Hak Asasi Hewan: Dikebiri dan Dieksploitasi demi Kepuasan

Padahal, mereka pun merasakan sakit dan takut seperti kita

Yogyakarta, IDN Times - Tak hanya manusia, satwa pun mempunyai hak asasi. Tanggal 15 Oktober diperingati sebagai Hari Hak Asasi Binatang Internasional, bersamaan dengan lahirnya Universal Declaration of Animal Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Satwa) oleh UNESCO (Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB) di Paris, Prancis pada tahun 1978.

Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa seperti halnya manusia, hewan adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk merasa, termasuk merasakan sakit. Oleh karena itu, manusia sudah selayaknya memperhatikan kesejahteraan serta tidak menyakiti dan melakukan kekejaman terhadap hewan.

Mengutip American Humane, satwa secara umum memiliki lima kebebasan yang menjadi standar emas bagi kesejahteraan hewan. Mereka adalah bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, cedera, maupun penyakit, bebas mengekspresikan tingkah laku alami, serta bebas dari rasa takut dan penderitaan.

Di Indonesia sendiri, hak asasi hewan secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 302 dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 yang diubah dengan UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Pengakuan terhadap hak asasi satwa ini seharusnya membuat manusia, yang notabene memiliki akal budi, mampu berlaku adil terhadap sesama makhluk hidup. Namun pada kenyataannya, praktik eksploitasi dan kekejaman terhadap hewan masih terus terjadi.

1. Kejam dan berbahaya, daging anjing masih diperdagangkan untuk konsumsi

Hak Asasi Hewan: Dikebiri dan Dieksploitasi demi KepuasanPuluhan anjing diamankan dari sebuah pikap yang rencananya akan dikirim ke Surakarta. (IDN Times/Istimewa)

Menurut Koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI), jutaan anjing ditangkap dan dicuri setiap tahunnya untuk diangkut ke seluruh Indonesia, guna memasok kebutuhan daging anjing untuk konsumsi. Tak hanya itu, hasil investigasi yang mereka lakukan juga mengungkapkan bahwa perlakuan yang dialami anjing-anjing itu jauh dari kata manusiawi.

"Banyak anjing konsumsi yang berasal dari hewan peliharaan keluarga yang dicuri, dan banyak juga yang dipungut dari jalanan. Mereka berdesakan di dalam kandang dan karung yang sempit, moncong mereka terikat kuat. Mereka hampir tidak bisa bernapas. Mereka diangkut dalam perjalanan jauh menggunakan motor atau truk yang penuh sesak untuk memasok pasar, rumah jagal, dan restoran. Banyak di antara mereka yang mati karena lemas, dehidrasi, atau heatstroke, bahkan sebelum mencapai tempat tujuan. Bagi yang selamat, mereka akan menyaksikan teman-teman mereka dibunuh secara brutal di rumah jagal yang kotor, sambil menunggu giliran mereka," tulis DMFI.

Kota Solo, Jawa Tengah, menjadi salah satu pusat dari sejumlah besar perdagangan daging anjing di Jawa. Sementara, Jawa Barat bertindak sebagai "pusat pasokan" yang memasok anjing ke pusat kota Solo. Setidaknya, ada 13 ribu ekor anjing yang dibunuh setiap bulannya untuk memenuhi permintaan konsumsi di sana.

Karin Franken, Koordinator DMFI, pun mendesak Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, untuk menghentikan konsumsi daging anjing ini. Dalam keterangan tertulis pada 19 April 2021, ia mengatakan perdagangan anjing tidak hanya kejam, tapi juga menimbulkan risiko mematikan atas penyebaran penyakit, terutama rabies.

Jika larangan perdagangan daging anjing di Solo bisa dibuat, kata dia, maka hal ini menyiratkan bahwa Solo adalah kota yang maju dan memprioritaskan kesehatan dan keamanan warganya serta kesejahteraan hewan di atas keuntungan dan kebiasaan dari sejumlah kecil penduduk.

"Karena hanya 3 persen dari total penduduk pernah mengkonsumsi daging anjing di Jawa Tengah yang melanggar hukum yang berlaku, melakukan tindak pidana dan melanggar pengawasan penyakit serta kesejahteraan hewan. Tindakan seperti ini akan disambut gembira baik dalam skala nasional maupun internasional," ujarnya.

Tak hanya Solo, DMFI juga menyoroti perdagangan daging anjing di DKI Jakarta. Menurut Karin, ada dua penyuplai besar di Jakarta dan beberapa penyuplai kecil yang menjual anjing di pasar seperti Pasar Senen, Pasar Cijantung dan lainnya.

"Di sini mereka biasanya memotong 3–6 anjing per hari sedangkan kedua penyuplai besar biasanya masing-masing memotong 20–40 anjing per hari dan kemudian menjual daging anjing ke lapo dan beberapa resto Korea di Jakarta," katanya dalam keterangannya pada 13 September 2021.

Ia memperkirakan, sekitar 340 anjing dipotong per harinya, atau rata-rata 9.520 ekor anjing per bulan. Sebanyak 97 persen dari anjing-anjing ini dibawa dari Jawa Barat di mana masih endemik rabies. 

Baca Juga: DMFI Minta Gibran Larang Perdagangan Daging Anjing di Solo

Baca Juga: DMFI Sebut 340 Anjing Dipotong per Harinya di Jakarta, Miris!

2. Komunitas pencinta satwa hingga otoritas setempat ikut bergerak

Hak Asasi Hewan: Dikebiri dan Dieksploitasi demi KepuasanEvakuasi belasan anjing dari salah satu rumah jagal di Bantul. (Dok. Ron-Ron Dog Care)

Perjuangan mengakhiri perdagangan anjing untuk konsumsi memang masih jauh panggang dari api. Namun, keprihatinan ini ternyata mampu menggerakkan berbagai pihak untuk melakukan aksi nyata. Salah satunya adalah Ron-Ron Dog Care (RRDC) di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 

RRDC merupakan komunitas sekaligus tempat penampungan anjing yang berdiri sejak tahun 2000. Selain merawat anjing terlantar, mereka juga melakukan edukasi dan sosialisasi terkait anjing bukan hewan konsumsi untuk memutus permintaan dan konsumsi daging anjing di Jogja. 

Anggota RRDC Jogja, Viktor Indrabuana, mengatakan Yogyakarta merupakan kota kedua di Pulau Jawa yang tingkat konsumsi daging anjingnya tinggi setelah Solo. 

Pada September 2021 lalu, RRDC juga berhasil menyelamatkan belasan anjing yang siap dipotong dari tempat penjagalan di Kalurahan Srihardono, Kapanewon Pundong, Kabupaten Bantul. Kasus ini terungkap berkat adanya video yang diunggah pada 19 September 2021 di media sosial. RRDC dibantu aparat kepolisian dari Polsek Pundong lantas mengevakuasi para anjing malang tersebut.

Saat dievakuasi, para anjing tersebut dalam kondisi mengenaskan. Tubuh mereka dibungkus dalam karung sementara kepalanya berada di luar dalam kondisi mulut diikat tali.

"Bahkan seekor anjing dewasa sudah dalam kondisi lemas karena sudah empat hari mulutnya diikat dan tidak diberi makan atau minum," katanya.

Di Kulon Progo, DIY, kepolisian setempat juga menggagalkan penyelundupan 78 ekor anjing yang akan disembelih untuk konsumsi pada Mei 2021 silam. Puluhan anjing tersebut berasal dari Garut, Jawa Barat untuk disalurkan ke wilayah DIY dan Solo. Dalam kasus tersebut, dua orang menjadi tersangka. 

Ini menjadi kasus perdagangan anjing yang naik ke meja hijau untuk pertama kalinya di Indonesia. Kedua tersangka dijerat pasal berlapis yakni Pasal 89 ayat (2) Jo Pasal 46 ayat (5), Pasal 59 ayat (3) dan Pasal 60 ayat (1) UU No 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. 

"Ancaman hukuman pidana penjara paling singkat satu tahun paling lama lima tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan banyak Rp1 miliar," kata Kasubbag Humas Polres Kulon Progo, Iptu Nengah Jeffy Prana Widnyana, 19 Agustus 2021.

Sementara, langkah tegas juga sudah dilakukan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Pemerintah Kota Salatiga di Jateng yang menerapkan larangan perdagangan daging anjing untuk konsumsi.

Di Sukoharjo, peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Pembinaan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Pasal 34 huruf M menyatakan bahwa Pedagang Kaki Lima dilarang melakukan kegiatan usaha penjualan, pemotongan daging, baik mentah atau olahan berasal dari hewan nonpangan.

Baca Juga: RRDC Rawat Hewan Telantar hingga Kampanye Anjing Bukan Konsumsi  

Baca Juga: Kasus Perdagangan 78 Ekor Anjing di Kulon Progo Naik ke Meja Hijau

3. Kesejahteraan satwa tak dilindungi masih dipandang sebelah mata

Hak Asasi Hewan: Dikebiri dan Dieksploitasi demi KepuasanKondisi kera ekor panjang di Pasar Burung Satria Denpasar. (Dok. JAAN)

Selain anjing untuk konsumsi, perdagangan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) juga menjadi sorotan pencinta satwa. Belum lama ini Jakarta Animal Aid Network (JAAN) mengecam aktivitas penjualan bayi monyet ekor panjang di Pasar Burung Satria, Kota Denpasar, Bali. 

Menurut Jakarta Animal Aid Network (JAAN), meski statusnya tidak dilindungi, monyet ekor panjang tidak layak dijadikan hewan peliharaan.

Ini karena monyet ekor panjang merupakan spesies primata yang sangat sosial, hidup berkelompok, dan cerdas.  Jika dipelihara, dapat meningkatkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) maupun sebaliknya. Selain itu, kondisi hewan yang stres dan trauma dapat mengakibatkan serangan gigitan terhadap manusia.

Pendiri JAAN Divisi Satwa Liar, Femke den Haas, mengatakan penjualan bayi monyet di pasar burung masih marak diduga karena banyak peminatnya dengan dalih rasa kasihan. Menurutnya cara tersebut tetap salah karena justru akan melanggengkan perdagangan satwa liar. Selain itu, dipicu pula dengan adanya kecenderungan menjadikan monyet sebagai konten media sosial.

Di Pasar Burung Satria, Denpasar, monyet ini didatangkan dari Sumatra hampir setiap bulan. Aktivitas ini, ia ungkapkan, jelas melanggar sejumlah peraturan. Apalagi, menurut Femke, masyarakat Hindu Bali sangat menghormati keberadaan monyet-monyet ekor panjang. Contohnya di Sangeh, Monkey Forest, Uluwatu, Alas Kedaton, dan Pura Pulaki. 

“Kami berharap pemerintah Bali melalu Dinas Peternakan, Pemerintah Kota Denpasar, dan tentunya Balai Karantina Denpasar dapat menghentikan perdagangan monyet ekor panjang di pasar burung,” ungkapnya dalam keterangan tertulis tertanggal 24 September 2021.

Namun, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, R Agus Budi Santosa, mengaku tidak bisa berbuat banyak. Menurutnya, Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) tidak bisa diterapkan untuk menghukum pelaku perdagangan satwa ini. Pelaku perdagangan satwa kera ini hanya bisa dikenakan pasal penyiksaan hewan sesuai pasal KUHP. Dengan catatan, apabila jelas terbukti melakukan penyiksaan dan deliknya terpenuhi.

Pihak BKSDA sendiri sulit memantau aktivitas perdagangan satwa ini karena ukuran satwa yang kecil, jinak, dan mudah disembunyikan.

“Satwa ini tidak dilindungi Undang-undang dan cenderung jadi hama apabila populasinya tidak terkontrol,” ungkapnya pada 27 September 2021.

Peredaran satwa ini, ia jelaskan, bisa diatur dengan Peraturan Daerah (Perda) karena merupakan Tipiring dan sanksinya lebih berupa sanksi administrasi.

Baca Juga: JAAN Soroti Perdagangan Monyet Ekor Panjang di Pasar Satria Denpasar

4. Kandang baterai yang mengurung hak asasi ayam petelur

Hak Asasi Hewan: Dikebiri dan Dieksploitasi demi KepuasanIlustrasi Ayam petelur dalam kandang baterai (Dok. Animal Friends Jogja)

Di banyak peternakan ayam petelur di Indonesia, sistem kerangkeng yang dikenal dengan kandang baterai masih umum dijumpai. Praktik ini dianggap mampu memaksimalkan produksi telur ayam. Namun, jika dilihat dari sisi kesejahteraan hewan, kandang baterai merampas hak ayam untuk mengekspresikan naluri alamiahnya.

Menurut Animal Friends Jogja (AFJ), inisiator Gerakan Indonesia Bebas Kandang, ayam-ayam itu hidup berjejal di dalam kandang sempit yang luasnya tak lebih dari seukuran kertas A4. Sehari-hari, mereka menghabiskan hidupnya di sana sebagai mesin produksi telur. Dua tahun kemudian, ayam-ayam yang masuk kategori afkir akan dikirim ke penjagalan karena dinilai tidak lagi produktif.

Hidup dalam kerangkeng seluas kertas A4 membuat ayam tak dapat memenuhi naluri alaminya. Tidak ada sarang untuk bertelur, tanah dan pasir untuk mandi dan mengais sumber makanan lain, atau kayu untuk bertengger. Bahkan sekadar merentangkan sayap pun mereka tak bisa.

Studi menyebutkan, sistem pengurungan menyebabkan ayam menjadi stres dan frustasi sepanjang hidup. Ayam-ayam dalam kerangkeng pun memiliki masalah kesehatan yang parah, seperti pelemahan tulang dan osteoporosis.

Sedangkan studi komprehensif tentang keamanan kebersihan pangan pernah dilakukan European Food Safety Authority mengenai perbandingan kontaminasi salmonella dalam sistem kerangkeng dan bebas kerangkeng. Salmonella adalah jenis bakteri yang bisa menyebabkan tifus atau pun keracunan makanan. Biasa ditemukan pada daging mau pun telur. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa kontaminasi salmonella pada sistem kerangkeng lebih tinggi jika dibandingkan dengan bebas kerangkeng.

Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Ali Agus, menjelaskan kandang baterai ini mulai digunakan para peternak sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dalam satu kandang kecil bisa diisi dua sampai tiga ayam. Kandang baterai ini banyak digunakan peternak karena peternak bisa memantau hasil produksi, lahan, ruang, modal dan lain sebagainya.

"Kandang baterai ini memiliki kelebihan bagi peternak karena bisa mengontrol ayam mana yang bisa bertelur, ayam mana yang tidak. Ayam mana produktif dan ayam mana yang tidak produktif. Mengontrol pakan yang dikonsumsi, ngontrol air minum, termasuk mengontrol sakit juga lebih gampang karena individual," ungkapnya pada Sabtu (16/10/2021).

Dalam penggunaan kandang baterai, ayam hanya bisa makan, tidur dan bertelur. Kondisi ini kurang melihat sisi kesejahteraan ayam. Padahal, ayam sendiri butuh mengekspresikan diri, seperti bertengger, mematuk saat di tanah, meloncat, mandi debu dan lain sebagainya. Hal tersebut tentu tidak bisa dilakukan ayam manakala berasa di kandang baterai.

"Hewan itu juga harus dipikirkan kesejahteraannya, kenyamanan di dalam kandang, bebas dari rasa takut, bebas lapar, bebas haus, bisa mengekspresikan kebiasaan alami," katanya.

Menurut Prof Ali, kandang yang layak bagi ayam yakni yang bisa membuat ayam bisa mengekspresikan nalurinya, seperti bertengger, mematuk, mandi debu dan yang lainnya. Atau bahkan, bisa membuat ayam bebas untuk ke sana ke mari.

Namun, mengubah ke sistem bebas kandang baterai sendiri diperlukan waktu, pengalaman serta kajian yang mendalam. Agar di satu sisi, produksi ayam petelur bisa optimal, dan dari sisi animal welfare bisa ideal.

"Saya kira perlu menemukan format yang ideal, di satu sisi ayam bisa produktif, di sisi lain sistem budi daya bisa memperhatikan aspek kesejahteraan hewan. Termasuk saya khususnya di Fakultas Peternakan UGM mencoba menjembatani mengambil riset untuk mempelajari bagaimana model bebas kandang baterai, kelebihan dan kekurangan, model bisnis, efisiensi pemanfaatan lahannya seperti apa," katanya.

Baca Juga: Miris, Peternak Ayam di Indonesia Banyak Gunakan Kandang Baterai  

Baca Juga: Konflik Manusia dan Ular di Pemukiman Warga Tangerang, Siapa Salah?

5. Konflik antara manusia dan satwa, salah siapa?

Hak Asasi Hewan: Dikebiri dan Dieksploitasi demi KepuasanIlustrasi buaya muara di pulau Sumatra. (IDN Times/Andri NH)

Salah satu hak asasi satwa adalah mengekspresikan sifat alaminya. Untuk hewan liar, hal ini berlaku di habitatnya. Namun, habitat hewan liar kerap kali tergerus eksploitasi manusia. Mulai dari pembukaan hutan untuk pertanian dan perkebunan, hingga alih fungsi lahan untuk permukinan. Hal ini mengancam eksistensi satwa di habitatnya. Konflik pun tak terelakkan.

Di Sumatra Selatan, konflik yang paling sering terjadi adalah antara buaya dengan manusia. 

"Ada dua jenis buaya di Sumsel, buaya muara dan buaya sinyulong. Konflik paling sering ya buaya muara, selain konflik gajah dengan manusia. Tapi yang viral waktu itu pernah soal harimau di Lahat sebelum saya di sini (menjabat Kepala BKSDA)," ujar Kepala BKSDA Sumsel, Ujang Wisnu Barata kepada IDN Times, Jumat (15/10/2021).

Lokasi konflik buaya di Sumsel sering terjadi di sembilan kabupaten dan kota. Yakni Kabupaten Musi Rawas, Empat Lawang, Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Muaraenim, Musi Banyuasin, termasuk Kota Palembang. Namun daerah paling sering terjadi di Kabupaten Banyuasin.

Data BKSDA Sumsel mencatat, konflik buaya sejak 2017 hingga 2021 terdapat 23 kasus dengan tujuh wilayah telah teridentifikasi.

"Untuk konflik memang banyak buaya muara yang memakan manusia, hal ini terjadi karena habitat mereka mengecil," jelasnya.

Tak jauh berbeda, warga Lampung juga sering kali berkonflik dengan buaya maupun gajah. Menurut Satgas Konflik BKSDA Bengkulu SKW III Lampung, pada 2021 ada lebih dari lima temuan kasus penerkaman buaya muara di sekitar Sungai Way Semaka, Tanggamus. Bahkan beberapa di antaranya ada merenggut korban jiwa.

"Kalau konflik buaya dengan manusia sekitar Sungai Semaka ini memang sudah terjadi sejak 2018 lalu. Di Tanggamus ini ada juga antaranya konflik dengan gajah," ucap Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BKSDA Bengkulu SKW III Lampung, Sujadi, 15 Oktober 2021.

Selain temuan konflik buaya di Tanggamus, Sujadi juga menyebut hal serupa juga terjadi pada jenis satwa liar lainnya di beberapa kawasan hutan Provinsi Lampung.

"Di Liwa Lampung Barat dan Kotabumi Lampung Utara ada beruang madu, kemudian gajah liar di Lampung Timur," terangnya.

Salah satu upaya agar tidak terjadi konflik ini, kata Ujang, adalah tetap mencukupi kebutuhan makan dan minum untuk hewan. Serta memberi hewan kesempatan untuk bergerak aman.

"Hewan juga ada area pergerakan. Konflik ini bisa dari pengaruh pembangunan, terbatasnya lahan, hingga akhirnya hewan liar muncul. Jadi soal ini gak bisa kita tangani sendiri," timpal dia.

Sementara, di kawasan padat penduduk di Tangerang, Banten, konflik antara satwa dan manusia juga terjadi. Dalam sebulan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tangerang mengaku mengamankan belasan ular di permukiman.

"Rata-rata bulanan pernah sampe 15 kali, kebanyakan ular ada juga tawon," kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kota Tangerang, Gufron Fallfelli, 13 Oktober 2021.

Ketua Yayasan Sioux Ular Indonesia, Aji Rachmat, mengatakan ular akan betah dan nyaman di lokasi yang menyediakan makanannya. Mangsa mereka adalah hama berupa hewan tikus salah satunya. Selain itu riwayat area tempat rumah itu pun jadi salah satu musabab.

"Banyak area yang jadi tempat hidup ular dijadikan rumah dan industri sehingga ular bergeser ke rumah warga yang ada tikusnya," katanya pada 15 Oktober 2021.

Saat hujan, lanjut Aji, lubang sembunyi ular tergenang air. Ular kedinginan lalu mencari tempat hangat di pemukiman warga.

"(Misal) BSD, Serpong, Tangsel lingkungannya banyak area kosong, taman dan dilintasi sungai jadi ular betah," ungkapnya.

Sejatinya, peran ular dalam rantai ekosistem alam adalah menjaga populasi hama. Oleh karena itu, ular harus ada. Jika ada ular di perumahan, itu adalah hal yang wajar.

"Ular tetangga kita," kata dia. Manusia hanya perlu rajin membersihkan area rumah agar ular tak masuk dan kita memutus rantai makanan ular itu sendiri.

Baca Juga: Buaya Muara dan Manusia Mendominasi Konflik Satwa di Sumsel

Baca Juga: Buaya hingga Beruang Madu Hiasi Konflik Hewan dan Manusia di Lampung 

6. Hukuman bagi pelaku kekejaman terhadap hewan masih kurang nendang

Hak Asasi Hewan: Dikebiri dan Dieksploitasi demi KepuasanTim Profauna dan BKSDA menunjukkan kaki Lutung Jawa yang mati mengenaskan. IDN Times/ Alfi Ramadana

Pada Januari 2021 lalu, kisah penjagal kucing di Kota Medan, Sumatra Utara, sempat viral di media sosial.

Bermula dari unggahan akun instagram @soniarizkikarai pada 27 Januari 2021 yang bercerita ia mendapati kucingnya bernama Tayo jenis persia big bone warna bulu hitam putih mati di tangan jagal penjual daging kucing. Diduga Tayo menjadi korban jagal untuk dikonsumsi dagingnya.

Kasus ini pun berujung ke polisi. Satu pelaku ditangkap dan diadili dengan vonis 2,5 tahun pada 31 Agustus 2021. Sedangkan satu tersangka lagi masih buron. Kasus kucing Tayo ini jadi yang pertama ditangani pengadilan Pengadilan Negeri Medan dan pertama kali juga pelakunya dihukum penjara.

Sementara, JAAN juga mencatat kasus kekerasan pada hewan masih kerap terjadi di wilayah Jawa Timur. Sepanjang tahun 2021, ada 11 kasus kekerasan pada hewan yang terungkap. Salah satunya adalah penembakan terhadap anjing di Kota Malang beberapa waktu lalu.

Koordinator Indonesia Bebas Topeng Monyet JAAN, Suwarno, menjelaskan bahwa dari total kasus yang muncul, kebanyakan merupakan kekerasan pada satwa primata monyet ekor panjang. Selain dieksploitasi untuk kebutuhan ekonomi, ada juga kasus di mana satwa dijadikan objek kekerasan untuk konten video.

"Jadi hewan tersebut disiksa kemudian direkam menjadi video dan di-upload di platform medsos untuk mencari keuntungan," katanya, Sabtu (16/10/2021). 

Untuk pelaku kekerasan sendiri sejauh ini ada yang sudah mendapat hukuman tetapi juga ada yang belum. Untuk yang dinyatakan bersalah melanggar pasal 302 KUHP tentang hewan liar, maka mereka bisa dikenai hukuman 9 bulan penjara. Tetapi ada juga yang tidak sampai dihukum lantaran pelaku mengakui perbuatannya dan berjanji tak mengulangi lagi.

"Kami terus mendorong melalui BKSDA untuk memperkuat hal ini agar hewan-hewan bisa terlindungi," sambungnya. 

Senada, pendiri komunitas Care Street of Animals dari Medan, Alam Munthe, hukuman yang berlaku kepada pelaku kekerasan terhadap hewan peliharaan atau jagal masih terbilang lemah. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian Pemerintah, seperti aturan terhadap hewan kucing atau anjing dan masih merespons hewan-hewan yang dilindungi saja.

"Kalau kucing atau anjing belum ada respon cepatnya dari pemerintah. Hanya hewan-hewan yang dilindungi saja yang cepat respon hukumnya," tuturnya.

Baca Juga: Kekerasan pada Hewan Masih Marak, Sanksi Pelaku Belum Maksimal   

Baca Juga: Kisah Penjagal Kucing Persia di Medan Dihukum 2,5 Tahun Penjara

7. Merawat hewan terlantar masih sarat tantangan

Hak Asasi Hewan: Dikebiri dan Dieksploitasi demi KepuasanRelawan dari Tim Catmeong saat memberi makan kepada kucing liar di salah satu pasar tradisional Banyumanik Semarang. (Dok Catmeong)

Selain eksploitasi dan kekerasan terhadap satwa, penelantaran juga acap dialami hewan-hewan peliharaan. Menurut Selvy dari Yayasan Sahabat Satwa Makassar (YSSM), penelantaran hewan peliharaan banyak disebabkan oleh faktor ekonomi. Pemilik sering menelantarkan hewan peliharaan karena tidak lagi mampu memberi makanan.

"Kemudian perceraian dan komplain dari tetangga membuat para pemelihara hewan membuang peliharaannya," ungkapnya pada 15 Oktober 2021.

Sedangkan Suwarno dari JAAN mengatakan anjing dan kucing sering kali dibuang karena pemiliknya bosan. "Ketika sudah menjadi liar ini akhirnya mendapat perlakuan kekerasan dari beberapa oknum," imbuhnya. 
 
Beruntung, masih ada pihak yang memperhatikan para hewan yang terlantar ini. Salah satunya adalah Tri Martono. Pria yang tinggal di kawasan Semarang Selatan, Jawa Tengah, ini mengaku berkeliling ke jalan-jalan sampai mendatangi tempat pembuangan sementara (TPS) yang tersebar di sekitar Banyumanik dan Pudakpayung untuk memungut kucing-kucing yang dicampakkan pemiliknya.

"Saya sudah tiga tahun terakhir keliling Semarang untuk merawat kucing yang dibuang pemiliknya ke tempat sampah maupun pasar. Awalnya saya prihatin lihat kucing yang kondisinya kurus dan terjangkit penyakit. Lalu saya mikirnya, mending sedikit demi sedikit uang jajan saya kumpulkan buat ngasih makan kucing di jalanan. Pada akhirnya keterusan sampai sekarang," kata Tono, 15 Oktober 2021.

Dirinya tidak sendiri. Ada beberapa orang yang tergerak dengan aksinya merawat kucing jalanan ini. Bersama teman-temannya, ia pun membentuk Tim Catmeong. 

Dengan banyaknya kucing jalanan yang dirawatnya, Tono menggalang donasi sekaligus mengetuk hati anak-anak muda agar berempati. Agar kucing jalanan bisa ia rawat dan mendapat asupan gizi yang baik.

Tono pun berharap Pemkot Semarang bersedia menyediakan selter untuk menampung kucing-kucing ini. Dengan begitu, kucing-kucing ini bisa dirawat, diobati sekaligus diadopsi oleh warga yang tertarik memiliki hewan piaraan.

Meski merawat hewan terlantar ini adalah panggilan jiwa yang menyenangkan bagi para pelakunya, tetapi tantangannya juga tak sepele. Pendiri Give Dog Second Change (GDSC)  Aditya Hoesaeni Tuturoong, mendirikan selter bagi anjing terlantar untuk mencegah mereka berakhir di meja makan sebagai daging konsumsi.

"Saya ingin mengurus anjing liar yang terlantar atau dibuang pemiliknya. Kasihan mereka hidup di jalanan. Kadang ada yang ditangkap terus dijual begitu saja (untuk dimakan)," ujarnya pada 15 Oktober 2021.

Saat ini, selternya menampung 336 ekor anjing. Mengurus satwa sebanyak itu tentu bukan perkara mudah. Adit dan rekan-rekannya mesti memutar otak untuk mengatasi dana yang terbatas dan dorongan dari warga yang ingin mengusir mereka dari tempat penampungan sekarang.

Untuk sewa penampungan, misalnya, dari Rp25 juta per tahun, naik jadi Rp50 juta per tahun. Pemasukan yang sedikit dari kantung pribadi Adit maupun donatur membuatnya mereka harus menunggak pembayaran.

Belum lagi sejumlah warga di daerah Desa Karyawangi, Kabupaten Bandung Barat, yang kerap meminta uang sampai Rp5 juta per bulan, membuat operasional GDSC sangat berat.

"Kalau warga ini tidak dikasih uangnya, mereka suka bikin onar. Kadang buat bangkai deket penampungan, atau lempar batu ke atas. Itu bikin anjing jadi pada ribut," katanya.

Adit pun berharap pemerintah setempat turun tangan, mengingat anjing yang dibiarkan terlantar bisa menularkan rabies. 

"Pemerintah cobalah untuk turun ke lapangan, melihat dan lebih peduli dengan anjing ini. Bukan tentang mereka hewan da kita manusia, ini lebih mana sesama makhluk hidup," pungkasnya.

Agar satwa bisa memperoleh hak-haknya masih menjadi pekerjaan rumah yang panjang bagi kita semua. Namun, harapan tercapainya keadaan itu suatu hari tetap ada. Kuncinya: Kita menjadi sebenar-benarnya manusia.

Baca Juga: Kisah Tri Martono, Galang Donasi lewat Medsos untuk Rawat Kucing Liar

Baca Juga: Cara GDSC Lindungi Anjing Terlantar Agar Tak Berakhir di Meja Makan 

Liputan ini adalah laporan kolaborasi dari Lia Hutasoit (Jakarta), Daruwaskita (Yogyakarta), Siti Umaiyah (Yogyakarta), Ayu Afria Ulita (Bali), Feny Maulia Agustin (Sumsel), Tama Wiguna (Lampung), Muhammad Iqbal (Banten), Debbie Sutrisno (Jabar), Arifin Al Alamudi (Sumut), Alfi Ramadana (Jatim), Sahrul Ramadan (Sulsel), dan Fariz Fardiyanto (Jateng).

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya