Kisah Juri Kompetisi Kopi Dunia Berbagi Ilmu di Kelas Lokal

Dari tak kenal profesi barista hingga jadi owner

Yogyakarta, IDN Times – Pandemik COVID-19 membuat aktivitas Hendri Kurniawan (46) sebagai juri kompetisi kopi tingkat internasional vakum. Berbagai kejuaraan kopi dunia batal digelar. Waktu Hendri pun banyak yang longgar.

Per Februari 2021, salah satu pendiri kedai kopi A Bunch of Caffeine Dealers (ABCD) dan ABCD School of Coffee dari Jakarta itu membuka kelas belajar kopi di Yogyakarta. Lokasinya di Ruang Seduh Kopi yang merupakan kedai kopi yang dikelolanya sejak lima tahun di kawasan kampung turis, Prawirotaman, Yogyakarta. Sedangkan kelas kopi serupa yang pertama dibuka ada di Jakarta. Mulai dari Pasar Santa, kemudian pindah ke Menteng.

“Saya memulai membuka kelas dari kota di mana kedai kami berada,” kata Hendri saat ditemui IDN Times usai mengajar di Ruang Seduh Kopi Yogyakarta pada 13 Maret 2021 sore lalu.

Usai Yogyakarta, sejumlah kota sudah jadi ancang-ancang jujugannya untuk mengembangkan sayap. Ada Medan, Banjarmasin, juga Papua. Alasannya sederhana. Biar masyarakat di daerah itu yang ingin belajar kopi tak perlu jauh-jauh ke Jakarta. Selain biaya belajar yang cukup mahal, ongkos perjalanan pun tak kalah mahal.

“Banyak juga dari Papua yang ingin menjadi barista,” imbuh Hendri, juri World Barista Championship pertama dari Indonesia yang mendapat sertifikasi internasional dari Specialty Coffee Association Europe–America pada 2012 di Jepang.

Baca Juga: Kisah Pengusaha Warkop yang Diangkat Penyakitnya dengan Kopi (1)

1. Mengenal kopi dari sang paman

Kisah Juri Kompetisi Kopi Dunia Berbagi Ilmu di Kelas LokalJuri kompetisi kopi dunia, Hendri Kurniawan. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Perkenalan Hendri pada kopi terjadi ketika kerap diajak pamannya ngopi sejak kecil. Ketika kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanegara Jakarta, Hendri sering begadang. Untuk bikin mata bertahan melek, dia minum bergelas-gelas kopi. Lantaran penasaran, dia pun belajar tentang kopi.

Hendri pun bekerja sebagai barista. Beberapa bulan kemudian, dia dikirim bosnya untuk sekolah kopi di Australia. Modul yang dipelajari tak sedetail modul yang dibuat untuk sekolah kopi yang didirikannya. Dari sekolah itu, Hendri mulai tahu aneka rasa kopi. Dia belajar mencicip macam-macam kopi dari berbagai asal. Dan akhirnya dia menjadi juri tingkat dunia.

“Saya memang punya cita-cita jadi world judge (juri untuk kompetisi kopi tingkat dunia). Saya kejar itu,” kata Hendri antusias.

Dia punya alasan mengapa ingin menjadi juri kompetisi kopi tingkat dunia. Tak lebih dari pameo yang menyebutkan: Be so good they can not ignore you.  

“Kalau saya bukan siapa-siapa, gak ada yang datang ke Pasar Santa untuk belajar kopi. Tapi karena ada juri kejuaraan dunia yang ngajar di situ, orang mau datang,” papar Hendri.

2. Keliling di lima kota untuk mengenalkan profesi barista

Kisah Juri Kompetisi Kopi Dunia Berbagi Ilmu di Kelas Lokalpexels.com/Afta Putta Gunawan

Kompetisi barista nasional pertama kali di Indonesia digelar pada 2007. Event itu digelar dua tahun sekali. Kafe-kafe kopi masih jarang di kota-kota besar. Mayoritas terpusat di Jakarta. Profesi barista pun masih belum dikenal banyak orang. Ketika pendaftaran kompetisi barista dibuka, panitia harus panjang lebar menjelaskan mengenai acara yang dilombakan.

“Kalau sekarang, begitu pendaftaran dibuka, satu menit langsung full. Ratusan orang daftar,” kata Hendri.

Hendri mulai menjadi juri nasional pada 2009. Kemudian pada 2011 menjadi organizer.

“Kami keliling lima kota untuk memperkenalkan profesi barista,” kenang Hendri.

Ada Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Denpasar. Dari mulai mengenalkan orang yang tak tahu apa itu barista, hingga orang pun ingin jadi barista. Mungkin profesi itu tampak keren.

“Karena ngerjain hobi. Hobinya ngopi. Trus dapat duit. Sangat dinamis,” kata Hendri yang juga seorang Q grader atau pencicip kopi profesional jenis Arabica.

Pada 2013, Hendri go international dengan menjadi juri dalam World Barista Championship 2013 di Melbourne. Sampai saat ini sudah menjadi juri 14 kejuaraan dunia untuk semua cabang. Posisinya kini sebagai head judge untuk kompetisi kopi dunia dan punya kewenangan mensertifikasi barista.

Di Indonesia, dia menjadi pengawas dalam kompetisi nasional. Tugas pengawas adalah menjadi trainer para juri agar terkalibrasi. Ketika kompetisi berlangsung, Hendri bertugas mengawasi.

“Lalu bikin laporan ke world coffee events,” kata Hendri.

Tentulah tak sedikit aneka rasa kopi yang sudah dicicipnya dari sentero dunia dengan beberapa di antaranya membekas dalam hati dan ingatan. Ada kopi Geisha, kopi dari Gesha, sebelah barat Ethiopia. Kopi ini berulang kali menang. Ada juga istilah the law diminishing returns dalam kompetisi kopi. Dia mengibaratkan, makan satu apel, enak. Kedua, enak. Ketiga, eneg. Keempat, gak enak.

“Lama-lama kekurangan rasa,” kata Hendri.

Hingga pada kompetisi 2016 di Dublin, ada peserta yang kopi dari Kenya. Kopinya biasa saja. Dan kopi itu berhasil mengalahkan juara bertahan, Gheisa. Di sisi lain, ada juga kopi yang rasanya bertahan, yaitu kopi Gheisa yang diproduksi perkebunan Hacienda La Esmeralda di Panama. Posisinya selalu top three. Bagi Hendri, itu kopi yang rasanya konsisten.

“Tapi banyak juga kopi yang tahun ini menang, tahun depan ngilang,” kata Hendri.

3. Mendirikan sekolah kopi di Pasar Santa

Kisah Juri Kompetisi Kopi Dunia Berbagi Ilmu di Kelas LokalPexels.com/Quang Nguyen Vinh

Sekolah kopi ABCD pertama kali didirikan dengan menyewa tempat di Pasar Santa, Jakarta pada 2013. Kelas pertama dibuka pada Agustus 2014 di ruangan kecil berukuran 2x6 meter. Keterbatasan ruangan membuat Hendri dan Ve Handoyo, selaku pendiri, hanya bisa menerima tiga murid.

“Modal belum ada. Tapi ada teman-teman yang baik. Mereka memberi pinjaman mesin espresso,” kata Hendri.

Muridnya terus bertambah. Setahun kemudian, mereka menyewa tempat dengan luas dua kali lipat atau 24 meter persegi. Mesin espresso dapat sokongan dari sponsor. Ada juga pinjaman teman sehingga ada dua mesin. Pada 2015 pindah ke Menteng. Dan pada 2017, usaha mereka mendapat sertifikat Specialty Coffee Association of America (SCAA) sebagai salah satu premier training kampus dunia.

Sekolah Kopi ABCD memang bukan yang pertama di Indonesia. Namun sejak di Pasar Santa, Hendri sudah menggantung impian besar.

“Saya punya satu gol. Pengen punya fasilitas belajar kopi dengan standar dunia,” kata Hendri.

Kelasnya pun didesain agar mendukung impian itu. Apalagi Hendri juga seorang arsitek. Setiap kelas didesain berbeda sesuai dengan materi dan praktik penggunaan alat-alatnya. Misal, kelas roasting bisa memuat enam murid sekaligus mesin roasting-nya. Kelas espresso memuat 12-16 orang sekaligus mesin espressonya. Kelas cupping bisa memuat hingga 24 orang karena sekaligus untuk kelas Q-grader juga. Kemudian ruang auditorium bisa memuat 32 orang.

“Semua ruang kelas kopi ABCD di Jakarta sudah disertifikasi standar dunia dan yang pertama di Indonesia,” kata Hendri.

Berbeda kondisinya dengan ruang kelas di Yogyakarta. Ruangannya kecil hanya berkisar 3 x 2 meter. Ruangan itu untuk berbagai kelas yang berlangsung tiga hari. Beragam alat dan mesin kopi ada di sana. Sebuah mesin roasting, dua mesin espresso, beberapa mesin giling.

Tak ketinggalan belasan ketel, alat seduh V60, beragam cup aneka ukuran, pengatur waktu, dan masih banyak lagi. Ada tiga peserta, seorang pemateri, dan dua barista di sana. Ruangan terkesan sesak ketika dijejali dua meja, salah satunya meja lipat. Dan ketika proses cupping, peserta harus antre satu per satu.

4. Memproduksi barista menghasilkan calon bos kedai kopi

Kisah Juri Kompetisi Kopi Dunia Berbagi Ilmu di Kelas LokalIDN Times/Aulia Fitria

Semula, tujuan membuka sekolah kopi adalah untuk memperbanyak barista. Mengingat bisnis kopi waktu itu mulai menggeliat. Pada 2013, barista Indonesia mulai ikut World Barista Championship.

“Pengen bikin melek orang akan profesi barista,” kata Hendri.

Banyak coffee shop dibuka dan bertebaran, khususnya di Jakarta. Hendri juga melihat persaingan tak sehat antar kafe untuk mendapatkan barista terbaik.

“Banyak teman musuhan gara-gara saling bajak barista,” kata Hendri.

Sementara Hendri punya ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai barista. Dibukalah sekolah kopi itu di Pasar Santa. Dari sekian ribu murid yang pernah nyantrik di sana, 80-90 persen lebih ingin menjadi pengusaha coffee shop ketimbang menjadi barista.

“Di luar ekspektasi. Jarang yang bilang iseng ingin jadi barista. Awalnya ingin memproduksi barista, ternyata memproduksi owner,” kata Hendri sambil tertawa terkekeh.

Buntutnya masih kekurangan barista. Formula solusi pun digarap. Perlu cara lain untuk memproduksi barista. Mereka bekerja sama dengan panti asuhan dengan membekali keterampilan menjadi barista. Ketika ada alumni yang butuh barista, butuh staf, Hendri menawarkan kepada anak-anak panti untuk direkrut.

“Bahkan ada yang semula jadi barista, sekarang jadi finance di kafe itu,” kata Hendri.

Dia pun berpesan agar tak menjadikan pemain kafe kopi baru sebagai pesaing. Perlu dilihat dari sudut pandang lain, bahwa kehadiran kafe kopi baru membuktikan industri kopi terus berkembang. Perlu siasat tiap-tiap kafe kopi untuk mempertahankan pelanggannya.

“Kuncinya customer service. Kalau servisnya oke, orang akan datang. Jadi jangan dianggap saingan. Pusing sendiri,” pesan Hendri memungkasi. 

Baca Juga: Berbagi Ilmu Kopi dari Hulu-Hilir: Biar Petani Tak Dibohongi

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya