. Sebenarnya yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan itu. Sebenarnya citizen lawsuit ini sudah pernah terjadi. Tidak ada yang salah dengan apa yang kami lakukan dan kami tidak pernah takut untuk menuntut siapa saja yang bertanggung jawab, termasuk Presiden sekali pun,” kata Juru Kampanye Greenpeace Indonesia ini.

Gugatan dilayangkan kepada Presiden, lantaran kepala negara adalah pemegang wewenang tertinggi pemerintahan. Dengan kata lain, pemerintah menjadi pihak yang paling berkewajiban dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.

“Dan juga ada perintah undang-undang yang menyebutkan mereka harus menerbitkan PP (Peraturan Pemerintah) di bawah Undang-Undang Lingkungan Hidup yang memang harus mereka lakukan. Jadi sebenarnya tuntutan kami adalah kalian tidak melakukan kewajiban kalian, undang-undang sudah mengatur ini, sehingga kalian harusnya melakukan a, b, c, d,” terangnya.

“Sehingga kami gak akan takut. Kami tidak takut, cuma yang kami khawatirkan adalah kami akan kalah, karena yang dilawan adalah pemerintah. Tapi karena semangat dan bukti-bukti yang kuat itu, membuat kami menang melawan pemerintah,” lanjut dia.

3. Arie dan teman-teman sempat negosiasi dengan pemerintah, untuk memenuhi tuntutan mereka sebelum masuk ke persidangan

[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus KarhutlaIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Sebelum persidangan, Arie dan teman-temannya sempat melakukan mediasi dengan pemerintah. Mereka telah menyiapkan bukti-bukti dan melakukan negosiasi dengan pemerintah untuk mendapatkan hak warga Kalimantan. Namun pemerintah menolaknya. Padahal, tuntutan Arie dan teman-temannya hanyalah agar pemerintah menjalankan kewajiban mereka melindungi warga negaranya.

“Kami sudah sampaikan ini tuntutan kami, seharusnya apa yang mereka lakukan. Mereka coba berdamai tapi kami bilang 'tolong kalian pastikan tuntutan-tuntutan ini yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan itu dimasukkan ke dalam rencana kerja tahunan lembaga mereka, dan itu harus ditandatangani oleh siapa yang paling bertanggung jawab'. Dan mereka tidak mau itu. Ketika itu berarti mediasinya gagal dan kami masuk ke persidangan,” tutur Arie.

Arie dan teman-teman tak habis pikir pemerintah menolak tuntutan mereka. Padahal, argumen pemerintah sebenarnya tidak kuat. “Mereka tidak menggunakan argumentasi yang kuat, jadi mereka bilang ini sulit dan segala macam. Tapi sebenarnya kalau mereka bisa tanda tangani itu, artinya kami punya kepastian hukum."

"Kalau kemudian hanya statement, ya kita sudah sering dikasih statement tapi tidak ada bukti hukum. Setelah itu, tidak ada kesepakatan, kami masuk ke gugatan,” lanjut Arie.

4. Arie dan teman-temannya menang di pengadilan

[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus KarhutlaDok.IDN Times/Biro Pers Kepresidenan

Dalam proses gugatan di pengadilan pada 2016, suasana yang terekam saat itu memang menarik bagi Arie dan teman-temannya. Mereka yang hadir di persidangan saat itu hampir semuanya korban asap kebakaran hutan dan lahan yang menyelimuti Kalimantan, sehingga mereka memahami gugatan yang dilayangkan Arie dan teman-temannya.

”Proses gugatannya itu karena di dalam ruang sidang merasakan cerita-cerita tahun 2015, sehingga memang suasananya spirit dalam persidangan itu menunjukkan pemerintah memang tidak hadir. Kami juga menghadirkan saksi yang memang dia survivor di lapangan, dia sudah dari 1997 terkena dampak dan keluarganya sakit,” kata Arie.

Dari pemerintah yang hadir pada persidangan yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian. Ketiga kementerian ini hanya sesekali hadir ke persidangan. Sementara, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional jarang hadir.

"Kalau dari Presiden mereka mewakilkan kepada pengacara negara, Kejaksaan Tinggi Palangkaraya,” ucap Arie.

Ketika sidang berlangsung, pemerintah mulai mengeluarkan argumen dan klarifikasi mereka, tentang apa yang telah dituntut Arie dan teman-temannya. Ketika itu, pemerintah hanya membela bahwa mereka telah hadir pasca-kebakaran hutan pada 2015.

“Sementara pemerintah hadir dalam sidang itu mengklarifikasi apa-apa yang telah mereka lakukan setelah 2015 itu. Jadi sebenarnya, 2015 ini kami bilang 'kalian gak ada 2015', tapi mereka bilang 'kami sudah ada pasca itu'. Jadi fakta-fakta itu tidak kuat,” ujar Arie.

Hakim menganggap argumen dari pemerintah tidak kuat, sehingga memutus Arie dan teman-temannya memenangkan pengadilan. Hampir seluruh tuntutannya dikabulkan pengadilan. Selain itu, Arie dan kawan-kawan juga mendapatkan bantuan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

“Karena hakim tinggal di situ, jadi dia merasakan juga dia sebagai korban. Dia ke kantor, dia sulit bernapas dan segala macam. Kami juga mendapatkan amicus curiae dari Komnas HAM yang menguatkan bahwa kehadiran negara tidak hadir waktu kejadian. Itu yang kemudian memperkuat putusan. Putusan itu dibacakan 2017, dan hampir semua tuntutan kami diterima, dimenangkan. Kemudian satu tuntutan saja yang tidak dikabulkan yaitu permohonan maaf Presiden,” Arie memaparkan.

[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus KarhutlaIDN Times

5. Arie dan teman-teman hanya dibantu lima pengacara pro bono

[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus KarhutlaDok.IDN Times/Istimewa

Perjuangan Arie dan teman-temannya rupanya tak berhenti sampai di situ. Pemerintah yang tak terima dengan kekalahan mereka, kemudian mengajukan banding di Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya.

Satu-satunya yang tak mengajukan banding yakni DPRD Kalimantan Tengah. Hanya DPRD Kalimantan Tengah lah yang sejak awal menerima putusan pengadilan. Kendati, pemerintah pusat dan Gubernur Kalimantan Tengah belum menerima keputusan tersebut dan masih tetap melawan Arie bersama teman-temannya.

”Tapi di pusat sama gubernurnya belum terima. Di PT juga mereka kalah, kasasi lagi-lagi mereka kalah. Artinya memang proses-proses itu dan kami yakin memang bukti-buktinya kuat,” ucap Arie.

Arie dan teman-teman yang sejak awal sudah pesimis, tak menyangka pada akhirnya mereka menang di pengadilan. Selama masa sidang, mereka mengaku tak memiliki biaya untuk menyewa pengacara, sehingga mereka hanya dibantu lima pengacara sukarela atau pro bono.

“Kami tidak punya biaya. Ada sekitar lima pengacara dan mereka tidak dibayar,” Arie menuturkan.

6. Pemerintah dianggap mengabaikan kebakaran hutan dan lahan di Palangkaraya

[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus Karhutla(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Arie dan teman-temannya menganggap perhatian Jokowi pada Kalimantan Tengah terlambat. Bantuan pemerintah ke Palangkaraya justru hadir setelah kedatangan Presiden, sehingga mereka merasa pemerintah abai dan muncul amarah pada pemerintah.

“Ini juga sebenarnya menyakitkan kami karena Palangkaraya itu seolah-olah diabaikan oleh pemerintah, dan pemerintah lebih fokus ke Riau di Sumatera Selatan, karena itu dekat dengan Singapura. Karena Singapura protesnya keras kan? Sementara di Palangkaraya yang tadi paling parah, itu ditinggalkan," kata dia.

Presiden baru datang ke Palangkaraya baru akhir Oktober, satu minggu sebelum hujan turun. Bahkan, Jokowi datang pertama kali itu ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang justru itu dampaknya tidak terlalu parah.

"Itu yang kemudian membuat kami marah, bahwa pemerintah tidak betul-betul memperhatikan masyarakat,” ujar Arie.

Walau pun Palangkaraya kemudian mendapatkan bantuan dari pemerintah, Arie dan teman-temannya tetap saja menganggap langkah itu tidak efektif. Pemerintah hadir ketika api sudah membesar dan masyarakat sudah banyak yang meghirup pekatnya asap kebakaran.

“BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) sudah datang melakukan hujan buatan dan penyiraman, tapi itu tidak efektif. Karena lagi-lagi apinya sudah membesar. Sejak awal Februari, Maret itu BNPB harusnya siap. Semua peralatan harusnya siap. Tapi kemudian itu diabaikan. Mereka datang ketika sudah besar, sehingga tidak efektif,” kata Arie.

Baca Juga: Akhirnya! Hujan Turun di Titik Karhutla di Riau

7. Pemerintah diminta sediakan rumah sakit khusus paru-paru

[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus KarhutlaIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Salah satu tuntutan Arie dan teman-teman adalah pemerintah harus membangun rumah sakit khusus paru-paru di wilayah-wilayah yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan.

Namun, di Palangkaraya tidak pernah ada rumah sakit khusus paru-paru, dan yang ada hanya rumah sakit umum biasa. Itu saja mereka tidak memiliki dokter spesialis paru yang cukup. Sementara, tiap tahun penyakit Infeksi Saluran Napas Atas (ISPA) terus bertambah.

“Kembali ke tuntutan tadi, karena tuntutan ini sudah harus menjadi kewajiban mereka. Apa yang salah dengan tuntutan kami? Kami tidak ada sama sekali menggugat material, misalnya ganti rugi berupa uang dan segala macam, tidak ada. Semuanya untuk kepentingan publik. Jadi ya lucu aja," ucap dia.

“Mungkin mereka tidak terima dengan pernyataan terbukti melawan hukum. Tapi ya dalam konteks hukum Indonesia, gugatan perdata ya memang diklasifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum. Perbuatan melanggar hukum yang dibuktikan di pengadilan bahwa mereka tidak hadir ketika kejadian 2015,” Arie menambahkan.

8. Arie dan teman-teman merasa heran dengan pemerintah yang terus mengajukan perlawanan hukum

[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus KarhutlaIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Seiring berjalannya waktu, banding yang diajukan pemerintah kembali ditolak. Kali ini, pemerintah seakan tak mau kalah melawan Arie dan teman-temannya. Pemerintah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) untuk memenangkan gugatan.

Namun, lagi-lagi keberuntungan belum berpihak pada pemerintah. Mereka harus menerima kenyataan bahwa MA juga menolak kasasi mereka. Putusan tersebut diketuk pada 16 Juli 2019. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah ternyata masih akan melawan Arie dan teman-temannya dengan cara Peninjauan Kembali (PK).

Arie pun heran dengan langkah pemerintah yang seolah tak mau disalahkan. Sejak awal mengajukan gugatan, Arie dan teman-temannya merasa tak ada yang salah dari gugatan itu. Sebab tuntutan mereka berkaitan dengan kewajiban pemerintah memberikan hak dan kebaikan untuk masyarakatnya.

“Apa yang salah dengan gugatan kami dan apa yang merugikan mereka? Itu pertanyaan penting bagi kami, karena tuntutan kami juga adalah tuntutan kewajiban yang memang mereka harus jalankan berdasarkan undang-undang. Salah satunya mendirikan rumah sakit paru, karena situasi di sana tidak ada dokter yang spesial soal paru, padahal di sana penyakit hampir tiap tahun itu kena kebakaran asap, ISPA itu sangat tinggi,” ucap dia.

9. Inilah yang harus dilakukan pemerintah dari tuntutan Arie dan kawan-kawan

[WANSUS] Penggugat Jokowi: Kami Tak Takut Presiden di Kasus KarhutlaANTARA FOTO/Satgas Karhutla Riau

Kalah dalam persidangan melawan Arie dan kawan-kawan, pemerintah harus menjalani hukuman. Pertama, menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, menerbitkan peraturan yang penting bagi pencegahan serta penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat.

Peraturan-peraturan tersebut antara lain, peraturan pemerintah (PP) tentang tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, peraturan pemerintah tentang baku mutu lingkungan yang meliputi baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien, serta baku mutu lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketiga, peraturan pemerintah tentang kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, peraturan pemerintah tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan pemerintah tentang analisis risiko lingkungan hidup, peraturan pemerintah tentang tata cara penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup, dan peraturan pemerintah tentang tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup.

Keempat, pemerintah juga harus membuat tim gabungan yang berfungsi meninjau ulang dan merevisi izin-izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang telah terbakar maupun belum terbakar, berdasarkan pemenuhan kriteria penerbitan izin serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.

Kemudian, pemerintah juga harus melakukan penegakan hukum lingkungan perdata, pidana, maupun administrasi atas perusahaan-perusahaan yang lahannya terjadi kebakaran. Selain itu, membuat roadmap atau peta jalan pencegahan dini, penanggulangan, serta pemulihan korban kebakaran hutan dan lahan juga pemulihan lingkungan.

Kemudian, tindakan-tindakan yang harus diambil pemerintah, pertama harus mendirikan rumah sakit khusus paru dan penyakit lain akibat pencemaran udara asap di Provinsi Kalimantan Tengah, yang dapat diakses gratis bagi korban asap.

Kedua, memerintahkan seluruh rumah sakit daerah yang berada di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, membebaskan biaya pengobatan bagi masyarakat yang terkena dampak kabut asap di provinsi tersebut.

Ketiga, membuat tempat evakuasi ruang bebas pencemaran guna antisipasi potensi kebakaran hutan dan lahan yang berakibat pencemaran udara asap. Keempat, menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan bekerja sama dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar.

Pemerintah juga harus membuat peta kerawanan kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian, membuat kebijakan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.

Tak hanya itu, pemerintah juga harus melakukan empat hal. Pertama, mengumumkan kepada publik lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya. Kedua,  mengembangkan sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.

Ketiga, mengumumkan dana jaminan lingkungan hidup dan dana penanggulangan yang berasal perusahaan-perusahaan yang lahannya terbakar. Keempat,  mengumumkan dana investasi pelestarian hutan dari perusahaan-perusahaan pemegang izin kehutanan.

Baca Juga: [FOTO] Sedih! Hewan dan Tanaman Ini Jadi Korban Kebakaran Hutan

Topik:

  • Rochmanudin
  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya