Cawe-Cawe Jokowi, Pakar UGM: Banyak Hal yang Bisa Dilakukan

Yogyakarta, IDN Times - Pakar Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, menyebut 'cawe-cawe' yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilu/Pilpres 2024 harus dilihat akan seberapa jauh. Mada juga menilai banyak hal bisa dilakukan oleh Jokowi.
"Menurut saya definisi cawe-cawe itu apa dulu untuk Pak Jokowi, sejauh mana dilakukan," kata Mada, Rabu (31/5/2023).
Jika cawe-cawe didefinisikan untuk memastikan penyelenggaraan pemilu secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luber Jurdil), menurutnya hal tersebut tidak perlu dikatakan sebagai cawe-cawe. Hal itu sudah menjadi tugas pokok dari pemerintah.
"Jadi mau gak mau harus dikerjakan untuk mendorong penyelenggaraan pemilu yang luber jurdil. Kalau tidak dilakukan berarti presiden malah melanggar konstitusi, karena itu adalah tugas sebagai kepala pemerintahan," ungkap Dosen Politik dan Pemerintahan UGM itu.
1. Harus dilihat seberapa jauh cawe-cawe itu
Jika cawe-cawe didefinisikan lebih jauh dari sekedar memastikan Pemilu berjalan lancar, hal tersebut yang harus didiskusikan. "Misal apakah presiden akan melakukan atau bersedia untuk melakukan endorsement secara terbuka kepada publik gitu, atau bahkan lebih jauh dari itu. Cawe-cawe itu tidak sekedar endorsement, tapi juga ikut berkampanye untuk calon presiden tertentu," ujar dia.
Secara umum sebenarnya tidak ada larangan Presiden melakukan endorsement. Dikatakan Mada batas-batas untuk Presiden memberikan dukungan sudah jelas ada aturannya. Kondisi tersebut juga lebih condong pada etika berpolitik dari Jokowi, meski ketika bicara etika juga bisa menjadi perdebatan lagi.
"Prinsip-prinsip mana yang boleh dan tidak sudah ada di Undang-Undang Pemilu. Tidak bisa diterobos. Tidak boleh menggunakan anggaran publik, tidak boleh memobilisasi dari ASN, TNI/Polri dan sebagainya itu sudah jelas," ujar Mada.
2. Endorsement tidak selalu berpengaruh signifikan
Mada juga mengajak melihat ke Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Di mana saat itu Barack Obama yang melakukan endorsement bahkan kampanye pada Pilpres 2016 untuk Hillary Clinton dan hasilnya kalah. Serta Pilpres 2020 untuk Joe Biden yang hasilnya menang.
"Kalau berkaca dari pengalaman endorsement di AS, tidak selalu punya efek yang signifikan untuk calon yang diendorse itu, bisa juga endorsement tidak menghasilkan kemenangan. Terjadi di Pilpres 2016 itu, ketika Obama mendukung Hillary Clinton," ungkap Mada.
Jika berbicara masalah etika juga, Mada menyebut endorsement bukan menjadi suatu hal yang tabu. Presiden yang baru didorong melanjutkan program dari presiden sebelumnya. Namun, di pihak lain mungkin bisa dikatakan tidak etis.
"Berkaca pada pengalaman Pak SBY dulu ya notabene meski tidak sepenuhnya, tidak cawe-cawe atau istilah Jawanya meneng wae (diam saja), tetapi undergroundnya ya tetep cawe-cawe, tapi memang secara dalam bentuk endorsement kampanye tidak dilakukan," kata Mada.
Kembali lagi, menurut Mada istilah cawe-cawe ini bisa dimaknai beragam. Bisa sampai endorsement bahkan kampanye, atau yang sifatnya lebih terbatas, implisit, tidak pernah menyebutkan nama. "Atau apapun itu ada banyak, bisa kita definisikan," ujarnya.
Baca Juga: Pakar UGM: Ada Pernyataan 'Cawe-Cawe' Jokowi Potensi Kontroversial
3. Jokowi bisa bermain di dua kaki
Jika mengacu putusan MK Nomor 13 tahun 2014 berbicara mengenai posisi Jokowi sendiri, memang sebagai petugas partai, namun juga bisa dikatakan sebagai petugas rakyat, karena dia dipilih langsung oleh rakyat. Jokowi harus bisa mengkover banyak kepentingan.
Meski begitu, menurut Mada, hal tersebut kembali lagi ke Jokowi. Apakah kaki Jokowi akan lebih condong ke petugas partai, atau sebaliknya lebih condong ke petugas rakyat. "Artinya dia juga bisa tidak secara tegas mendukung pak Ganjar Pranowo, ya dia bermain di dua kaki. Kadang dia petugas partai, kadang petugas rakyat, jadi ada banyak variasi yang bisa jadi pilihan presiden," ujar Mada.
Baca Juga: Pakar UGM: Sistem Pemilu Masih Bisa Diubah ke Proporsional Tertutup