Di Jepang, Millennial yang Mau Nikah Diberi Insentif Rp84,9 Juta

Jepang ingin dorong tingkat kelahiran anak lebih tinggi

Jakarta, IDN Times - Bila di Indonesia pernikahan bisa terjadi setiap tahun, maka situasi bertolak belakang terjadi di Jepang. Lantaran angka pernikahan tergolong rendah di Negeri Sakura, pemerintah sampai harus mengeluarkan insentif bagi millennial yang bersedia menikah.

Dikutip dari laman Japan Times, Rabu, 23 September 2020, nominal insentif yang akan diberikan bagi pasangan yang baru menikah mencapai 600 ribu Yen atau setara Rp84,9 juta. Diharapkan dengan insentif itu, pasangan millennial yang baru menikah bisa menggunakannya untuk membayar sewa apartemen di Jepang.

Aturan itu mulai berlaku bagi pasangan muda-mudi yang menikah setelah April 2021.  Seorang sumber dari kantor kabinet menteri di Jepang mengatakan kebijakan ini ditempuh sebagai salah satu cara mengatasi rendahnya tingkat kelahiran bayi di Negeri Sakura. Menurut data yang dikutip Japan Times, pada 2019 lalu, angka kelahiran hanya mencapai 865 ribu. 

Apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan muda agar bisa memperoleh insentif tersebut?

1. Pasangan harus berusia di bawah 40 tahun saat menikah dan memiliki pendapatan bersama kurang dari Rp762 juta

Di Jepang, Millennial yang Mau Nikah Diberi Insentif Rp84,9 JutaIlustrasi menikah (IDN Times/Arief Rahmat)

Menurut laman Japan Times, untuk bisa memperoleh insentif dari pemerintah, maka pasangan itu harus berusia di bawah 34 tahun ketika menikah. Selain itu, pendapatan keduanya bila dijumlahkan kurang dari 5,4 juta Yen atau setara Rp762 juta. 

Namun, warga yang berusia di atas 39 tahun juga diizinkan untuk mendapatkan dana insentif tersebut. Dana insentif ini bersumber dua pertiganya dari pemerintah pusat Jepang. Sisanya ditopang dari dana daerah. Saat ini sudah ada 281 kota yang memberikan alokasi insentif 300 ribu Yen atau setara Rp42,5 juta kepada pasangan yang baru menikah. 

Sayangnya, meski kebijakan ini menarik, namun tidak semua wilayah menyiapkan dana itu. Hanya prefektur yang mengadopsi kebijakan "bantuan hidup dan pernikahan" saja yang mendapatkan alokasi dananya. 

Baca Juga: Jepang Alami Penurunan Populasi Terbesar 50 Tahun Terakhir

2. Anak muda di Jepang tidak lagi tertarik untuk menikah karena biaya hidupnya tinggi

Di Jepang, Millennial yang Mau Nikah Diberi Insentif Rp84,9 JutaIlustrasi cincin pernikahan (IDN Times/Prayugo Utomo)

Angka kelahiran yang rendah di Jepang tidak lepas dari kenyataann anak muda di sana tak lagi tertarik untuk menikah. Sebab, biaya hidup di Jepang tergolong tinggi. Menikah atau memiliki anak dianggap beban finansial, sehingga akhirnya banyak perempuan dan laki-laki memilih melajang. 

Hal itu terbukti dengan data yang dikutip oleh Japan Times pada Desember 2019 lalu, di mana anak muda Jepang berusia 20 hingga 49 tahun memilih tetap melajang. Menurut sosiolog dari Universitas Chuo, Tokyo, Masahiro Yamada mengatakan kebiasaan individu lajang yang tinggal dengan orang tua hingga akhirnya mereka menikah, bisa dimaknai kurangnya tekanan untuk mencari pendamping hidup. 

"Mereka pikir hanya menghabiskan waktu untuk membina hubungan dengan seseorang yang tak sesuai dengan persyaratan mereka," ungkap Masahiro. 

Temuan lainnya yang menarik diungkap oleh sosiolog dari Universitas Chukyo di Perfektur Aichi, Shigeki Matsuda. Ia melihat salah satu fenomena yang mendorong perempuan enggan menikah karena fenomena bernama "hypergamy."

"Perempuan Jepang cenderung mencari laki-laki dengan pekerjaan yang stabil dan memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan mereka," ungkap Shigeki. 

3. Lapangan pekerjaan di Jepang semakin sedikit

Di Jepang, Millennial yang Mau Nikah Diberi Insentif Rp84,9 JutaIlustrasi kehidupan lansia di Jepang (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Persoalan lainnya yang muncul di Jepang yaitu semakin menyempitnya lapangan pekerjaan. Banyak laki-laki di Negeri Sakura harus mengerjakan dua pekerjaan agar bisa bertahan hidup. Sedangkan, lelaki yang belum mapan cenderung tidak disukai oleh keluarga yang ingin anaknya menikah. 

Maka, pola pikir sebagian orang memilih agar melajang saja seumur hidupnya. Guru besar di Institut Teknologi Tokyo, Ryosuke Nishida, pernah mengatakan ketika diwawancarai The Atlantic, bahwa bila anak muda di Jepang lulus kuliah tetapi tak berhasil mendapat pekerjaan, maka orang-orang di sekitar tetap akan menganggapnya manusia gagal. 

Baca Juga: 5 Pelajaran dari Shimada, Wanita Pertama Perancang Mobil di Jepang

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya