Syam Terrajana, Pemain Teater yang Jatuh Cinta pada Jurnalisme

Suka jurnalisme karena bertemu beragam orang

Bantul, IDN Times - Jemari tangan Syam Terrajana menari di atas tuts-tuts mesin ketik di atas meja. Satu per satu huruf bermunculan. Namun sebelum selembar kertas putih itu penuh kata, ujung kertas ditarik paksa. Digulung menjadi bola-bola tak berbentuk. Dilemparkan ke lantai yang sudah berserak gumpalan kertas lain yang urung dipakai.

Syam bangkit dari kursi. Membungkukkan badan untuk mengurangi rasa pegal. Pekerjaan tak kunjung usai. Padahal dia diburu batas waktu. Syam resah. Berjalan bolak-balik dari tepi dinding ke tepi dinding. Lalu berdiri mematung di pojok dan menghadap dinding. Syam masih resah. Dia berdiri di atas kursi. Meregangkan kedua tangan ke samping. Meliukkan badan ke belakang. Mungkin masih resah, mungkin tuntas sudah.

Penampilan tunggal Syam dalam video berdurasi satu menit 27 detik itu menggambarkan aktivitasnya sehari-hari. Sebagai seorang perupa, pemain teater, sastrawan, sekaligus jurnalis. Dan video art itu menjadi salah satu karya yang ditampilkan dalam pameran tunggal Syam yang pertama kali digelar berjudul Pada Ruang yang Bercerita di Ruang Dalam Art House di Bantul pada 5-15 Maret 2021.

Baca Juga: Lukisan Malam Bakupas, Gambaran Perempuan Lembut dan Tangguh

1. Teater menjadi passion pertama Syam berkesenian

Syam Terrajana, Pemain Teater yang Jatuh Cinta pada JurnalismeSeiman dan Jurnalis, Syam Terrajana. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Syam, adalah seniman dan jurnalis yang lahir di “Bumi Serambi Madinah” Gorontalo, Pulau Sulawesi, 38 tahun silam. Kecintaannya pada dunia seni mulai tampak ketika dia suka menulis puisi sejak SMA. Hobinya itu tak hanya dinikmati sendiri. Syam mengirimkan puisinya ke sejumlah media massa dan dimuat di Majalah Horison, Batam Post, juga Suara Merdeka.

Dunia seni masih melekat ketika mengenyam kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 2005. Dia aktif menjadi pemain dan sutradara Teater Ayat Indonesia. Pulang ke Gorontalo, Syam menjadi guru teater.

“Ah, ternyata ini tak asik,” celetuk Syam saat dijumpai dalam pembukaan pamerannya pada 5 Maret 2021 sore lalu.

Meski diakui Syam, teater adalah passion pertamanya dalam berkesenian. Namun saat ini, dia belum ingin berteater lagi.

“Komitmen waktunya lebih complicated. Prosesnya panjang. Dan aku sangat percaya pada proses,” kata Syam.

2. Guru drama yang jatuh cinta pada jurnalisme

Syam Terrajana, Pemain Teater yang Jatuh Cinta pada JurnalismeSyam Terrajana dan lukisannya dalam pameran Pada Ruang yang Bercerita di Ruang Dalam Art House di Bantul, 5 Maret 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sementara Syam butuh sumber dana untuk menghidupi aktivitasnya sebagai pemain teater.

“Ah, ini teater gak ada duitnya. Harus cari duit,” kenang Syam.

Pilihannya jatuh pada profesi jurnalistik, ketimbang meneruskan peran guru drama. Dan Syam sangat menikmati profesi barunya. Pernah menjadi jurnalis Antara dan koresponden The Jakarta Post di Gorontalo. Kini masih berkecimpung di dunia pewarta sebagai redaktur Tabloid Jubi, sebuah media yang berbasis di Papua.

“Maunya menghidupi kesenian, eh, ternyata jatuh cinta pada jurnalisme. Dan lupa berkeseniannya,” kata Syam.

Padahal ketika kuliah, Syam tak suka dengan aktivitas teman-temannya di pers mahasiswa. Bagi dia, anak persma masa itu sok pintar. Banyak beretorika ketika bicara. Syam pun memilih menjadi anak teater waktu itu. Lantas mengapa dia jatuh cinta pada dunia jurnalistik?

“Aku suka karena bisa ketemu macam-macam manusia. Dan aku jadi juru kisahnya,” kata Syam.

3. Pelukis itu paling make sense, tapi jurnalis itu menginspirasi

Syam Terrajana, Pemain Teater yang Jatuh Cinta pada JurnalismeVideo art Syam Terrajana dalam pameran Pada Ruang yang Bercerita di Ruang Dalam Art House di Bantul, 5 Maret 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Berjibaku menjadi jurnalis tetap ada titik jenuhnya. Syam mengalami itu. Dan momen itu dirasakan teman-teman liputan satu gengnya. Ada yang melampiaskan berpetualang ke sana kemari sebagai fotografer. Ada yang asik memburu pemandangan bawah laut dengan snorkeling. Lantas, Syam melakukan apa?

“Snorkeling kan mahal ya. Mending aku cari kertas,” kata Syam mengenang masa itu.

Bukan untuk menyusun bait-bait puisi. Melainkan berlatih membuat sketsa. Di situlah, dia memulai perkenalannya dengan dunia seni rupa. Pada 2013, Syam mulai memindahkan karyanya dari kertas ke kanvas.

Acapkali ada kebingungan. Syam yang ketika menulis berita selalu berawal dengan gagasan, baru kemudian dituangkan menjadi tulisan. Tetapi ketika melukis, gagasan acapkali muncul belakangan. Tak heran, Syam sering berhadapan dengan kanvas kosong berjam-jam karena memaksakan gagasan lahir duluan. 

“Setelah kucoba, gambar ya gambar saja. Kalau belum ada gagasan, coret-coret saja. Ternyata pusing juga ya melukis,” ucap Syam sambil tertawa.

Lantas pilih mana, menjadi jurnalis atau perupa?

“Wah iki, susah ini jawabnya,” ucap Syam sambil tertawa terbahak.

Bagi Syam, menjadi perupa adalah yang paling make sense, karena bersifat individual dan bisa digarap sembari mengerjakan tugas jurnalistik. Namun hingga detik ini tak ada niatan Syam untuk berhenti menjadi jurnalis.

“Jurnalisme itu darah dan amunisi yang menginspirasi karya-karyaku,” kata Syam kali ini dengan nada serius.

4. Beradaptasi dengan makanan dan peluit pabrik gula

Syam Terrajana, Pemain Teater yang Jatuh Cinta pada JurnalismeSyam Terrajana dalam pameran Pada Ruang yang Bercerita di Ruang Dalam Art House di Bantul, 5 Maret 2021. IDN Time/Pito Agustin Rudiana

Yogyakarta yang menjadi gudang para perupa menarik minat Syam untuk datang. Pada 2018, dia tiba bersama keluarganya. Istrinya kuliah di Surakarta, anaknya tertarik sekolah alternatif di Sanggar Anak Alam. Syam pun berguru pada seniman asal Minang, Gusmen Heriadi yang lebih dulu hijrah.

“Karena cuma dia seniman yang aku kenal,” kata Syam lagi-lagi sembari tertawa.

Syam pun berencana untuk menetap di Kota Gudeg ini. Namun diakui Syam, meski sudah dua tahun lebih tinggal di sana, masakan khas Yogyakarta dari nangka muda itu belum berasa ramah di lidahnya.  

“Lidah ini terlalu feodal Sulawesi,” kata Syam.

Gudeg yang manis acapkali masih menjadi kendala bagi perantauan asal luar Jawa yang terbiasa mencecap rasa pedas. Untuk tombo pengin (obat pengen), Syam mengakalinya dengan makan gudeg mercon yang tentu saja pedas.

“Tapi di sini surganya bakmi Jawa. Aku doyan bakmi Jawa,” ucap Syam mantap.

Selain makanan Jawa, Syam juga beradaptasi dengan bunyi peluit dari Pabrik Gula Madukismo yang memekik saban pergantian shift malam. Belum lagi polusi dari cerobong asap yang menguar dibawa angin hingga domisilinya. Maklum, kediamannya hanya 1-2 kilometer dari pabrik.

“Aku sedih kalau dengar peluit itu. Peluitnya panjang dan merana,” kata Syam.

Jiwa senimannya berimajinasi dan sebagai jurnalis mendeskripsikan suara peluit itu. Mulai dari bayangan kamp konsentrasi Nazi hingga menjadi penduduk yang seolah mendengar lonceng kematian. Suara peluit itu juga mengingatkannya pada nasib buruh. Apalagi suaranya mulai jarang terdengar.

“Mungkin karena pandemi dan banyak yang dirumahkan kali ya… Aku gak tahu pasti,” kata Syam mengakhiri. 

Baca Juga: Seniman Laila Tifah, Melawan Sakit dan Cemas dengan Melukis

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya