Pakar UGM: UUD 1945 Tidak Ada Urgensi untuk Diamandemen
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sleman, IDN Times - Wacana amandemen UUD 1945 kembali menyeruak ke permukaan. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan Badan Pengkajian MPR, Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR, dan pakar/akademisi sedang menyelesaikan kajian soal Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang diharapkan selesai tahun depan.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, mengatakan amandemen bukanlah hal mendesak untuk dilakukan MPR RI saat.
Baca Juga: Ketua MPR Berharap Kajian Amandemen UUD 1945 Selesai Awal 2022
1. UUD 1945 bukan untuk kepentingan sesaat
Menurut Andi, jika amandemen dipaksakan dan sering dilakukan, negara tidak akan bisa stabil, baik dalam sisi hukum maupun politik. Sebab, fondasi dasar negara yang sering diubah bisa membuat bangunan negara terus bergeser. Padahal, butuh waktu lama agar negara menjadi stabil.
Ia juga mengatakan, UUD 1945 secara filosofis adalah kontrak dasar hubungan antara antara yang memerintah dengan yang diperintah, maupun antarpemegang kekuasaan negara. Oleh karena itu, UUD bukanlah untuk kepentingan sesaat.
“Jika UUD diubah hanya untuk memenuhi hasrat sesaat, pasti UUD akan detail dan tidak long lasting. Lihat saja pengalaman Carlos Menem di Argentina. Dia berhasil mengubah UUD untuk melanggengkan kekuasaannya selama 3 periode tetapi tetap saja akhirnya terjadi kekacauan dan kemudian UUD Argentina diubah lagi dengan mengembalikan ke posisi semula,” terang Dosen Fakultas Hukum UGM ini pada 30 Agustus 2021 lalu dilansir laman ugm.ac.id.
2. Konstruksi amandemen dikuasai partai politik
Lebih lanjut, Andi mengatakan saat ini konstruksi amandemen UUD 1945 cenderung dikuasai partai politik, terutama keputusan akhir untuk melakukannya. Lembaga negara bisa mengajukan permintaan amandemen UUD ke MPR. Kemudian, usulan tersebut akan ditelaah dan diputuskan dalam rapat paripurna MPR. Padahal, MPR terdiri dari DPR dan DPD.
“Jika kemudian seluruh anggota DPR yang semuanya berasal dari parpol menyetujuinya maka proses amandemen pasti terjadi,” ujarnya.
Padahal jika dilihat dari aspek hukum tata negara, amandemen sama sekali tidak mendesak. Namun, dari aspek politik bisa saja terjadi.
“Hanya saja sampai saat ini saya tidak tahu hal apa yang mendesak dari sisi politik,” terang Andi.
3. Pokok haluan negara bertentangan dengan pemilihan presiden langsung
Perihal isu akan dikembalikannya penggunaan pokok haluan penyelenggaraan negara seperti aturan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) era Orde Baru, Andi mengatakan hal ini bertentangan dengan konsep pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
Pasalnya, rakyat memilih presiden berdasarkan program kerja yang ditawarkan. Jika pemerintah harus melaksanakan program kerja yang sudah ditentukan MPR, maka Indonesia akan menjadi negara parlementer.
“Bukankah rakyat memilih seseorang menjadi presiden lebih didasarkan pada preferensi program kerja yang ditawarkan dalam kampanye seorang calon presiden sehingga ketika terpilih, program kerja itulah yang harus diimplementasikan. Oleh karenanya, tidak bisa diadopsi secara bersamaan dalam UUD 1945. Harus dipilih salah satu,” pungkasnya.
Baca Juga: Mural Satire Dihapus, Pakar UGM: Sama Kritik Sosial kok Gerah?